Memahami Illat dalam Qiyas Ngaji Ushul Fiqh 12

illat qiyas

Memahami Illat dalam Qiyas Ngaji Ushul Fiqh 12

Jamal Ma’mur Asmani, Dosen Ushul Fiqh IPMAFA Pati

Memahami Illat dalam Qiyas. KH MA. Sahal Mahfudh dalam البيان الملمع عن الفاظ اللمع menjelaskan, dalam qiyas, cabang harus dikembangkan kepada asal dengan sarana illat yang mengumpulkan keduanya.

Illat yang mengumpulkan keduanya ada dua macam.

Memahami Illat dalam Qiyas. Pertama, dijelaskan secara tekstual oleh nash (منصوصة, manshushah).

Kedua, digali oleh mujtahid (مستنبطة, mustanbathah – الحاصلة عن راْي المجتهد).

Illat manshushah digambarkan seperti ada orang yang mengatakan: حرمت الخمر للشدة المطربة (saya mengharamkan khamar karena terlalu membuat riang gembira). Perkataan ini bisa dijadikan illat karena menyatakannya secara tekstual sehingga tidak membutuhkan petunjuk kebenarannya dari konteks pengaruh dan penggalian hukumnya secara rasional (من جهة الاستنباط والتاْثير).

Illat mustanbathah dicontohkan seperti terlalu membuat riang gembira dalam khamar. Hal ini diketahui dengan pencarian serius (عرفت بالاستنباط). Ini bisa menjadi illat.

Sebagian orang mengatakan: illat harus ditetapkan dengan nash dan ijma’ (contoh illat dengan ijma’: Pertama, mengganggu pikiran [تشويش الفكر] yang menjadi sebab larangan mengambil keputusan dalam hadis Nabi : لا يحكم احدكم بين اثنين وهو غضبان. Illat menggangu pikiran ini digunakan untuk menyamakan hukum larangan mengambil keputusan dalam kondisi terlalu lapar dan haus. Kedua, ijma’ bahwa illat mendahulukan saudara kandung [tunggal ayah-ibu] dalam warisan dari saudara tunggal ayah adalah percampuran dua nasab [اختلاط النسبين], maka dalam hal perwalian nikah dan shalat jenazah saudara kandung tunggal ayah-ibu juga didahulukan).

Pendapat ini salah karena ada hadis yang menjelaskan pentingnya ijtihad, yaitu: ketika Nabi bertanya kepada sahabat Mu’adz bin Jabal bin Amr bin Aus, dengan apa kamu menetapkan hukum ? Mu’adz menjawab: dengan kitab Allah. Nabi bertanya, jika engkau tidak menemukan ? Mu’adz menjawab: dengan sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Nabi bertanya: jika engkau tidak menemukan ? Mua’dz menjawab: saya berijtihad (bersungguh-sungguh berpikir) untuk menyampaikan gagasanku (اجتهد راْيي). Hadis ini menjelaskan, jika mencari dan menetapkan illat (التعليل) tidak boleh kecuali dengan nash atau ijma’, maka dalam hadis ini tentu tidak dijelaskan tentang kebolehan ijtihad.

Pembagian Illat

Memahami Illat dalam Qiyas. Abdul Wahhab Khallaf dalam علم اصول الفقه menjelaskan, illat dibagi menjadi tiga:

Pertama, illat yang mempengaruhi (المناسب الموْثر).

Yaitu: sifat yang relevan yang oleh Pemegang Otoritas Syariat (Syari’) dijadikan hukum. Illat ini ditetapkan oleh nash atau ijma’ sebagai illat hukum.

Contoh:

Firman Allah:
ويساْلونك عن االمحيض قل هو اذي فاعتزلوا النساء في المحيض

Hukum yang diambil dari nash ini adalah wajib menjauhi istri (tidak menyetubuhinya) ketika sedang haidl. Alasannya adalah haidl adalah kotor. Kotor adalah illat hukum wajibnya menjauhi istri. Kotor adalah sifat yang relevan dan mempengaruhi hukum.

Sabda Nabi:
لا يرث القاتل (orang yang membunuh tidak boleh mewarisi).
Hadis ini menunjukkan bahwa illat larangan mewarisi adalah membunuh. Membunuh adalah sifat yang relevan dan berpengaruh.

Firman Allah:
وابتلوا اليتامي حتي اذا بلغوا النكاح فان انستم رشدا فادفعوا اليهم اموالهم

Hukum yang diambil dari ayat ini adalah orang yang belum baligh, otoritas pengelolaan harta (الولاية المالية) ada pada walinya. Menurut ijma’, illat larangan pengelolaan harta adalah usia kecil (الصغر). Usia kecil adalah illat yang relevan dan berpengaruh. Artinya, ketika sudah besar, maka ia boleh mengelola hartanya sendiri.

