Oleh: Dr. A. Khoirul Anam, Dosen UNU Indonesia Jakarta.
Mudah-mudahan ini bagian terakhir dari seri tulisan dengan judul vulgar seperti itu. Bagian kedua sengaja diposting belakangan karena baru sempat terselesaikan. Lain kali akan dipilih judul yang lebih soft, tapi mengena.
Saya tidak tahan disindir sahabat-sahabat karib yang menuduh saya telah berpolitik praktis terutama pada bagian kata “harus memilih”. Harus atau la budda di sini maksudnya bukan bagian dari hukum taklifi yang jika tidak dilakukan akan menghasilkan dosa, tapi akan menghasilkan KALAH.
*-*
NU berada pada situasi sulit di masa-masa Orde Baru. Ia menjadi kekuatan politik berbasis Islam yang paling kuat ketika itu. Tapi Orde baru tidak menginkan ada kekuatan berbasis ideologi yang membahayakan rezim yang sedang dibangun. Puncaknya pada awa tahun 1970an ketika NU difusikan ke dalam PPP bersama-sama partai politk Islam.
Nasib NU di PPP hampir mirip dengan ketika NU berada di Masyumi. Pertama-tama memang NU mendapatkan posisi strategis dengan modal besar sekali 18,6 persen suara total nasional, tapi berikutnya perlahan NU mulai disingkirkan: hanya dibutuhkan massanya. NU sangat piawai dalam menghimpun massa. NU juga cukup canggih dalam mengemban missi kepartaian ketika duet KH Bisri Syansuri (Rais Aam PBNU) dan KH Masjkur (Fraksi PPP) berhasil mengendalikan situasi dalam peristiwa akhir sya’ban 1393 H dalam proses legislasi UU Perkawinan 1974. Tapi NU tidak terlalu agresif dalam berebut jabatan. Faktor lain, NU memang tidak terlalu enjoy di sana sebagaimana ketika dalam Masyumi. Kelompok modernis, puritan dan didikan sekolahan itu juga seringkali meremehkan para pimpinan NU yang lulusan pesantren.
Pemerintah Orde Baru juga memang sejak awal menghendaki pelemahan NU, sebagai kekuatan politik berbasis Islam terbesar sekaligus pernah menjadi penopang kekuatan Soekarno. Sejak awal pimpinan PPP diserahkan ke HMS Mintardja (Masyumi), lalu diganti Naro tanpa melalui proses Muktamar. NU kecewa, dan memuncak ketika Naro sebagai representasi kelompok kecil Masyumi menyingkirkan para elit politik NU dari PPP, bahkan para pendiri seperti HM Yusuf Hasyim, Khalik Ali, KH Saifuddin Zuhri, Mahbub Djunaidi. Mereka dihapus sebagai daftar calon DPR.
Tahun 1984 NU di bawah kepemipinan Gus Dur, NU menyatakan kembali ke Khittah sebagai ormas keagamaan, dan keluar dari partai (PPP). Secara internal, kembali ke khittah ini juga sekaligus koreksi atas kekurangperhatian NU terhadap agenda organisasi (dakwah-pendidikan-ekonomi) selama menjadi parpol. Namun dalam kontestasi politik, kembali ke khittah adalah strategi mundur beberapa langkah untuk melakukan lompatan jauh ke depan. Sebagian besar politisi NU tetap berada di PPP, sebagian lagi berkiprah di partai lain. Sementara NU sebagai organsasi bebas dari kekangan politik Orba, tapi tampil sebagai kekuatan politik sendiri (non partai) bahkan bisa bermanuver ketika Orde Baru bermain-main dengan asas tunggal. Lalu, di luar jalur politik/pemerintahan, di bawah komando Gus Dur, generasi NU mengalami mobilitas sosial yang luar biasa cepat lewat jalur pendidikan, pengkajian/penelitian dan advokasi/LSM.
Berikutnya, reformasi bergulir. Tokoh NU kembali berpolitik dengan mendeklarasikan PKB dan beberapa partai baru, serta sebagian masih merawat basis politik dalam wadah PPP. Sementara rumah besar NU tetap dibiarkan dengan format “khittah”, alias ormas non parpol. Dalam masa peralihan, ketua NU di daerah-daerah masih merangkap jabatan ketua partai, namun secara bertahap mereka diminta memilih partai atau ormas, sampai pada gilirannya diatur ketentuan ketat mengenai larangan rangkap jabatan dengan kepengurusan partai politik (sampai pada saat KH Ma’ruf Amin baru dicalonkan saja sebagai wakil presiden sudah harus melepaskan posisinya sebagai Rais Aam).
Bersama Gus Dur, NU menjalin kembali aliansi strategis dengan kelompok Marhein/PDIP Sampai tibalah saat-saat yang penting, Gus Dur terpilih sebagai presiden didampingi Megawati. Ketokohan Gus Dur yang kuat kali ini membuat kaum Marhein harus legowo berada di poisi wakil. Muktamar NU di Lirboyo 1999 menjadi saat-saat penting massa eforia politik NU. Di atas becak dari alun-alun kota Kediri, melewati Desa Bandar Kidul, atau melintasi perempatan Kemuning sampai aula muktamar Pesantren Lirboyo, para muktamirin mebicarakan perihal istana, menteri-menteri NU dan banyak hal ikhwal politik yang tidak mungkin dibicarakan pada masa Orde Baru.
Meskipun eforia itu tidak berlangsung lama, karena Gus Dur keburu dilegserkan, tapi eforia menguatnya kembali politik NU itu bahkan membuat warga NU sangay percaya diri tampil di arena politik. Bahkan pada 2004, tidak tanggung-tanggung ada empat kader NU berkontestasi dalam Pilpres langsung. Seorang pengamat menulis artikel di Kompas dengan judul unik “All The NU Man”. Berikutnya, suara NU selalu menjadi “koentji” dalam setiap hajatan politik lima tahunan.
Biar tidak terlalu panjang dan membosankan, catatan ini perlu diakhiri dengan imbauan bahwa NU tidak perlu mundur dari arena politik, lewat kader-kader terbaiknya yang sedang berkontestasi. Jika setelah istikhoroh ada yang masih tidak yakin dengan pilihannya, maka mengikuti cara Mbah Wahab, cukup mencoblos dengan mengucap ‘Bismillah’ saja sudah dapat pahala. Pasca reformasi, memang persebaran kader NU di berbagai bidang keahlian cukup merata, tapi para kader yang sedang berkontestasi politik perlu pendapatkan dukungan.
Akses politik juga harus diambil, terutama yang berkaitan dengan pos-pos strategis yang menyangkut hajat hidup Jam’iyyah NU.
Jika tidak… (silakan diteruskan sendiri)