Menanggapi Disertasi Milk Al-Yamin: Mengkritisi Syahrur, Jangan Ada Caci Maki

Menyebar Hate Speech dan Hoax Dosa Besar

Disertasi adalah sebuah hasil kajian ilmiah di sebuah perguruan tinggi yang merupakan representasi dari kebebasan berfikir. Jika hasil sebuah pemikiran dari hasil sebuah metodologi itu tidak sesuai dengan metodologi pada umumnya, maka kita harus melawan dengan mencari kelemahan metodologi yang dibangun dan kita munculkan metodologi yang menurut kita benar. Bukan dengan mempersekusi dan atau mencaci-maki.

Saya belum pernah mendengar para ulama mempersekusi Dawud Adz-Dzahiri yang pendapatnya keluar dari ijma’ bahwa pernikahan tidak wajib adanya wali dan saksi. Menurut saya, pendapat Adz-Dzahiri ini juga liberal kalau boleh dikatakan liberal dan berbahaya jika diamalkan saat sekarang ini.

Kembali ke topik awal, judul disertasi “Konsep Milk Al-Yamin Muhammad Syahrur sebagai Keabsahan Hubungan Seksual Non Marital”. Menurut saya, secara sepintas tidak ada yang salah dalam judul disertasi tersebut. Hal ini mengacu pada tafsir Ibnu Katsir dan At-Thabari bahwa berangkat dari ayat:

والذين هم لفروجهم حافظون * إلا على أزواجهم أو ما ملكت أيمانهم فإنهم غير ملومين

Berdasarkan ayat tersebut Ibnu Katsir dan At-Tabrani menyimpulkan bahwa ada dua jalur seseorang boleh melampiaskan syahwat biologisnya, yaitu #pernikahan dan #kepemilikan.

Jalur kepemilikan inilah yang disebut milk al-yamin atau dalam istilahnya Syahrur disebut non marital. Itu artinya dalam sisi judul tidak ada masalah karena memang selain perkawinan ada cara yang memperbolehkan hubungan sex yaitu adanya milk al-yamin yang di luar perkawinan. Selama ini masyarakat awam hanya mengenal huhungan seks halal dengan jalur pernikahan, bahwa seseorang boleh (halal) melakukan hubungan biologis setelah adanya ikatan perkawinan. Namun masyarakat lupa bahwa dalam Al-Qur’an ada cara lain selain perkawinan untuk bisa halal melakukan hubungan sex, yaitu jalur kepemilikan atau disebut dengan istilah milk al yamin.

Lalu apanya yang salah dalam disertasi tersebut? Menurut saya, yang salah dan ini sangat keluar dari ijma’ adalah konsep milk al-yamin yang digagas Syahrur. Menurut Syahrur konsep milk al-yamin tidak hanya terfokus pada budak. Dalam konteks kekinian Syahrur mengatakan milk al-yamin adalah setiap wanita yang mau diajak berhubungan tanpa ada jalur pernikahan sesuai dengan waktu yang disukai, termasuk juga seperti muth’ah, misyar, dan atau cara lain yang disepakati.

Menurut Syahrur, keberadaan ayat Al-Quran haruslah dijaga terus pengamalannya, sehingga kata milk al-yamin jika hanya diarahkan ke raqabah (budak) maka ayat al-Qur’an hanya tinggal bacaannya, hilang hukumnya. Menurut saya, di sinilah letak kerancauan konsep Syahrur. Dia memahami dan menafsiri Al-Qur’an tidak melalui metodologi yang benar dan keluar dari pakem adanya larangan menafsirkan Al-Qur’an dengan pemikiran bukan dengan dalil.

Dalam kajian ilmiyah, berfikir adalah kebebasan, namun jika metodologi yang dijadikan pijakan adalah salah, maka pemikiran itu juga salah. Dari sini dapat kita fahami bahwa ujung pangkal kesalahan adalah karena kerancauan metodologi tafsir Syahrur yang keluar jauh dari konsep metodologi jumhur ulama.

Bahwa mayoritas ulama mufassir seperti Ibnu Katsir, al-Qurtubi, dan lainnya memaknai milk al-yamin hanya terbatas pada raqabah/budak. Hal ini tidak lepas dari sejarah paradigma pada saat itu. Jika saat ini sudah tidak ada perbudakan, maka gugurlah milk al-yamin yang dimaksud dalam Al-Qur’an dan tinggal satu cara untuk halal berhubungan seks yaitu perkawinan.

Penghapusan raqabah secara total diperbolehkan, jika memang disepakati oleh seluruh negara di dunia ini. Sebab keberadaan raqabah atau budak sebenarnya berawal dari kondisi sosial dan peradaban pada waktu itu. Agama Islam sendiri juga sangat menganjurkan budak dimerdekakan dan meminimalisir perbudakan. Jika saat ini kondisi sosial memang menghendaki menghapus perbudakan, maka itu sah secara agama dan secara otomatis milk al-yamin sudah tidak berlalu, sehingga hubungan seks harus melalui jalur perkawinan.

Semoga Allah memberi petunjuk kepada kita kepada jalan yang benar.

KH Fajar Abdul Bashir, Ketua LBM PWNU DIY.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *