“Santri itu harus seperti paku. Fungsinya luar biasa. Bisa paku ukuran besar, bisa ukuran kecil. Paku menyatukan berbagai hal, sehingga rumah bisa tegak berdiri. Paku tidak perlu kelihatan, tetapi selalu ada. Sampai karat pun, paku tetap selalu ada. Jadi, paku itu selalu menyatukan. Demikian juga pesantren yang menjadi tempat menyatukan semua hal. Banyak hal yang penting di negeri ini lahir dari pesantren.”
Demikian ditegaskan Najwa Shihab dalam acara “Talkshow Gerakan Literasi Digital Pesantren” di Pesantren Tebuireng Jombang, Jum’at 1 November 2019. Makna santri sebagai paku itu dikutip Mba’ Nana, sapaan akrabnya, dari pendiri Pesantren Lirboyo Kediri, Mbah Manaf. Mbah Manaf sendiri adalah salah satu alumni Pesantren Tebuireng dibawah bimbingan langsung Kiai Hasyim Asyari. Bahkan sampai Mbah Manaf menikah juga atas saran Kiai Hasyim Asy’ari.
Mba’ Nana juga menegaskan bahwa keindonesiaan dan kebangsaan itu ada di pesantren.
“Barangkali, banyak orang yang lupa akan hal itu. Pesantren diingat seringkali hanya pada saat kontestasi Pemilu atau yang lagi mencari legitimasi baru. Tapi orang pesantren merasa dimanfaatkan, karena memang begitulah santri yang jadi seperti paku. Santri selalu dibutuhkan, tapi tidak harus selalu menonjol. Begitulah pesantren, rumah bersama untuk semuanya,” tegas Najwa yang punya Narasi TV.
Najwa menegaskan bahwa salah satu tantangan di masa depan bagi pesantren adalah bagaimana membuat perpustakaan kembali menjadi relevan yang bukan hanya tumpukan buku yang berdebu, tapi perpustakaan adalah tempat melahirkan ide-ide baru.
“Karena itu, memang perlu gerakan baru. Berkaca dari Perpustakaan Nasional di Jakarta. Gedungnya tinggi, waifi internetnya sangat kenceng. Di sana, perpustakaan memanjakan pikiran, yakni tempat dimana pikiran bisa bertamasya dan berkenalan dengan tokoh-tokoh dunia. Melirik apa yang ada di belakang, memprediksi masa depan,” lanjut Najwa.
Najwa mengajak semua kalangan, khususnya masyarakat pesantren, untuk menjadikan perpustakaan makin relevan dengan tatangan kehidupan masa depan.
“Kucinya di semua bidang adalah mendekatkan semua yang sudah dekat dengan kita. Apa yang dekat dengan kita ya handphone, teknologi. Di sini, teknologi bisa dimanfaatkan untuk mendekati anak muda. Misalnya, bagaimana sejarah bisa lebih gampang dipahami anak muda melalui teknologi,” tegas Najwa.
Bagi Najwa, kisah-kisah kepahlawanan bisa ditulis ulang melalui komik yang gampang diakses publik. Di sini kreativitas menjadi kuncinya. Sebagaimana di Amerika, ada aplikasi khusus yang ramah yang dimanfaatkan anak muda. (Abu Umar/Bangkitmedia.com)