Santri Harus Menulis!
Berawal keresahan dari penulis, konten-konten di dunia maya semakin tidak jelas. Misalnya berbau radikalisme, terorisme, pornografi, hoax, fitnah, adu domba serta konten-konten lainnya yang mengindikasikan kepada hal-hal yang negatif. Tentu penulis kira ini bukan saja keresahan atau kegelisahan penulis saja, sudah selayaknya ini menjadi masalah secara nasional.
Pemerintah sebagai pemangku kepentingan pertama memang sudah melakukan tindakan. Katakankah membetuk lembaga,-lembaga, badan-badan, atau komunitas masyarakat. Pemerintah telah membentuk portal-portal online untuk memberantas konten-konten negatif di atas. Sejauh pengamatan penulis, ini memang sudah berjalan tapi kenyataan di lapangan belum berjalan dengan maksimal.
Perlu peran masyarakat agar terlibat secara langsung untuk mengantisipasi masalah-masalah sosial tadi terkhusus dalam membendung konten-konten negatif tadi di dunia maya. Sekarang ini memang kasus-kasus yang terjadi di dunia nyata, beberapa di antaranya karena bersumber dari dunia maya. Katakanlah misal kasus radikalisme dan terorisme sekarang mulai menyasar dunia pendidikan.
Sumber kasus-kasus ini salah satunya kesalahan para pelajar dalam mengakses dunia maya. Mereka yang masih sibuk dalam mencari jati diri, mencari siapa saya, ini rawan terpapar. Khususnya para pelajar dari sekolah yang berlatar belakang umum. Para agen-agen gerakan radikal telah secara terorgnisisr mencemari dunia maya. Mereka mengisi konten-konten di dunia maya itu berisi ajakan-ajakan untuk berislam secara keras. Membunuh saudaranya yang Islam pun dihalalkan apabila berbeda pendapat. Bahkan membunuh karakter anak bangsa dengan konten-konten berbau perpecahan, hoax, pornografi, adu-domba dan fitnah.
Nah, di sini kiranya santri sebagai komunitas masyarakat harus berpartisipasi untuk kembali merebut dan menjernihkan dunia maya. Mengapa santri harus demikian? Diakui atau tidak santrilah yang sekarang ini yang termasuk mencerminkan orang Islam Indonesia, tanpa mehilangkan respek pada kelompok-kelompok lain dalam masyarakat.
Santri harus menulis. Sebenarnya menulis sendiri banyak macamnya. Penulis tidak akan menjabarkan menulis apa saja yang perlu digelorakan. Yang terpenting untuk saat ini santri harus menulis. Menulis ini berfungsi untuk menularkan ide-ide, wacana-wacana untuk kontra narasi terhadap wacana-wacana dan narasi yang anti terhadap Islam Indonesia. Karena santri saat ini menjadi paku bumi dan pagar negara untuk mengawal NKRI.
Santri ternyata mempunyai bakat-bakat terpendam khususnya dalam menulis. Sudah setiap hari mereka menulis. Mendengarkan keterangan-keterangan mbah yai kemudian ditulis. Lihat saja aktivitas para santri di pondok pesantren tiada hari tanpa menulis. Menulis di sini berarti mereka memaknai kitab-kitab salaf mereka yang mereka dengarkan dari mbah yai.
Mungkin mereka belum profesional menulis seperti para penulis-penulis sungguhan di luar sana. Minimal kita mengetahui bila santri ternyata punya bakat-bakat yang terpendam dan tradisi tulis menulis. Hanya perlu memoles saja agar mereka dapat terus berkembang.
Padahal sekarang ini sudah banyak sekali situs-situs online yang berafiliasi kepada Islam moderat. Misalkan saja situs resmi Nahdlatul Ulama (NU) yakni NU Online, selain itu ada kepunyaaan redakturnya NU Online, Mas Syafiq Ali yaitu Islami, ada lagi Alif, Harakatuna, Jalan Damai milik Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), ada Bangkit media, hingga PojokPim kepunyaan KMF (Keluarga Matholi’ul Falah 2007) serta masih banyak lainnya.
Bahkan banyak juga penulis yang lahir dari Rahim pesantren seperti Habiburrahman El Shirozy, Aguk Irawan, Abidah El Khaliqy, Khilma Anis, Fuadi, Ahmad Tohari, Zawawi Imron, Munawir Aziz, Zaztrow al-Ngatawi, Mohammad Autad, Ahmad Khadafi, Asep Saeful Anwar, Hamzah Sahal, Nur Khalik Ridwan, Edy Mulyono, Gus Dur, Gus Mus, Syafiq Ali hingga Ulil Absor Abdalla dan masih banyak sekali yang belum penulis sebut, terlebih penulis-penulis dalam genre kepenulisan yang lain.
Melihat realita ini, para santri harus segera membuka mata. Sudah banyak para santri yang malang melintang di dunia kepenulisan seperti yang telah penulis sebut di atas, cuma saja budaya menulis di kalangan pondok pesantren masih belum optimal. Padahal seminar-seminar, workshop-workshop, pelatihan-pelatihan dan diskusi-diskusi tentang kepenulisan sudah mulai digiatkan. Lalu apa permaslahannya?
Sekarang bagaimana tinggal budaya santri menulis lebih digiatkan. Memang setiap orang punya passion sendiri-sendiri. Tidak dapat kita pungkiri itu. Namun bagaimana budaya menulis dalam dunia pesantren lebih digelorakan lagi. Bukankah selama ini mereka sudah menulis. Menulis memaknai kitab mereka. Jangan tanyakan soal keilmuan mereka terkait keislaman, keindonesiaan dan kewarganegaraaan. Itu bukan saja menjadi makanan mereka sehari-hari, tapi kebiasaan mereka sehari-hari.
Semoga ini dapat menjadi batu loncatan lagi, agar para teman-teman santri mulai menyentuh ranah tulis menulis. Apakah selama ini ilmu-ilmu yang didapat akan dibiarkan mengendap begitu saja dalam pikiran atau menyublim bak kapur barus. Harus penulis akui, soal ketawadhuan mereka memang tak perlu diragukan lagi.
Penulis: Ahmad Solkan, saat ini melanjutkan kuliah di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta