Membaca kisah novel Hilda adalah membaca serpihan hidup seorang manusia yang jalan hidupnya penuh dengan guncangan dan kegetiran. Seorang perempuan harus hidup menanggung beban tragis kekerasan seksual dengan penuh ketakutan. Ada dilema, antara harus mengakhiri hidupnya ataukah tetap menatap masa depan dengan penuh keraguan?
Ketika manusia harus memilih hidup tanpa harapan, disitulah manusia mendapatkan ujian hidup yang sebenarnya. Hilda harus memilih hidup tanpa harapan itu. Hari-hari usai kekerasan seksual itu, Hilda merasa menjadi manusia paling buruk nasibnya. Kalaupun harus melanjutkan hidup, hari-harinya tak lebih seperti kematian itu sendiri. Apalagi Hilda akhirnya hamil di luar nikah dan melahirkan anak tanpa seorang ayah. Ini beban hidup yang sangat sulit di masyatakat. Beban mental dan sosial yang sangat tidak nyaman.
Di tengah ancaman hidup tanpa cahaya itu, sang ibu memutuskan untuk mengirim Hilda belajar di pondok pesantren. Pesantren ini diasuh oleh seorang ulama’ perempuan yang sangat perhatian dengan nasib perempuan korban marginalisasi dan diskriminasi. Babak baru hidup Hilda dimulai, walaupun trauma yang mencekam sama sekali belum hilang. Hari-hari Hilda sudah mulai menjalani proses belajar dan berinteraksi dengan sesama santri. Ada harapan yang muncul, mengisi hidup untuk belajar.
Dinamika menjadi santri selalu dipenuhi kisah sedih, bahagia, bahkan antara keduanya. Hilda menjalani itu semua, sampai Hilda akhirnya memutuskan untuk melanjutkan belajarnya di kampus. Ia berjuang sekuat tenaga untuk terus belajar, diskusi, dan berbagai kegiatan positif lainnya. Ia menikmati itu semua, mencoba melupakan kisah kelam yang menjerat hidupnya.
Tiba-tiba, di tengah bahagianya Hilda belajar jadi santri dan mahasiswa itu, kisah kelamnya mendadak menghantuinya dengan begitu mencekam tatkala cinta bersemi di dalam hatinya. Hilda bertemu dengan seorang lelaki yang tulus mencintainya, tapi tidak mengetahui latarbelakang hidupnya. Sementara Hilda sendiri masih sangat sulit mencintai seorang lelaki, karena trauma seksual yang tak kunjung hilang itu.
Bagaimana Hilda menghela nafas cinta yang tumbuh itu? Bagaimana kisah trauma itu menghantui jalan hidupnya? Bagaimana pula Hilda yang secara tiba-tiba bisa kehilangan tujuan hidupnya? Simaklah kisah novel Hilda ini, anda akan menemukan kisah seorang manusia yang berjuang menatap masa depan di tengah jalan terjal yang menghantui tanpa henti itu.
Novel ini mendapatkan pengakuan para ilmuan Indonesia. Lies Marcoes Natsir, Peneliti dan aktivis perempuan, memberikan penilaian bahwa novel Hilda ini berhasil menjelaskan dengan sangat teliti dan terperinci kehidupan santri putri di dalam pesantren. Meksipun telah terbit beberapa novel dengan latar belakang pesantren, namun daya ungkap yang sabar namun bertenaga dari penulisnya memberi nuansa yang berbeda atas penggambaran dunia pendidikan Islam tertua di Nusantara ini. Sementara itu, persentuhan penulis dengan isu-isu yang menjadi agenda perjuangan perempuan, yakni penghapusan kekerasan terhadap perempuan merupakan bidang kanvas yang terus mengusiknya untuk berbuat laksana lukisan jiwa.
Perpaduan di antara keduanya, bagi Lies Marcoes, adalah sebuah sajian yang sanggup mengungkap lembaran kitab kehidupan dari seorang perempuan tokoh bernama Hilda serta keberdayaannya dalam mengatasi trauma kekerasan seksual yang dialaminya.
Sementara itu, pakar ilmu Qiro’ah Mubadalah KH Dr Faqihuddin Abdul Kodir menjelaskan bahwa novel Hilda sangat menyentuh dan inspiratif. Penuh dengan nuansa spiritualitas untuk menguatkan perempuan yang terluka oleh laki-laki, bahkan memerdekakannya dari ketakutan dan penghambaan kepada selain Allah SWT, untuk menjadi pribadi mandiri, yang siap bahagia dan membahagiakan. Baginya, inilah karya masterpice pertama sastra mubadalah.
Dari Direktur Rahima Jakarta, Pera Soparianti, menjelaskan bahwa novel ini terasa memiliki sentuhan berbeda. Pendekatan Islam pesantren mewarnai cara pandang terhadap pengalaman-pengalaman pahit yang hanya dirasakan seorang perempuan, yaitu korban perkosaan. Novel ini menggugah semangat korban untuk bangkit dari keterpurukan. Seperti yang dialami Hilda, dirinya terguncang setelah diperkosa, bahkan stigma sosial seakan turut menghakiminya. Seharusnya semua pihak, pasangan, orang tua, maupun masyarakat di sekitar korban, menguatkan korban perkosaan untuk terus menapaki hari yang penuh harapan. Bukan malah memojokkan dengan cara menyalahkan korban, atau reviktimisasi. Begitulah yang dilakukan Ibunya, serta seorang Bu Nyai di Pesantren yang merangkul, berempati, serta menemani Hilda menemukan kembali gairahnya untuk melanjutkan hidup.
Pengakuan dari para pakar ini menjadi daya dobrak tersendiri dalam novel ini. Apalagi penulisnya adalah seorang kader NU, tepatnya kader Fatayat NU DIY. Penulis juga alumni Pesantren Krapyak Yogyakarta. Dari sini, semangat penulis dalam membedah kasus kekerasan seksual kepada perempuan sangat kuat dengan argumen yang tegas.
Novel ini sangat tepat menjadi bacaan para santri, terlebih santri putri. Juga sangat bagus menjadi referensi para ibu nyai dan kaum muslimah di Indonesia dalam meresapi perjuangan kaum perempuan yang tercermin dalam sosok Hilda.
(Bagi yang berminat, silahkan menghubungi No: 089670161691)
Identitas Buku:
Judul: Hilda; Cinta, Luka dan Perjuangan
Penulis: Muyassarotul Hafidzoh
Penerbit: Pustaka 1926 Yogyakarta
Cetakan: 1, Januari 2020
Tebal: 508 halaman.
Peresensi: Abu Umar, pecinta sastra tinggal di Yogyakarta.