Mengapa Prabowo begitu ngotot untuk mendeklarasikan kemenangannya? Apakah ingin memanfaatkan celah karena Jokowi tidak mendeklarasikan kemenangannya di publik?
Ironisnya, data yang digunakannya ini bersumber dari internalnya sendiri. Deklarasi Kemenangan ini bahkan perlu dinyatakan tiga kali. Sungguh, ini tidak hanya menunjukkan sikap kemuakan publik tetapi juga menunjukkan rasa kasihan kepadanya.
Sama seperti tahun 2014, pertanyaan yang diajukan adalah mengapa sebegitu mudahnya Prabowo percaya kepada para pembisik di sekitarnya? Pertanyaannya bisa juga dibalik, khawatir Prabowo marah, apakah ini bagian dari ABS dari anak orang di lingkarannya? Bahkan, ia harus mengulangi dua kali sujud syukur untuk merayakan kemenangan tersebut, baik tahun 2014 ataupun 2019. Padahal, kebanyakan lembaga survei melalui hasil Quick Count mengatakan yang sebaliknya.
Tindakan ini tentu akan tersimpan dalam data digital dan dikenang oleh masyarakat Indonesia. Tidak hanya sebagai aib, melainkan jugs bentuk sikap anti-ilmu pengetahuan. Karena merasa hasilnya tidak sesuai yang diinginkan, Prabowo justru melakukan deligitimasi terhadap hasil Quick Count. Padahal, jika sedikit saja menahan diri, hasil dari KPU justru akan memperkuat rasa empati publik kepadanya.
Dalam deklarasi kemenangan tersebut, bahkan tim pemenangan Prabowo perlu mendatangkan Sandiaga Uno yang sebelumnya tidak hadir karena dianggap cegukan sepanjang hari. Namun, perhatikan wajahnya Sandi. Tanpa perlu ahli bahasa tubuh, kita sendiri juga bisa menangkap suasana batin dari Sandi ini. Ia sudah mengeluarkan modal cukup besar dan kalah! Sudah begitu, ia harus melakukan dramaturgi yang hasilnya sebenarnya sudah tahu.
Di sini, semakin Prabowo melakukan penguatan bahwasanya ia unggul, justru menunjukkan sebaliknya. Selain tidak siap menerima kekalahan, hal itu merupakan cerminan untuk menutupi diri dari kerapuhan untuk menerima hasil yang sesungguhnya. Ibarat prajurit yang sedang kalah dan dikepung oleh musuh-musuhnya, ia telah menembakkan sejumlah peluru ke segala arah tanpa jelas sebenarnya siapa yang ingin ditembak.
Meskipun harus diakui, deklarasi itu dilakukan untuk meyakinkan para pendukungnya bahwasanya dirinya yang memenangkan pertarungan. Akibatnya, lawan politiknya, Jokowi-Ma’ruf Amin dianggap telah kalah. Kalaupun menang dianggap telah melakukan kecurangan. Meskipun sebenarnya deligitimasi kecurangan pemilu ini sudah dihembuskan sebulan sebelumnya.
Perhatikan saja sejumlah WhatsApp group, upaya deligitimasi terus direproduksi dan materinya terus disirkulasikan. Dari sejumlah WhatsApp group yang saya ikuti, apa yang diucapkan oleh elit tim pemenangan Prabowo benar-benar diterima secara mentah oleh para pendukungnya. Di sini, apa yang disebut kebenaran bukanlah orang yang mengecek dan mengklarifikasi sejumlah data, melainkan seberapa banyak sumber hoaks yang direproduksi dan kemudian diyakini.
Jika begini, bagaimana kita bisa berharap kepada tokoh bangsa yang dianggap bisa membawa Indonesia melesat ke depan, kalau persoalan krusial justru jadi titik provokasi memengaruhi dan memperkeruh publik? Jika Prabowo percaya kepada kemenangan delusionalnya, menghormati dan menunggu keputusan KPU merupakan jalan keluar ketimbang terus-menerus bicara tentang kecurangan sementara mereka sendiri tidak yakin apa yang sebenarnya diucapkan.
Apakah ini yang disebut sebagai gerakan akal sehat? Atau akal-akalan yang dianggap sehat?
Penulis: Wahyudi Akmaliyah.