Secara “formal”-historis, istilah “kerukunan beragama” muncul pada 30 November 1967 dalam Musyawarah Antar Agama di gedung DPA/Dewan Pertimbangan Agung.
Selanjutnya, secara legal kerukunan-beagama di atur dalam Pasal 1 ayat 1 PBM/Peraturan Bersama Menteri (Menteri-Agama & Menteri Dalam Negeri) No 8 & 9 tahun 2006 tentang pedoman tugas kepala daerah dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama, pemberdayaan FKUB/Forum Kerukunan Umat Beragama dan pendirian rumah ibadah
Ada 5 hal yang menjadi indikator kualitas kerukunan beragama adalah: relijiusitas, harmoni, dinamis, kreatif dan produktif.
Kualitas itu dibangun atas dasar 3 perspektif yakni perspektif antar-agama dengan menemukan kalimatun-sawa/common-platform, perspektif agama dan negara, serta perspektif hukum positif.
Dari beberapa riset, dalam 10 tahun terakhir isu-isu yang kerap memantik konflik antar-agama dan atau kegaduhan di ruang publik antara lain:
- isu pendirian rumah ibadah.
- isu terkait dakwah/misionaris seperti Islamisasi, kristenisasi, konversi/pindah agama dll.
- isu penodaan agama.
- isu kawin beda agama.
- isu sesat-menyesatkan antar kelompok seagama.
- isu politisasi agama.
- isu internasional yang bisa diseret-seret ke ranah agama.
Beberapa hal yang harus dikembangkan untuk mengatasi hal-hal di atas antara lain:
- penegakkan hukum dan profesionalisme aparat.
- dialog antar agama untuk mencari persamaan-ersamaan dan “menyelesaikan” perbedaan-perbedaan teologis untuk menghindari prejudice.
- kegiatan sosial antar agama untuk menumbuhkan kebersamaan.
- merevisi orientasi pendidikan agama agar tidak fiqih/jurisprudence-oriented tapi juga akhlaq/moral dan filosofi/berpikir kritis.
- education and character building berbasis perspektif antar-agama.
- penanaman nasionalisme, hubbul wathon minal iman, 4 pilar PBNU/Pancasila, Bhineka tunggak ika, Nkri Uud-1945, M melalui upaya-upaya yang kreatif dan milenial.
Danke
Penulis: Dr Suratno, dosen Universitas Paramadina Jakarta dan Pengurus Lakpesdam PBNU.