Kuatkan Ideologisasi, Jangan Sampai Membajak Aswaja

aswaja nu

Oleh: Drs. HM. Lutfi Hamid, M.Ag

Santri Kiai Ali Maksum, Pemimpin Umum Majalah Bangkit PWNU DIY

Konsep Manhaj al-fikrah meski terkonsepsi dalam perjalanan sejarah NU namun tidak berarti kosong dari akar kesejarahannya. Sejak semula Nahdlatul Ulama didirikan di Surabaya 31 Januari 1926 M oleh para ulama pengasuh pesantren yang mempunyai kesamaan wawasan, pandangan, sikap dan tata cara pemahaman, penghayatan dan pengamalan ajaran Islam Ahlus sunnah wal jama’ah.

Setidaknya ada tiga alasan mendasar didirikannya NU, pertama: usaha mempertahankan ajaran Ahlus Sunnah wal Jama’ah; kedua, membendung gelombang ajaran Wahabiyah; dan ketiga, berdirinya Komite Hijaz.

Untuk tujuan itulah Hadrotus-Syeikh KH Hasyim Asy’ari menjelaskan dalam kitab Qanun NU membakukan  Ahlussunah wal jama’ah dalam hal ini pada aspek tauhid mengikuti faham Asy’ariyah-Maturidiyah; dalam fiqih mengikuti salah satu dari empat madzhab dan dalam tasawuf mengikuti Imam Junaid al-Bagdadi dan Imam Abu Hamid al-Ghazali.

Melalui pemaparan singkat eksistensi NU maka wajarlah ketika KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mengajukan gagasan Pribumisasi Islam. Kenyataannya, Indonesia dibangun melalui berbagai budaya dan salah satunya bersumber dari manhaj al-fikrah NU. Dalam posisi ini keberadaan NU, baik sebagai jam’iyah maupun jama’ah, adalah subkultur bangsa Indonesia.

Tidak ada Indonesia tanpa NU dan tidak ada NU tanpa Indonesia. Konsep Mabadi’ Khaira Umah, seharusnya menginspirasi tumbuhnya keyakinan bahwa NU adalah suatu Umat.

Untuk itulah menjadi sangat penting menumbuhkan kesadaran bahwa setiap insan yang menjalankan ajaran-ajaran, pemikiran dan pergerakan yang bersumber manhaj al-fikrah NU adalah Umat NU. Idiologisasi Umat Nahdlatul Ulama tidak saja bermakna sosiologis tetapi lebih dari itu berdimensi teologis.

Hal ini menjadi penting ketika banyak masyarakat mengamalkan ajaran-ajaran NU namun mereka asing atau bahkan “alergi” terhadap NU sebagai sumber ajarannya. Sementara itu kaum Wahabi telah membajak sebutan Ahlussunah wal jama’ah sebagai faham aqidahnya.

Layak disebut pembajak karena  menurut Syaikh Murtadla Azzubaidi dalam kitab Al’ittihâf Assâdah Almuttaqîn, Syarah kitab Ihyâ’ Ulûmiddîn karya Imam Al-Ghazali menyatakan: “Ketika diucapkan secara mutlak istilah Ahlussunnah wal Jama’ah, maka yang dimaksud mereka ialah kelompok penganut paham Al-‘Asy’ari dan Al-Maturidi”.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *