oleh : Ahmad Munir, Alumnus Pondok Pesantren Nurul Ummah Kotagede.
Suatu sore, dipertengahan tahun 2008 tepatnya pada 27 Juli, kami berkesempatan sowan Kiai Abbas Muin, salah satu Ketua PBNU 2010-2015 yang pernah menimba ilmu di Iraq bersama Kiai Asyhari Marzuqi. Beliau bercerita bahwa Kiai Asyhari pernah memberikan deskripsi sederhana, tetapi bermakna tentang berislam.
Pada waktu itu, dalam obrolan ringan, Kiai Asyhari mengambil enam batang korek api milik Kiai Abbas kemudian menyusunnya berjajar. Ditumpukkan kedua dijajarlah lima batang korek api lagi. Dan, satu batang beliau letakkan di tumpukkan paling atas.
Enam batang korek api paling bawah beliau gambarkan rukun iman, lima tumpukan kedua beliau gambarkan sebagai rukun Islam, dan satu batang tumpukkan teratas beliau gambarkan sebagai akhlaqul karimah.
“Dik Abbas, sekitar 10 tahun Nabi Muhammad membangun aqidah. Baru pada tahun ke-11 ada syari’ah melalui risalah sholat. Puncaknya adalah akhlaqul karimah,” terang Kiai Asyhari kepada Kiai Abbas waktu itu.
Kiai Asyhari ingin menggambarkan, bahwa dalam berislam haruslah dilandasi keimanan yang beliau gambarkan dengan rukun iman yang enam. Fondasi aqidah atau keimanan ini penting sebagai landasan dalam beramal.
Syari’ah yang digambarkan dengan rukun Islam merupakan perwujudan atas keimanan. Maka, keimanan yang kuat akan melahirkan peribadatan yang taat. Sebaliknya,ibadah yang tidak didasari dengan keimanan akan rapuh dan runtuh.
Puncaknya, atau natijah dalam berislam adalah seseorang mampu mewujudkan akhlak yang baik dalam kehidupan. Maka, kalau ada orang yang berislam, tetapi akhlaknya buruk berarti ada yang kosong dan rapuh dalam beriman atau berislamnya.
Jadi, seseorang yang sudah menyatakan iman dan berikrar Islam, maka harus melahirkan akhlaqul karimah. Sebab, ukuran taqwa bagi Kiai Asyhari adalah seberapa jauh seseorang itu mampu berakhlakul karimah dan bermanfaat untuk orang lain.
“Kalau orang berakhlakul karimah, pasti hidupnya tidak akan susah,” tegas Kiai Asyhari.
Sebagaimana ditegaskan Dr. Ahmad Ahmad Gholawsy dalam Ad-Da’wah al-Islamiyah (yang kitabnya juga diajarkan Kiai Asyhari kepada para santrinya) bahwa akhlak sesungguhnya respon dan reaksi atas gerak dan keinginan batin (infi’al adl-dlahir bi harakah al-bathin wa iradatihi).
Jadi, kalau ada pertanyaan dalam benak kita, “Kenapa ada orang yang kelihatannya rajin ibadah, tapi kok masih juga melakukan maksiat, melakukan pelanggaran hukum, dan pengingkaran akhlak?”Atau, ada orang yang faham agama, tetapi masih sedikit memberikan manfaat kepada sesama.
Gambaran yang pernah disampaikan Kiai Asyhari kepada Kiai Abbas Mu’in Purwokerto bisa menjadi jawabannya.