Membaca Cak Sugik dan Narasi Takfiri

nur sugi

Sebenarnya malas membincang pendakwah yang dengan pongahnya mengatakan bisa menggaji ustadz yang mahir baca kitab untuk mengajar di pesantrennya, karena dirinya tidak bisa membaca kitab. Kapabilitasnya sebagai pendakwah Islam sangat dipertanyakan. Terlebih gara-gara menonton video dia, saya pernah marah-marah sendiri dan akhirnya menulis postingan di FB berjudul “Pendakwah Sampah.” Namun karena provokasi sejumlah teman, akhirnya saya terbetot juga untuk mengulas omongan orang ini. Selain itu, membersihkan sampah yang mengotori tempat publik adalah perbuatan mulia.

Beberapa hari lalu beredar video ceramah Cak Sugik di Sumatera Utara. Seorang perempuan mencoba mengingatkannya agar tidak menggunakan kata “kecebong” sebagai label pendukung Jokowi. Tak elok manusia dijuluki bintang. Kira-kira begitu argumen si perempuan. Dengan lantangnya Cak Sugik menyuruh hadirin untuk membuka QS Al Isra ayat 176. Dikutiplah sebuah potongan ayat yang lengkapnya begini:

وَلَوْ شِئْنَا لَرَفَعْنَاهُ بِهَا وَلَٰكِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَى الْأَرْضِ وَاتَّبَعَ هَوَاهُ ۚ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ الْكَلْبِ إِن تَحْمِلْ عَلَيْهِ يَلْهَثْ أَوْ تَتْرُكْهُ يَلْهَث ۚ ذَّٰلِكَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا ۚ فَاقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ

“Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing, jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berpikir).”

Saya telusuri aplikasi pencari ayat Alquran, ternyata yang dikutip oleh Cak Sugik ada di QS Al A’raf ayat 176. Kalau sekadar salah sebut surat masih dimaklumi. Namun penggunaan ayat untuk melegitimasi julukan kecebong bagi rival politik, itu bermasalah. Cak Sugik seolah mengatakan, Allah pun menggunakan kata “anjing (asu; bahasa jawa)” untuk menjuluki manusia yang mengingkari ayat-ayat-Nya.

Sejatinya kata “asu” itu netral. Saat diucapkan dalam situasi cangkrukan ngopi santai, misalnya, “Asu kowe, Doel….,” tentu maknanya berbeda jauh saat diungkapkan dengan muka memerah. Pelabelan kecebong kepada pendukung Jokowi dan kampret kepada pendukung Prabowo jelas tak dibenarkan. Maka tak perlulah memerkosa ayat Alquran untuk membenarkannya. Itu kesalahan pertama Cak Sugik.

Kesalahan kedua, Cak Sugik mengutip ayat di atas tanpa mengindahkan ayat sebelumnya:

وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ الَّذِي آتَيْنَاهُ آيَاتِنَا فَانْسَلَخَ مِنْهَا فَأَتْبَعَهُ الشَّيْطَانُ فَكَانَ مِنَ الْغَاوِينَ

“Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami, kemudian dia melepaskan diri dari ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh setan (sampai dia tergoda), maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat (QS Al A’raf ayat 175).”

Saya membuka dua kitab: Tafsir Al Fakhrurozi -populer dengan Tafsir Al Kabir wa Mafatihul Ghoib (Juz 15 halaman 57-58: terbitan Darul Fikr) dan Marah Labid Tafsir An Nawawi atau Tafsir Munir (Juz I halaman 307-308: terbitan Thaha Putra). Kedua kitab tafsir itu menjelaskan ayat 175 dan 176 secara bergandengan, tidak terpisahkan. Ayat 175 berisi perintah kepada Nabi Muhammad SAW untuk menyampaikan sebuah kisah klasik kepada kafir Makkah. Apa kisah itu?

Pada zaman Nabi Musa AS, hiduplah seorang waliyullah yang sangat alim dan ‘arif billah bernama Bal’am bin Ba’uro’. Doanya mustajab, apa pun yang dikehendakinya terkabul saat itu pula. Suatu waktu Musa AS bersama pengikutnya (Bani Israil) datang ke sebuah daerah yang penduduknya kafir dan lantas memeranginya. Kaum kafir tersebut mengadu kepada Bal’am. Mereka meminta Bal’am mendoakan Musa AS dan pengikutnya celaka. Awalnya Bal’am menolak, namun mereka terus merengek, hingga akhirnya dipenuhilah permintaan tersebut.

Tak berselang lama, Musa AS dan pengikutnya terdampar di gurun pasir (Attiih). Musa AS pun protes, “Ya Allah apa dosa saya hingga kami terdampar begini?” Allah pun menjawab bahwa semua itu lantaran doa Bal’am. Musa lantas memohon kepada Allah, “Sebagaimana Engkau kabulkan doa Bal’am, maka kabulkanlah doaku. Cabutlah anugerah-Mu dan keimanan dari Bal’am.” Allah pun merestui doa Musa. Segala anugerah spesial yang dikaruniakan kepada Bal’am tercabut dari hatinya ibarat merpati putih terbang.

Nah, ayat 176 yang dikutip oleh Cak Sugik itu merujuk kepada Bal’am. Seorang dengan anugerah spesial dari Allah namun terjerembab kekufuran karena kecenderungannya kepada materi dan hawa nafsunya. Imam Abil Hasan Ali bin Ahmad dalam Kitab Wajiz fi Tafsiril Quran (di Tafsir Marah Labid terbitan Thaha Putra, kitab ini berposisi di tepi/hamisy), mengungkapkan bahwa Bal’am mengambil rasuah (suap) dari kaumnya saat mereka meminta doa.

Apakah kedua ayat tersebut tepat digunakan dalam situasi kontestasi Pilpres sekarang? Ini kesalahan ketiga Cak Sugik. Obyek pembicaraan kedua ayat di atas adalah kaum kafir Makkah yang mengingkari kerasulan Muhammad SAW dan ayat-ayat Tuhan demi menuruti hawa nafsunya.

Memangnya kalau orang memberikan dukungan kepada Jokowi berarti menuruti hawa nafsu? Barangkali dalam nalar Cak Sugik, para pendukung Jokowi mengabaikan perintah “ulama” yang telah berijtimak mendukung Prabowo. Padahal ulama adalah ahli waris Nabi yang harus ditaati, termasuk pilihan politiknya. Bagi saya, kontestasi politik, dari level Pilkades hingga Pilpres, dari Pileg DPRD II hingga DPR RI adalah perkara dhanny. Orang diperbolehkan berijtihad individual, mengerahkan segala daya pikirnya untuk menentukan pilihan.

Kalau ditarik lebih jauh, narasi yang dikembangkan oleh Cak Sugik rawan tergelincir pada narasi kaum takfiri politis. Sambil mengutip sejumlah ayat, yang paling sering tiga ayat dalam QS Al Maidah, yakni ayat 44, 45, dan 47. Barangsiapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan oleh Allah, maka mereka itu orang-orang kafir, orang-orang zalim, dan orang-orang fasik.

Karena negeri ini tidak berasaskan Alquran dan Sunnah serta tidak menjalankan syariat Islam, hukum-hukumnya buatan manusia, maka para pengurus negeri ini adalah orang-orang kafir. Siapa yang dikenai vonis kafir? Legislator, eksekutif, ASN, TNI, dan Polri. Pasalnya mereka adalah penyusun dan pelaksana aturan-aturan hukum di negeri ini. Mau mereka rajin shalat, bahkan istiqamah tahajud, puasa ramadhan penuh, bahkan rajin puasa senin-kamis sekalipun, pendek kata rukun Islam telah dilakukan semuanya, kalau mematuhi hukum selain hukum buatan Allah berarti kafir. Kalau tidak mau divonis kafir, ingkarilah hukum-hukum di negeri ini, berusahalah untuk menegakkan daulah Islam.

Hemat saya, kelompok takfiri berhak hidup di negeri ini sebagai konsekuensi demokrasi. Asalkan hobi kofar-kafirnya sekadar di mulut. Toh vonis kafir tidak akan menurunkan derajat keimanan secuil pun. Yang paling rawan melongsorkan iman adalah 3 A: bagi laki-laki harta, tahta, dan wanita; Sebaliknya bagi perempuan: harta, tahta, dan pria. Namun narasi takfiri berbahaya jika diimbuhi dengan doktrin jihadisme. Dari situlah muncul aksi-aksi terorisme.

Akhirul kalam, stop memerkosa ayat-ayat suci untuk memenuhi hasrat kuasa. Cukuplah belajar dari pengalaman kehancuran Negara-negara di belahan Arab sana.

Penulis: Syafiq Syeirozi, PP ISNU.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *