Makna Ikhtiar Manusia Menurut Kitab Jawharah at-Tawhid
وعندنا للعبد كسب كلفا
به ولكن لم يؤثر فاعرفا
Bait di atas itu saya kutip lewat ingatan dari kitab Jawharah at-Tawhid yang pernah saya pelajari di Pondok Pesantren Nurul Islam Karangcempaka pada guru saya, KH. Ramdlan Siraj, sekitar tahun 1988.
Bait di atas itu menegaskan pandangan Ahlussunnah wal Jama’ah tentang ikhtiar manusia yang mesti ditempuh, tidak boleh hanya berpangku tangan berhadapan dengan kenyataan atau problem kehidupan. Misalnya, dalam konteks keterkaitan dengan virus Corona hari-hari ini, kita harus berikhtiar dengan cara menghindar sekaligus menangkalnya. Baik secara lahiriah maupun batiniah. Syukur kalau sanggup meminimalisir atau bahkan melenyapkannya.
Dalam konteks bait di atas itu, pasrah total kepada takdir tanpa adanya upaya sama sekali jelas merupakan suatu kesalahan. Misalnya, menarik kesimpulan bahwa kalau waktunya sakit, ya sakit, kalau waktunya mati, ya mati, tanpa ikhtiar sama sekali untuk menghindar dan menangkal virus Corona.
Akan tetapi, kita juga harus yakin, sebagaimana diungkapkan oleh baris kedua pada bait di atas, bahwa ikhtiar kita itu tidak memiliki kekuatan apa pun untuk menangkal kehendak Allah Ta’ala. Kehendak hadiratNya itu mutlak. Karena itu, tidak mungkin bisa digeser oleh kemauan dan usaha manusia.
Lantas, bagaimana kita menghadapi virus Corona? Hadapilah dengan cara-cara tercanggih sesuai dengan kemampuan kita. Setelah itu, merataplah kepada hadiratNya dengan seruling kepedihan hati, baik dengan nada rendah maupun tinggi.
Demikian ulasan khusus terkait Makna Ikhtiar Manusia Menurut Kitab Jawharah at-Tawhid.
Penulis: Kiai Kuswaidi Syafi’ie, Pengasuh Pesantren Maulana Rumi Bantul.
Baca pula artikel khusus terkait
Oleh Edi AH Iyubenu, wakil ketua LTN PWNU DIY.
Para imam mazhab kita kenal memiliki hubungan guru-murid satu sama lainnya. Imam Abu Hanifah, pendiri Mazhab Hanafi, berguru kepada Imam Ja’far al-Shadiq, yang sanad biologisnya bersambung kepada Ali bin Abi Thalib –tentu berikutnya bersambung kepada Rasulullah Saw.
Imam Malik, pendiri Mazhab Hanafi, berguru kepada salah satu murid utama Imam Abu Hanifah. Kemudian salah satu guru utama Imam Syafii, pendiri Mazhab Syafii yang kita anut di negeri ini, ialah Imam Malik, pengarang kitab terkenal, Al-Muwaththa’. Dan, terakhir, Imam Ahmad bin Hanbal berguru kepada Imam Syafii.
Secara sanad keilmuan, tiada syak wasangka sama sekali atas kesinambungan relasi tersebut, sehingga kita pun hari ini menerima semua mazhab itu sebagai sahih dan otoritatif.
D antara riwayat terkenal hubungan guru-murid Imam Malik dan Imam Syafii ialah dialoh perihal tawakkal dan ikhtiar.
Imam Syafii yang masih muda meyakini bahwa manusia mesti melakukan ikhtiar, usaha, untuk menggapai hajatnya. Kira-kira, ia berprinsip bahwa tidak ada sesuatu yang turun percuma dari langit. Dalam bahasa kita hari ini: “Tak ada makan siang gratis.”
Sebaliknya, Imam Malik yang lebih sepuh mengajarkan bahwa tawakkal lebih utama daripada ikhtiar, karena ikhtiar pun pada hakikatnya adalah kehendak dan karunia Allah Swt sehingga kita mesti menerimanya, apa pun itu. Maka bertawakkal adalah jawaban tertepatnya.
Perbedaan pandangan antara guru dan murid ini berjalan sejuk belaka. Sebagai guru yang bijaksana, Imam Malik tak pernah memaksakan pandangannya untuk ditelan bulat-bulat dengan paksa oleh muridnya, Imam Syafii. Dan Imam Syafii pun tak pernah melabrakkan pandangannya dengan frontal kepada gurunya.
Suatu hari, Imam Syafii ingin makan ikan. Pergilah ia ke pasar untuk membeli ikan. Saat memilih-milih ikan, ia teringat pada gurunya, Imam Malik. Ia pun membeli ikan dalam jumlah yang agak banyak sembari bergumam: “Jika saya tak berikhtiar pergi ke pasar, membeli ikan-ikan ini, mana mungkin saya bisa dapat ikan ini? Inilah bukti utamanya ikhtiar.”
Selang kemudian Imam Syafii membawa ikan-ikan yang hendak dihadiahkan ke rumah gurunya. Imam Malik menerima hadiah ikan-ikan itu dengan wajah sumringah.
Imam Syafii lalu berkata, “Guru, umpama saya tak pergi ke pasar sebagai ikhtiar, apakah mungkin ikan-ikan ini bisa saya hadiahkan kepada Anda?”
Tentunya, Imam Syafii memaksudkan ucapan tersebut untuk menyitirkan keteguhan pandangannya bahwa ikhtiar lebih utama daripada tawakkal.
Sembari tersenyum, Imam Malik menjawab tenang, “Alhamdulillah, saya tak perlu pergi ke pasar, hanya berdzikir di rumah, direzekikanNya ikan-ikan ini kepada saya melalui perantara hadiahmu ini….”
Jogja, 14 Juli 2019