Bermula dari kasus disertasi UIN Jogja yang heboh itu, lalu muncul postingan seorang peneliti INSIST yang mengait-ngaitkan dengan pola pendidikan di UIN Suka dan UIN yang lain.
Postingan ini juga direpost oleh akun Adian Husaini (AH). Belum bisa dipastikan akun ini asli milik AH atau bukan. AH sendiri merupakan peneliti INSIST lain yang lebih senior.
Sebelumnya ternyata orang yang sama juga menulis hal yang sama terkait UIN dan direpost lagi oleh akun yang sama. Bahkan dengan tuduhan yang lebih serius. Intinya bahwa masuk UIN itu akan disekulerkan, diateiskan, dan dikafirkan.
Sayangnya ketika dikonfirmasi, jawabannya justru saya diminta browsing karena data yang didapatnya berasal dari browsing.
Ketika saya posting kritik dan keberatan saya soal postingan peneliti INSIST itu, tetiba ada lagi “orang” INSIST yang menuliskan sejumlah data hasil browsingan dan googlingannya soal “kasus-kasus” di UIN.
“Data” browsingan/googlingan itu yang kemudian seperti diyakini bahwa ada masalah serius di kampus-kampus di bawah Kemenag ini. Sayangnya kawan-kawan ini terlihat sekali tak melakukan verifikasi lapangan atas data-data hasil googlingannya itu.
Atas data-data hasil googlingan itu saya meresponsnya sebagai berikut:
“Ini yang saya maksud bermasalahnya mereka yang menyimpulkan berdasarkan browsing/googling, tanpa penelitian lapangan. Melihat judul, tanpa mengecek lebih lanjut apa yang sebenarnya terjadi.
Sangat aneh bila teman-teman INSIST polanya seperti ini. Lalu, apa bedanya dengan Hartono Ahmad Jaiz? Bukan seperti kebiasaan umum yang dilakukan umumnya peneliti. Lebih mirip pola wartawan.
Pertanyaan sederhana untuk antum: sudahkah antum membaca sendiri tesis dan disertasi yang antum persoalkan? Atau hanya judulnya saja yang antum tahu lalu antum simpulkan?
“Kabarnya ada penguji yang ndak meluluskan”, ini dasarnya qila wa qala? Kata “kabarnya” tidak lazim di kalangan peneliti yang serius.
Soal kasus-kasus yang ada di lapangan, sudahkah antum investigasi apa masalahnya? Penjelasan panitia penyelenggara sudahkah antum baca juga/ketahui? Atau memang fokus antum hanya mencari “kesalahan”? Wa la tajassasu, Ustaz.
Klausa “…dan masih banyak lainnya”, ini juga bukan frasa yang lazim dipakai para peneliti yang kredibel.
Katakan semua data yang Anda hadirkan itu benar, lalu berapa persen data yang antum hadirkan itu bila dibandingkan jumlah sivitas akademika di UIN/IAIN/STAIN di seluruh Indonesia yang jumlahnya ratusan ribu?!
Maka, tuduhan “disekulerkan, diateiskan, dan dikafirkan” itu saya sebut sebagai tuduhan serius. Apalagi basisnya hanya hasil bwrowsing/googling!
Pertanyaan sederhana lainnya: apakah teman-teman ini sudah pernah melakukan penelitian serius soal kurikulum, pengajar, dan pola pembinaan di UIN seluruh Indonesia, sehingga menyimpulkan secara gegabah dan cenderung ngawur begitu?
Apa sudah datang ke ma’had-ma’had jami’ah yang ada di UIN seluruh Indonesia? Apa sudah mengecek kajian-kajian yang ada di masjid-masjid UIN seluruh Indonesia?
Berapa banyak UIN menyediakan beasiswa tahfizh dan kajian keislaman? Berapa banyak dosen-dosen UIN yang mengabdikan hidupnya untuk umat dengan mendirikan pesantren, mengisi majelis taklim, dan berkhotbah, berceramah yang “lurus”?
Kalau belum pernah meneliti soal semua ini, mbokya jangan cepat-cepat menyimpulkan! Masa sekelas peneliti ini yang begini saja teledor.
Sekali lagi, tuduhan “disekulerkan, diateiskan, dan dikafirkan”, itu tuduhan serius. Tuduhan yang sangat aneh muncul dari seorang peneliti, apalagi peneliti Muslim yang seorang doktor yang ustadz.
Bukankah Nabi meminta kita untuk berhati-hati menyebut “fasiq” apalagi “kafir” kepada orang lain. Karena dalam Islam kehormatan itu harus dijaga. Ini bukan cuma kehormatan perseorangan, tapi kehormatan institusi.
Soal “intern UIN diam”, apakah antum sudah pernah mengecek ke tiap2 UIN/IAIN/STAIN terkait ini? Atau cuma karena antum tidak menemukan infonya di browsingan/googlingan antum? Bad news is good news, masa teman-teman tidak paham soal ini.
Alhamdulillah saya bersyukur 15 tahunan ini saya mengurusi mahasiswa di tingkat Prodi dan fakultas. Banyak upaya yang kami lakukan untuk mendekatkan mahasiswa pada Islam, Alquran, dan hadis. Pengajarnya pun kami pilihkan sebisa mungkin para ulama.
Fyi, masalah UIN/IAIN/STAIN )(termasuk kampus-kampus lain non-UIN) saat ini justru bukan soal liberalisme dan sekularisme, tapi soal hedonisme, malas baca, dan budaya instan.
Satu lagi, apa teman-teman ini juga tak membaca beberapa hasil penelitian belakangan dari Setara Institute, CSRC, dan UIN Jogja soal tren fundamentalisme dan radikalisme di PTKIN?
Agak aneh juga bila belum melakukan hal-hal di atas lalu membuat kesimpulan sesat, ngawur, dan asal!”
Penulis: Dr Moch Syarif Hidayatullah, dosen Dirosah Islamiyah UIN Jakarta.
Bukan benci om doktor,tapi justru mereka cinta dg perguruan tinggi islam yang sudah diselewengkan dari awal misi pendiriannya.