Mbak Ulya, Merasakan Banyak Manfaat Sejak Ikut Ber-Fatayat

mbak ulya

Bulan April yang lalu telah terselenggara perhelatan akbar dua tahunan sekali, yaitu Pemilihan Duta Santri Nasional 2018. Fatayat NU DIY kembali menggelar kegiatan ini setelah dua tahun silam sukses mengadakan kegiatan serupa. Aku diperkenalkan dengan sesosok perempuan tangguh yang bekerja di balik layar panggung Duta Santri Nasional 2018, yaitu Mbak Ulya.

Pada duta santri tahun ini, dipilih 20 finalis terbaik duta santri putra dan putri dari seluruh perwakilan pondok pesantren di Indonesia untuk mengikuti karantina dan pembekalan di Yogyakarta pada tanggal 23-29 April 2018. Aku berada di antara ke-20 finalis tersebut. Bale Pandoem Homestay yang beralamatkan di Jalan Tamansiswa menjadi tempat penginapan para finalis, gedung PWNU untuk kegiatan pembekalan, gedung multi purpose UIN Sunan Kalijaga untuk kegiatan semifinal, dan graha Wanabhaktiyasa untuk grand final.

Pertama kali masuk penginapan Bale Pandoem, aku disambut hangat oleh jajaran panitia, termasuk ketua panitia, yaitu Mbak Ulya. Sosok lemah lembut dan penyayang anak menjadi kesan pertama yang aku tangkap sebelum mengenalnya lebih jauh.

Pada malam penyambutan finalis di penginapan, mbak Ulya menyampaikan sambutan dan prakata panitia. Kata-kata yang ia ucapkan mengundang perhatian semua  orang yang ada di ruangan itu. Pasalnya, suara halus, lembut dan tenangnya itu sangat unik dan menarik perhatian untuk didengar. Lebihnya lagi, setelah mengucapkan salam, ia bingung mau menyampaikan apa dan bertanya kepada mbak Khotim, ketua fatayat NU DIY. Hal itu mengundang tawa banyak orang akan kelucuannya.

“Semangat ya Dek. Di usiamu yang masih muda ini memang untuk mencari pengalaman. Biar kenal sama finalis-finalis lainnya, kakak-kakak tingkatmu yang memang usinya sudah mapan,” ucapnya. Yang aku rasakan, ia selalu memberi dorongan semangat dan motivasi kepada orang lain. Termasuk aku sebagai salah satu finalis yang terbilang lebih muda di antara yang lain. Perlu diketahui bahwa usia yang disyaratkan dalam ajang ini adalah 17-25 tahun. Sementara di tahun pertama kuliah, namaku sudah tercantum di antara ke-20 finalis.

Siapakah sosok mbak Ulya yang sebenarnya? Pemilik nama lengkap Amaliyatul Ulya ini adalah seorang ibu muda yang tergabung aktif dalam keorganisasian Fatayat NU DIY. Perempuan lulusanPondok Pesantren Modern Gontor Putri I dan S1 Biologi UIN Sunan Kalijaga ini berkiprah aktif di keorganisasian Fatayat NU DIY, khususnya di bidang yang diamanahkan kepadanya, yaitu bidang sosial budaya. Baru satu tahun ia bergabung, ketua Fatayat NU DIY, Mbak Khotimatul Husna mempercayainya untuk menjadi ketua panitia Duta Santri Nasional 2018.

Ketika aku wawancarai mbak Ulya pada hari Sabtu (14/07) di tempat kerjanya PT.Esma, ia menceritakan pengalamannya selama di organisasi Fatayat. Ia menemukan banyak manfaat yang ia rasakan sendiri. Organisasi ini menjadi wadah baginya untuk ibu-ibu muda berkumpul saling memotivasi, sharing-sharing pengalaman, belajar bagaimana cara mengasuh dan mendidik anak yang baik. Selain itu, organisasi ini juga bergerak di bidang kemasyarakatan lainnya dan bermanfaat untuk semua golongan.

Lebih uniknya, ketika hendak aku wawancarai, ia meminta waktu sejenak untuk berpikir dan menuliskan sesuatu. Katanya, ia sering tidak beraturan ketika disuruh menjawab pertanyaan yang mendadak. Di sekian banyak narasumber yang aku wawancarai selama menjadi wartawan, mbak Ulya-lah yang paling unik. Ketika mempersiapkan diri, aku dipersilakannya untuk mencicipi jamuan yang disediakannya.

Selama menjadi ketua panitia duta santri, ia tidak menemukan kendala yang begitu berarti karena semua jajaran kepanitiaan sangat antusias dan bersemangat. “Ada sedikit miskomunikasi antar panitia karena tidak semua ikut rapat, tidak semua ikut perkumpulan, tidak ikut rembug di grup WA. Jadi hanya salah paham aja sedikit,” paparnya. Semua tugas ia jalani dengan suka hati karena ia niatkan untuk mencari pengalaman dan beribadah.

Semasa kuliah, perempuan berkelahiran Yogyakarta, 10 Oktober 1989 ini aktif di berbagai organisasi seperti lembaga kebahasaan UIN Sunan Kaligaja dan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM). Kondisi ekonomi yang menurun semasa kuliah memaksanya untuk melakukan hal lain di samping kuliah. Kemudian ia pun membuka warung kecil-kecilan di depan rumah, menjadi guru sebuah tempat kursus di sore hari dan guru TK di pagi hari. Kegigihannya dalam mencari ilmu membuahkan hasil yang cukup memuaskan. Ia seringkali menjadi perwakilan dari UIN untuk mengikuti ajang perlombaan inovasi wirausaha pruduk biologi.

Man Jadda Wajada

Ia pun sempat menceritakan kepribadiannya ketika aku wawancarai. Ia mengungkapkan bahwa ia lebih piawai dalam hal manajemen dan berkarya. Sementara di sisi lain, ia  mengaku sulit untuk disuruh berbicara di depan umum. Perempuan yang mempunyai motto hidup Man Jadda Wajada ini memang terbukti dengan ucapannya tentang pengakuan dirinya. Profesi yang dilakukannya sekarang, yaitu mengelola sebuah perusahaan bernama PT. Esma yang membutuhkan pengelolaan yang baik mampu ia kerjakan hingga perusahaan ini sudah berskala nasional. Ia sendiri pernah menolak untuk menjadi ketua panitia duta santri karena ia menyadari akan kelemahannya dalam berbicara di depan umum. Namun ia niatkan untuk ibadah dan mencari pengalaman.

Perempuan yang kerap dipanggil Mbak Ulya ini memilih untuk menikah di usia muda ketika ia masih semester enam S1. Ia dipersunting oleh seorang dosen UIN Sunan Kalijaga, Dr. Muhammad Nasiruddin M.Si. Tepat seminggu setelah wisuda, ia dikaruniai seorang anakyang diberi nama Nadha Huffadza Esmaaliya. Selang beberapa tahun kemudian, ia kembali dikaruniai anak yang diberi nama Emerald Divya Wahisna Ghiyas. Akhirnya cita-cita yang telah didambakan sejak lama, yaitu peneliti dan dokter forensik kini berubah menjadi seorang ibu yang baik bagi anak-anaknya dan istri solihah bagi suaminya.

Aku semakin tertarik dengan perjalanan hidup mbak Ulya. Aku pun bertanya tentang motivasi hidup yang mbak Ulya pegang. “Kesuksesan kita (seorang istri) tergantung pada ridho suami dan orang tua. Jadi saya ini hanya memilih jalur yang diridhio suami dan orang tua walaupun sebenarnya itu bukan kemauan saya. Tapi yang penting berkah. Alhamdulillah selama ini diberi kelancaran. Yang terpenting saat ini anak-anak. Karier boleh tertunda tapi mendidik anak harus berhasil.” Tegasnya.

Sebenarnya ia enggan untuk aku wawancarai mengenai dirinya karena ia merasa bahwa dirinya bukan siapa-siapa. Akhirnya setelah aku memohon, ia pun angkat bicara. Seperti biasa, dengan kelemah-lembutannya. “Saya banyak belajar dari istri-istri suaminya yang sukses. Saya mengalah dulu sementara ini sampai nanti waktu yang tepat, mungkin anak-anak sudah besar.Oke kalau ada kesempatan untuk menggapai cita-cita yang lalu. Tapi kalau enggak, sudahlah, seperti ini juga alhamdulillah.”

Di akhir, ia berpesan kepada istri-istri lainnya. “Jadilah isteri yang solihah, yang setiap langkahnya diridhai suami, menyenangkan hati suami. Jangan pernah menyerah. Niatkan lillahi ta’ala. Walaupun kita tidak berkarier di luar rumah, tapi kita bisa sambil menjaga anak dan hidup berkah. Meskipun berkarier di luar rumah, kita juga harus tetap taat kepada suami.” lanjutnya.

Setelah berkenalan cukup jauh, ternyata kesan pertama yang aku tangkap benar-benar ada dalam jiwa mbak Ulya. Sukses selalu untuk mbak Ulya !

(Fadlan dari IAIN Salatiga, Finalis Duta Santri Nasional 2018)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *