Saya mondok di Annuqayah Guluk-guluk Sumenep dari pertengahan tahun 1999 sampai pertengahan tahun 2002.
Pada periode singkat ini, saya sungguh bersyukur karena diberi kesempatan untuk mengaji Al-Quran dan kitab kepada Almaghfurlah Kyai Haji Ahmad Basyir Abdullah Sajjad. Kitab yang beliau ‘murok’-kan untuk kami adalah Ihya’ Ulumiddin karya Imam Al-Ghazali, Tafsir Jalalain karya Imam Al-Mahalli dan Imam As-Sayuthi, Al-Iqna’ fi halli Alfadh Abi Syuja’ karya Imam Muhammad Asy-Syarbini al-Khothib, dan al-Majalis as-Saniyyah fi al-kalam ‘ala al-Arba’in an-Nawawiyyah karya Syaikh Ahmad bin Syaikh Hijazi Al-Fusyni.
Ini membuktikan luasnya penguasaan beliau terhadap khazanah keilmuan Islam. Empat kitab di atas meliputi bidang Tashawwuf, Tafsir, Fiqh, dan Hadits. Bahkan menurut para santri dari angkatan 70-an, 80-an, dan 90-an yang saya temui, beliau juga pernah ‘murok’ Hikam, Kifayatul Akhyar, Al-Burdah, Riyadus-Shalihin, dan beberapa kitab lain.
Saya mulai ikut mengaji Ihya’ sejak hari-hari pertama berada di Annuqayah. Saat itu saya belum kerasan benar. Masih sering ingat rumah. Dan mengaji Ihya’ terasa benar-benar menggetarkan.
Pertama, karena sebelumnya saya sudah sering mendengar dari ayah dan paman tentang nama besar Imam Al-Ghazali dan kitab Ihya’-nya.
Kedua, karena reputasi kealiman Kyai Basyir yang sering saya dengar jauh-jauh hari sebelum mondok. Begitu kesempatan mengaji Ihya’ datang, ada perasaan senang dan segan bercampur aduk. Dan sejak saat itu perasaan tidak kerasan menjadi hilang.
Saya mulai ikut mengaji Ihya’ dari halaman 201 Juz 1, pada Bab Shalat sunnah yang dilaksanakan setahun sekali. Kata Kak Itqon Syauqi, pengajian Ihya’ oleh Kyai Basyir dimulai sekitar tahun 1997. Berarti saya ‘ketinggalan materi’ sekitar 2 tahun. Tapi tak apalah, tidak ada kata terlambat untuk belajar. Pengajian ini dilaksanakan tiga kali dalam seminggu, yaitu hari Sabtu, Ahad, dan Senin, setelah jama’ah shalat Ashar.
Biasanya dimulai pukul 15.30 dan berakhir pada pukul 16.30. Yang ikut pengajian ini hampir semua santri Annuqayah daerah Latee, dan sebagian santri dari daerah Lubangsa Raya, Lubangsa Selatan, Nirmala atau Lubangsa Utara, dan ada juga dari Sawah Jarin. Kyai sangat Istiqomah dalam segala hal, termasuk ‘murok’ Ihya’. Hanya jika sakit berat atau perjalanan jauh saja yang menyebabkan beliau tidak ngimami shalat jama’ah, dan karenanya juga libur tidak ‘murok’ Ihya’.
Metode pengajian Kitab Ihya’ oleh Kyai Basyir adalah dengan beliau membaca dan menerjemahkan kata per kata dengan bahasa Madura, lengkap dengan penanda posisi i’rab-nya. Misalkan: untuk Mubtada’ diartikan dengan ‘dhining’, khabar dengan ‘ka’dintoh’, fa’il dengan ‘paserah’ atau ‘ponapah’, dan seterusnya.
Untuk urusan yang satu ini Kyai Ahmad Basyir menerapkan disiplin yang sangat ketat. Beliau selalu menekankan bahwa belajar membaca kitab kuning harus taat kepada kaidah Nahwu-Sharraf. Beliau melarang santri membaca kitab kuning dengan menggunakan waqaf di akhir setiap kata atau kalimat. Harus dibaca jelas penanda rafa’, nashab, jar, dan jazam-nya. Karena, menurut beliau, hanya dengan disiplin semacam ini kita akan terbiasa membaca dan memahami kitab kuning dengan benar.
Di bagian tertentu kitab Ihya’, yang dirasa sulit, Kyai Basyir akan memberi penjelasan dengan ringkas dan jelas. Sangat jarang beliau memberi penjelasan yang panjang. Penjelasan beliau selalu pas, tak lebih tak kurang. Saya mencatat beberapa penjelasan beliau itu di bagian pinggir kitab. Semua catatan itu singkat dan padat. Misal: di halaman 268 ada kata الذهول. Kyai Basyir menjelaskan bahwa kata ini searti dengan kata غفلة yaitu lupa yang lahir dari ketidaktahuan. Kata ini berbeda dengan نسيان yang artinya pernah tahu tapi kemudian lupa.
Selain penjelasan kebahasaan, beliau juga menjelaskan beberapa istilah yang membutuhkan penguasaan terhadap ilmu penunjang di luar bidang keagamaan. Misalkan di halaman 282 baris kedua ada penyebutan جبل قاف. Kyai Basyir menjelaskannya sebagai sirkum pegunungan muda (Pasifik dan Mediteran) yang mengelilingi dunia. Atau tentang ukuran dan timbangan pada bab zakat, halaman 211. Beliau menjelaskan 1 مثقال adalah 3,779 gram. Sedangkan 1 من sama dengan 896,48 gram.
Kyai Basyir juga memberi penjelasan tambahan tentang istilah teknis Tashawwuf. Kadang penjelasan itu lebih ringkas dari kalimat bahasa Arabnya. Misalkan di halaman 283 tentang amal batin keempat bagi seorang pembaca Al-Quran, Al-Ghazali menulis:
الرابع: التدبر وهو وراء حضور القلب فإنه قد لا يتفكر في غير القرآن ولكنه يقتصر على سماع القرآن من نفسه وهو لا يتدبره والمقصود من القرآن التدبر
Kyai Basyir menjelaskannya dengan ringkas, bahwa seorang pembaca Al-Quran baru bisa mencapai tingkatan “tadabbur” jika hatinya sudah hadir.
Di bagian lain Kyai Basyir juga menjelaskan perbedaan makna أشر dan بطر pada halaman 326. Yang pertama artinya mengingkari nikmat secara umum. Sedangkan yang kedua artinya lebih khusus, yaitu mengingkari nikmat karena terlalu senang dengan nikmat itu. Yang kedua ini jelas lebih berat kadar inkarnya.
Sayangnya, masa belajar saya di Annuqayah harus berhenti saat saya memutuskan untuk kuliah di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, pada pertengahan tahun 2002. Pengajian Ihya’ Kyai Basyir untuk saya terhenti di halaman 28 Juz 2 di pertengahan pembahasan Bab Nikah.
Beberapa tahun kemudian saat saya sowan kepada beliau, Kyai Basyir bercerita bahwa beliau menghentikan pengajian Ihya’ karena beliau rasa kitab Ihya’ ini terlampau berat untuk diamalkan oleh santri. Menurut beliau, santri harus ngaji Ta’limul Muta’allim dulu sebelum mengaji Ihya’. Maka dari itu beliau kemudian ‘murok’ kitab Ta’lim lagi.
Mendengar itu saya tercekat. Jangan-jangan saya pun sebenarnya belum pantas mengaji Ihya’, karena saya merasa bahwa saya belum sepenuhnya mengamalkan isi kitab Ta’lim? Wallahu a’lam. Tapi saya mencoba menghibur diri, sebab selama tiga tahun, setiapkali pengajian Ihya’ berakhir, Kyai Basyir selalu berdoa untuk semua santri yang ikut ngaji.
Semoga satu kali saja dari sekian ratus kali doa itu dikabulkan oleh Allah untuk saya dan untuk seluruh santri Almaghfurlah Kyai Haji Ahmad Basyir Abdullah Sajjad.
18 Juli 2017
Penulis: Dr KH Ahmad Badrus Sholihin, dosen IAIN Jember.