Setiap hukum syara’ yang diikuti sifat yang relevan dan ada nash atau ijma’ yang menjelaskan bahwa sifat ini adalah illat hukum, maka sifat tersebut relevan dan berpengaruh. Inilah illat yang paling tinggi derajatnya.

Kedua, illat yang relevan dan pantas (المناسب الملائم)

Yaitu: illat yang relevan yang oleh Pemegang Otoritas Syariat digunakan untuk menetapkan hukum, namun nash dan ijma’ tidak menetapkannya sebagai illat. Meskipun demikian, ia ditetapkan sebagai illat hukum dari tiga aspek; dari jenis hukum hukum yang sesuai, mengganggap sifat dari jenis hukum, dan menganggap sifat dari jenisnya sebagai illat hukum dari jenis hukum.

Contoh:

Anak kecil adalah illat otoritas kewalian seorang bapak dalam menikahkan anak perempuan yang masih kecil menurut madzhab Hanafi. Namun, nash atau ijma’ tidak menunjukkan illat kewalian adalah status perawan atau anak kecil. Tapi menurut ijma’ ulama, illat kewalian dalam pengelolaan harta anak kecil adalah usia kecil. Sedangkan kewalian dalam masalah pernikahan adalah satu jenis dengan kewalian harta. Maka kemudian ditetapkan bahwa illat kewalian dalam menikahkan anak perempuan yang masih kecil adalah usia kecil. Janda yang masih kecil juga disamakan dengan perawan yang masih kecil. Begitu juga dengan perempuan gila dan perempuan yang melakukan kekejian.

Contoh kedua:

Bepergian membolehkan menggabungkan shalat (jama’) sesuai dengan nash. Bagaimana dengan hujan ? bepergian dan hujan adalah dua macam dari satu jenis, karena keduanya adalah hal yang menyebabkan kesulitan dan kecapean. Maka, ketika Syari’ menetapkan bepergian sebagai illat kebolehan menggabungkan dua shalat, maka Syari’ juga membolehkan yang sejenis sebagai illat kebolehan. Maka, illat kebolehan menggabungkan dua shalat dalam kondisi hujan adalah hujan. Kondisi lain yang disamakan dengan kondisi hujan adalah saat hujan salju dan situasi dingin.

Contoh ketiga:

Berulangnya waktu shalat sehari semalam menggugurkan qadla’ shalat bagi perempuan haidl. Nash menetapkan bahwa perempuan yang haidl tidak boleh berpuasa dan melakukan shalat. Namun ketika sudah bersuci, maka ia wajib mengqadla’ puasa, bukan shalat. Gugurnya qadla’ puasa tidak dijelaskan nash sebagai illat.

Namun, berulangnya waktu shalat sehari semalam sebagai gudaan kuat timbulnya kesulitan dan memberatkan, dianggap sebagai dispensasi (رخصة) yang meringankan, seperti sakit dan bepergian yang membolehkan membatalkan puasa di bulan Ramadlan, bepergian diperbolehkan meringkas shalat, bertayammum ketika tidak ada air, dan akad salam dan pinjam untuk memenuhi kebutuhan. Maka, setiap sesuatu yang di dalamnya ada dugaan kuat adanya kesulitan, maka dianggap sebagai illat hukum yang meringankan. Begitu juga dengan berulangnya shalat sehari semakin juga dianggap memberatkan.

Kedua, sifat yang relevan dan tidak terikat (المناسب المرسل).
Yaitu sifat yang tidak dijelaskan Syari’ dan tidak ada dalil syara’ yang menunjukkannya bahwa ia adalah illat atau menunjukkan bahwa ia bukan termasuk illat. Namun, ia adalah sesuatu yang relevan yang menunjukkan kemaslahatan, namun tidak terikat dengan dalil yang menetapkannya atau menafikannya. Inilah yang disebut dengan maslahah mursalah (المصلحة المرسلة).

Contoh:

Ketika sahabat menetapkan adanya pajak (خراج) bagi tanah pertanian, membukukan al-Qur’an dan menyebarluaskannya yang semuanya didasari oleh kemaslahatan, namun tidak ada dalil yang menunjukkannya.

Dalam konteks ini ada perbedaan pendapat. Sebagian ulama tidak menganggapnya sebagai illat dan sebagian ulama menganggapnya. Hal ini akan dibahas dalam kajian tersendiri.

Keempat, sifat yang tidak dianggap (المناسب الملغي)

Yaitu sifat yang tidak dianggap sebagai illat oleh Syari’, meskipun mengandung kemaslahatan.

Contoh:

Menyamakan anak laki-laki dan anak perempuan dalam hal waris, dan menghukum dengan hukuman khusus bagi orang yang membatalkan puasanya dengan sengaja di bulan Ramadlan untuk tujuan pencegahan (preventif).

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *