Kronologi Bersatunya Pak Jokowi dan Kiai Ma’ruf Amin

Kronologi Bersatunya Pak Jokowi dan Kiai Ma’ruf Amin

Berdasarkan kesaksian dari KH Marzuki Mustamar, Ketua Tanfidziyah PWNU Jatim, marilah kita simak garis besarnya:

Pertama, Jokowi Itu Orang NU Kultural (berqunut, shalawatan, tahlilan dan amaliah Islamiyah annahdliyah lainnya). Saksinya KH. Abdul Karim Al-Hafidz, Pengasuh Pondok Pesantren Mangkuyudan Solo. Beliau Ketua PCNU Solo, beliau adalah teman baik Pak Jokowi dan Pak Jokowi selalu ikut jamaah sholawat JAMURO (Jamaah Muji Rosul) yaitu jamaah sholawat dengan metode keliling tiap masjid, rumah, lapangan dan sebagainya. Sebagaimana jamaah Sholawat yang lain: Riyadlul Jannah di Malang, Majlis Rasulullah di Jakarta dan sebagainya.

Kedua, Hanya Karena Pak Jokowi aktif di PDIP maka orang yang tidak ngerti, menuduh Pak Jokowi PKI. Padahal Pak Jokowi adalah NU, Warga Nahdliyin.

Ketiga, Pak Luhut Panjaitan Menko Maritim, meminta ‘masukan’ ke para Ulama NU, diantaranya KH. Marzuki Mustamar, terkait sosok wakil presidennya yang bakal mendampingi Pak Jokowi yang diinginkan para Ulama NU. Saat itu Kiai Marzuki tidak menyebut nama, tapi kriteria:

a. Islami (alumni pesantren, alim karena Indonesia mayorits Islam dan untuk menepis tuduhan Pak Jokowi itu PKI). Dengan mengandeng Kiai Ma’ruf Amin tak mungkin Jokowi PKI, toh misalnya ada PKI di gerbong pak Jokowi, pasti PKI akan lari terbirit-birit karena takut dengan NU. Dimana sejarah memaparkan bahwa NU lah (Banser) bersama ABRI yang mendepak PKi sehinga sampai dibubarkan.

Iya NU, bukan yang lain karena hanya NU lah (tentu bersama TNI) yang ketika itu berani pada barisan terdepan memberangus PKI, disaat yang lain pada ketakutan.

b. Nasionalis (berpegang teguh pada slogan NKRI harga mati, cinta tanah air). Karena ada yang Islamnya top tapi mengkafirkan Pancasila, mengkafirkan negara Indonesia. Yang seperti ini Islami tapi tidak nasionalis. Orang seperti ini jika diberi kedudukan bisa membahayakan kedaulatan negara, bisa membuat keputusan yang malah memecah negara.

Keempat, Akhirnya Pak Jokowi memilih KH. Ma’ruf Amin. Ini adalah hasil pemikiran matang, bukan asal-asalan. Jadi Pak Jokowi memilih KH Ma’ruf Amin ini bukan karena Jokowi memanfaatkan keulamaan Kiai Ma’ruf dan bukan pula Kiai Ma’ruf gila jabatan, gila kedudukan, ulama bisa dibeli, ulama su’ dan bukan pula mata duitan. Tapi Pak Jokowi memilih Kiai Ma’ruf merupakan ‘terjemahan’ dari masukan para ulama NU.

Pak Jokowi bisa saja memilih yang lain (selain Kiai Ma’ruf) karena memilih wakilnya itu hak prerogratif presiden, namun Pak Jokowi patuh, taat, sami’na wa ‘atha’na kepada para ulama NU sehinga kriteria yang diinginkan ulama NU itulah yang dipakai Pak Jokowi. Adalah salah jika ada sangkaan Pak Jokowi memanfaatkan ulama (Ketum MUI dan Rais Aam PBNU) hanya sebagai mesin pendulang suaranya tapi justru Pak Jokowi ‘tunduk’ kepada keputusan ulama (Ulama NU atau Islam moderat dan ingat bukan ulama yang lain).

Mengapa Kiai Ma’ruf Amin Bersedia Menjadi Wakil Pak Jokowi?

Pertama, Karena secara realitas politik ulama atau tokoh NU belum waktunya (belum mampu) menjadi presiden (ingat ketika itu Gus Dur sebagai Ulama NU) dilengserkan di tengah jalan dengan konspirasi yang tidak jelas. Sehingga sampai saat ini, tokoh NU itu maksimal sebatas Wapres. Mudah-mudahan tahun 2024 bisa sebagai Capres.

Kedua, NU adalah pemilik saham terbesar negeri ini namun dari dulu NU disingkirkan dari lingkaran penentu kebijakan negeri ini, NU hanya sebagai obyek bukan subyek, Nu hanya sebagai ‘serbet’ setelah buat membersihkan langsung dibuang, NU ibarat hanya mendorong mobil mogok setelah jalan, NU ditinggal. Padahal Ulama NU lah yang turut membidani kelahiran ‘bayi’ Indonesia. Sehingga sudah waktunya tokoh NU berada di pusat kekuasaan diantara menjadi Wakil Presiden. Namun dari dulu sampai sekarang orang-orang yang anti NU tak henti-hentinya merecokinya.

Ketiga, Kiai Ma’ruf bersedia menjadi Wapres Jokowi karena ingin menjaga Indonesia agar selalu dipegang oleh orang Nasionalis Religius (Islami dan berpandangan kebangsaan), bukan dipegang orang Nasionalis Sekuler (nasionalis tapi mencampakkan agama) maupun orang Religius Politis (Islam tapi anti nasionalisme, anti kebangsaan). (red/bangkitmedia.com)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *