Menilik Utilitas Blockchain dan Aset Kripto: Tanggapan untuk Gus Wahab (1)

Menilik Utilitas Blockchain dan Aset Kripto: Tanggapan untuk Gus Wahab (1)

Menilik Utilitas Blockchain dan Aset Kripto: Tanggapan untuk Gus Wahab (1)

Oleh:

  • Dr KH M Anis Mashduqi, Sekretraris LBM PWNU DIY dan Pengasuh PPM Al-Hadi Yogyakarta.
  • Dimaz Ankaa Wijaya, Honorary Research Fellow di Universitas Deakin, Australia dan Blockchain Security Engineer di Sigma Prime.

Artikel ini menanggapi sebuah naskah yang ditulis oleh Gus Wahab berjudul “Gambaran Kripto yang Dipermasalahkan” yang tersebar melalui media sosial pada akhir November, 2021. Di dalam artikel itu Gus Wahab menyebut bagaimana aset kripto disetarakan dengan batu-batu kerikil yang diambil dari halaman rumah dan dijual dengan harga tinggi, yakni seratus juta rupiah. Sang pembeli ternyata berhasil menjual kembali batu kerikil tersebut kepada orang lain dengan harga yang lebih tinggi dari harga yang ia bayarkan, dan seterusnya hingga batu-batu kerikil tersebut bernilai hampir satu miliar rupiah. Kemudian, Gus Wahab mempertanyakan posisi aset kripto sebagai komoditas atau uang, terutama dalam kaitannya dengan regulasi mata uang yang berlaku di Indonesia. Ia kemudian menilai bahwa nilai aset kripto tidak wajar karena dianggap tidak memiliki manfaat yang  nyata (muntafa’ bih).

Tujuan utama tulisan ini adalah untuk membangun dialog dengan sesama peminat tema ini melalui tulisan runut yang didukung dengan referensi yang memadai tentang teknologi blockchain, yang dimulai dari Bitcoin, dan kini telah menjadi industri dengan total nilai pasar sebesar USD 2,6 triliun. Tulisan ini juga bertujuan untuk memberikan sudut pandang berbeda dari tulisan milik Gus Wahab, yang kami upayakan baik dari sisi teknologi maupun dari sisi hukum Islam. Tulisan ini tidak bermaksud menyudutkan pihak manapun dan tidak bertujuan untuk memberikan judgement atas keputusan yang telah diambil oleh pihak lain.

Aset Kripto Tidak Sama Dengan Batu Kerikil

Ilhaq adalah salah satu prosedur perumusan hukum Islam (fikih). LBM NU dari tingkat pusat sampai daerah sangat akrab dengan metode yang juga sering disebut dengan takhrij ini. Ilhaq adalah prosedur perumusan hukum dengan menyetarakan persoalan hukum baru dengan persoalan hukum lama. Prosedur ini ditempuh ketika persoalan fikih yang dihadapi (al-mas’alah al-haditsah) tidak diketemukan dalam teks-teks para ulama terdahulu (nadzirun qadimun). Perumusan hukum seperti ini sering disebut dengan al-takhrij wa al-ilhaq dan al-asybah wa al-nadzir. Adapun berijtihad secara langsung dengan kembali kepada Alquran dan Hadits adalah domain para ahli (mujtahid) yang kalangan LBM NU merasa tidak layak berada di tempat itu.

Prosedur ilhaq bekerja dengan memperhatikan kemiripan (al-syabah) yang ada antara persoalan hukum yang baru dengan persoalan hukum yang lama. Prosedur ini bisa jadi berakhir dengan perbedaan pendapat ketika persamaan itu tampil secara kuat di mata satu peneliti dan lemah di mata peneliti yang lainnya. Pengetahuan tentang khazanah fikih antar-madzhab juga berpengaruh pada perbedaan pendapat. Selain itu, perbedaan pendapat juga muncul dipengaruhi oleh tingkat kedalaman pengetahuan dalam memahami persoalan fikih yang baru, juga dalam memahami teks-teks para ulama masa lalu terkait dengan madarik, ma’khad dan asrar-nya, kelihaian dalam memahami dan mengartikulasikannya.

Ide Gus Wahab yang menyamakan aset kripto dengan batu-batu kerikil (artikel yang ditulis oleh Gus Wahab menggunakan kata “kripto” untuk mengacu pada cryptocurrency, tetapi artikel ini akan konsisten dengan istilah “aset kripto” untuk membedakan antara cryptocurrency dan kriptografi yang biasa disingkat dengan kripto) penting untuk ditanggapi sehingga bisa menjadi catatan khalayak yang telah membacanya. Aset kripto jelas berbeda dengan batu kerikil. Aset kripto yang dimaksud di sini tentunya bukan semua aset kripto yang ada di dunia. Untuk kepentingan penyederhanaan, aset kripto di sini akan mengacu pada aset kripto besar seperti Bitcoin dan Ethereum.

Tentu saja ada aset kripto yang serupa batu kerikil. Dalam terminologi fikih, aset ini termasuk kategori yang tidak memiliki nilai atau manfaat (ghair muntafa’ bih) yang tidak boleh diperdagangkan secara hukum fikih. Ia tidak punya manfaat dan nilai nyata sehingga tidak bisa dianggap sebagai aset karena tidak memenuhi syaratnya (syurut al-mutsamman/al-sil’ah), seperti kalau kita menjual sepotong rumput liar biasa atau kerikil kecil. Aset kripto yang tak berharga lahir dikarenakan barrier to entry (penghalang masuk) yang teramat rendah, sehingga semua orang bisa dengan mudahnya membuat token baru yang dijual meski tidak bernilai.  Tapi bukan berarti semua aset kripto diciptakan setara. Aset-aset kripto “serius” seperti Bitcoin dan Ethereum tidak seharusnya disamakan dengan aset kripto tanpa nilai yang jumlahnya luar biasa banyak di pasaran.

Aset kripto seperti Bitcoin dan Ethereum dikembangkan dengan usaha kuat dan pengetahuan yang tinggi dengan basis teknologi blockchain dan cryptograghy. Bitcoin dan Etherium layak untuk disebut sebagai aset (sil’ah) yang bisa ditransaksikan (al-bai’ wa al-syira’) karena memiliki nilai dan manfaat (muntafa’ bih). Hal ini dikarenakan teknologi blockchain yang mendasari aset kripto dibangun dari teknologi informatika seperti jaringan komputer, basis data, dan tentu saja cryptography. Teknologi-teknologi fundamental ini tidak bisa disebut tanpa nilai dan tanpa manfaat. Apa jadinya dunia modern tanpa jaringan komputer (jaringan Internet)? Bagaimana perbankan dapat menembus batas fisik dengan menawarkan layanan internet banking dan mobile banking tanpa campur tangan teknologi cryptography?

Menyetarakan batu krikil yang ada di depan rumah, yang sebelumnya terbentuk secara alamiah, tanpa ada usaha manusia serius untuk mendapatkannya dengan Bitcon yang memiliki dasar teknologi blockchain yang mengandalkan jaringan komputer, basis data dan cryptography tidak bisa dibenarkan. Untuk mendapatkan Bitcoin juga dibutuhkan proses penambangan (mining) yang tidak mudah dan pemanfaatan penyedia jasa blockchain dan cryptograpghy untuk menjaminkan keamanannya. Tidak diketemukan kemiripan (al-syabah) antara keduanya baik kemiripan secara kuat maupun lemah. Keduanya adalah entitas yang berbeda dengan karakter dan bentuk yang berbeda sehingga tidak bisa dilakukan prosedur ilhaq. Bitcoin lebih tepat disetarakan dengan entitas-entitas lain yang memiliki nilai dan manfaat (muntafa’ bih) sehingga layak untuk diperjual-belikan sebagai aset (sil’ah).

Teknologi Blockchain

Sayang sekali tulisan Gus Wahab tidak sedikitpun menyinggung blockchain dan cryptography yang menjadi dasar bagi aset kripto ini diciptakan dan tidak bisa dipisahkan. Ketika diperhatikan tidak ada satupun kata blockchain dapat diketemukan dalam tulisan itu. Padahal proses ilhaq sebagai prosedur untuk merumuskan hukum aset kripto tidak bisa dilakukan tanpa memperhatikan sifat dan unsur keseluruhan yang melekat pada persoalan aset kripto ini. Inilah yang menyebabkan rumusan fikih yang menyatakan keharaman aset kripto menyatakan tidak adanya nilai manfaat karena hanya berisi “kode” yang diproduksi dan diperjual-belikan sesuka hati pemilik yang membuat dan menjual-belikannya. Tidak heran ketika aset kripto dengan mudahnya disamakan dengan seekor semut biasa, sebutir beras atau sebiji kerikil yang ada di halaman rumah.

Teknologi blockchain yang menjadi dasar aset kripto sebenarnya adalah ramuan dari teknologi-teknologi digital dengan beberapa tujuan utama:

  • Mengamankan informasi dan memastikan bahwa informasi tidak berubah (integritas/integrity).
  • Memastikan sinkronisasi data di antara peladen (server) yang terhubung dengan jaringan Internet dan memastikan bahwa data-data dalam peladen yang berbeda identik dan dapat diakses (ketersediaan/availability).
  • Memastikan bahwa hanya pengguna yang berhak sajalah yang dapat mengolah data (autentikasi/authentication).
  • Memastikan bahwa pengguna yang mengolah data tidak dapat mengelak dari perbuatan yang telah dilakukan (kenirsangkalan/non-repudiation).
  • Memastikan bahwa semua perubahan data tercatat dengan rapi dan dapat diaudit (akuntabilitas/accountability dan auditabilitas/auditability).

Dengan memperhatikan tujuan dan fungsi blockchain ini, tampak dengan jelas kemaslahatan yang menjadi dasar pertimbangan rumusan fikih, meski pertimbangan-pertimbangan lain seperti konteks keuangan dan ekonomi negara perlu mendapatkan pertimbangan. Tidak mengherankan apabila Bitcoin dan aset kripto lainnya pada saat ini mendapat kepercayaan publik yang tinggi, dengan total nilai aset yang tak terbayangkan sebelumnya. Tidak ada yang meragukan terkait manfaat tekonologi blockchain dan cryptography yang menjadi dasar bagi aset kripto ini. Manfaat itu nyata setara dengan syarat manfaat yang harus dimiliki suatu benda yang akan diperjual-belikan sebagaimana dipahamai dalam hukum fikih (muntafa’ bih).

Perlu dipahami bahwa teknologi blockchain adalah produk akuntansi dengan steroid. Dengan menggunakan teknologi blockchain, seseorang dapat menyimpan informasi dengan aman karena dilindungi dengan lima karakteristik di atas (selanjutnya disebut lima karakteristik aman). Data yang disimpan di dalam blockchain dapat dijamin integritasnya. Data tersebut juga dapat diakses dari peladen mana saja yang tergabung dalam sistem blockchain yang sama. Data tersebut juga hanya dapat diolah (diubah kondisi terakhirnya, misal bertambah atau berkurang) oleh pemilik yang sah. Pemilik tersebut, setelah melakukan pengolahan data, tidak dapat menyangkal perbuatannya. Kemudian, perubahan data dari awal hingga akhir dapat dilacak dengan mudah.

Dari penjelasan di atas terlihat dengan gamblang bahwa blockchain adalah inovasi teknologi yang bahkan dapat disandingkan dengan teknologi maju lainnya seperti kecerdasan buatan (kedua teknologi tidak identik tentu saja, karena berada pada bidang yang berbeda). Dengan tekonologi artificial intelligence ini, taksi terbang Ehang 216 sudah diuji coba di Bali dan akan operasional dalam waktu dekat. Dan, tentu saja teknologi blockchain tidak jatuh dari langit, atau, tidak terbentuk secara alamiah seperti halnya batu kerikil di depan rumah seseorang. Teknologi blockchain tidak hanya berteknologi tinggi tetapi juga membutuhkan tenaga, kepakaran, dan biaya untuk membangunnya. Hingga saat ini, Bitcoin memiliki tak kurang dari 100 ribu baris kode komputer yang ditulis oleh banyak kontributor. Hal ini semakin menambahkan keyakinan nilai manfaat yang secara riil terkandung dalam aset kripto, baik Bitcoin maupun lainnya.

Aset Kripto sebagai Blockchain Publik

Fikih memiliki karakter dinamis (murunah). Utamanya fikih pada domain muamalah yang lebih banyak berpeluang tunduk pada kaidah ada tidaknya alasan hukum (al-nadzar ila al-ma’ani). Domain ini, lebih menempatkan kemaslahatan sebagai basis sebuah rumusan hukum, bukan bentuk dan teknisnya yang menjadi tolak ukurnya. Para ulama telah menawarkan kaidah yang teramat populer bahwa hukum berubah sesuai dengan perubahan ruang, waktu dan kondisi-kondisi tertentu (taghayyur al-ahkam bi taghayyur al-azminah wal amkinah wa al-ahwal), juga hukum tergantung pada ada tidaknya alasan hukum (al-hukm yaduru ma’a illatihi wujudan wa ‘adaman). Umat Islam pernah menggunakan dinar-dirham sebagai mata uang. Saat ini kita menggunakan uang kertas sebagai pengganti emas-perak. Dahulu kita menggunakan uang fisik, saat ini kita biasa menggunakan uang digital.

Aset kripto (lagi lagi, seperti Bitcoin dan Ethereum) dapat dipandang sebagai infrastruktur blockchain yang tersedia untuk publik. Aset kripto merupakan infrastruktur (platform) blockchain yang demokratis, yakni “dari publik, oleh publik, dan untuk publik”. Aset kripto disediakan oleh publik (partisipan) dan dapat digunakan oleh siapa saja. Tentunya tidak semua orang boleh menggunakan infrastruktur yang mahal ini. Sama seperti jalan tol di Indonesia; pengguna harus membayar biaya tol untuk berkendara di sepanjang jalan tol. Mengapa? Karena jalan tol memiliki manfaat bagi pengendara. Jalan tol merupakan jalan alternatif berbayar, namun tetap banyak dimanfaatkan oleh pengendara mobil, truk, dan bus karena nilai manfaatnya dianggap lebih tinggi dibandingkan dengan jalan biasa.

Infrastruktur blockchain publik juga memiliki setidaknya lima manfaat yang telah dibahas sebelumnya. Infrastruktur blockchain publik menyediakan komputasi dan media penyimpanan digital bagi penggunanya. Artinya, seseorang boleh melakukan kalkulasi data dan menyimpannya di dalam blockchain, selama membayar biaya. Biaya tersebut tentu saja digunakan untuk memastikan infrastruktur tetap berjalan dengan semestinya. Di samping itu, Infrastruktur blockchain seperti Bitcoin merupakan infrastruktur yang mahal. Sangat mahal. Sebuah transaksi Bitcoin (anggap transaksi sebagai kalkulasi dan penyimpanan data) berbiaya hingga USD100. Biaya ini diperlukan untuk memberikan jaminan lima karakteristik aman atas data tersebut. Tidak heran, biaya penggunaan infrastruktur blockchain publik jauh lebih mahal dibandingkan biaya penggunaan infrastruktur komputasi lain seperti komputasi awan (cloud computing) yang tidak memiliki lima karakteristik aman.

Kekhawatiran sebagaian kalangan akan keamanan dan resiko investasi aset kripto (al-juhalah wa al-gharar) menjadi tidak relevan karena adanya lima manfaat yang dijaminkan teknologi blockchain. Selain itu, daya tarik aset kripto juga ada pada aksesnya yang mudah dan ramah bagi investor pemula. Tidak heran apabila kenyataan berbicara, bahwa di Indonesia sendiri Aset kripto seperti Bitcoin, Ethereum, dan sebagainya, semakin diminati oleh masyarakat. Bahkan, jumlah investor kripto ternyata sudah menyalip jumlah investor di pasar modal Bursa Efek Indonesia (BEI) dan pengguna reksadana. Hingga Agustus 2021, Kementerian Perdagangan (Kemendag) mencatat bahwa di Indonesia, jumlah investor aset kripto seperti Bitcoin, Ethereum, dan sebagainya, telah mencapai 7 juta pengguna. Sementara itu, jumlah investor pasar modal di BEI hinggal Februari 2021 tercatat hanya 4.5 juta.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *