Kolom KH Henry Sutopo: Mau Pilih Kyai, Dukun, atau Yaikun?

Oleh : KH. Henry Sutopo, Santri KH. Ali Maksum

Dalam sebuah Majelis Taklim ada sebuah pertanyaan: bagaimanakah membedakan antara seorang Kyai dan seorang Dukun? Serta bagaimana hukumnya sowan seorang Kyai ternyata beliau adalah seorang Dukun?

Soal yang tidak mudah untuk menjawabnya dan bisa jadi itu termasuk masalah sensitif yang kalau tidak hati-hati bisa menambah musuh karena ada yang tersinggung. Walau semestinya itu bisa untuk berkaca diri. Dan berterima kasih kepada yang mengingatkan. Aku pun menjawab sesuai dengan pengetahuan yang kumiliki. Dan belum tentu pengetahuanku  ini benar.

Sebutan Kyai dalam terminologi umum (tidak termasuk Kerbau Kraton Solo yang bernama Kyai Slamet) adalah sebutan yang disematkan orang banyak kepada seseorang yang dianggap ahli agama Islam serta bertingkah laku sesuai dengan ilmu dan sebutannya. Sosok yang santun, rendah hati, khusyu’ dan bisa menjadi panutan dalam sikap dan lakunya.

Seorang Kyai adalah sumber Ilmu, tempat orang berkonsultasi permasalahan hidup dan kehidupan. Sosok Kyai adalah orang yang sangat memahami sumber hukum Islam yakni Al-Quran, Al-Hadis, Ijma’, Qiyas dan seterusnya. Tentu dalam menjawab segala permasalahan akan berdasarkan sumber yang bisa dipertanggungjawabkan.

Walau kemudian ada yang mengklasifikasi Kyai “Beneran”, yakni yang memang kapabilitas dan kredibilitasnya bisa dipertanggungjawabkan. Dan Kyai “Instan” yaitu sosok yang ujug-ujug (tiba-tiba_red) jadi Kyai, ibarat buah ada yang masak di pohon tapi ada juga yang masak diperam.

Sedangkan sosok dukun dalam pengertian umum adalah seseorang yang dianggap mempunyai ilmu dan kemampuan “khusus” yang didapat dari faktor keturunan, atau menjalani laku ritual tertentu yang biasanya berhubungan dengan sesuatu yang irasional dan alam gaib supranatural. Namun dalam prakteknya kadang juga dibumbui dengan unsur-unsur spiritual.

Berkait dengan pertanyaan hukum mendatangi seorang dukun, aku jelaskan sabda Rasulullah SAW riwayat Imam At-Thobrony : “Barangsiapa mendatangi seorang dukun, lantas menanyakannya sesuatu, maka akan terhalanglah pintu taubat baginya selama 40 malam, dan jika ia mengikuti dan membenarkan perkataan dukun, maka ia dianggap kafir”, yang berarti hukum mendatangi seorang  dukun adalah haram.

Lain persoalan kalau sebelumnya tidak tahu bahwa yang didatangi adalah termasuk dukun, maka hukumnya menjadi dima’fu, dimaafkan. Wallohu a’lam.

Aku jelaskan pula tentang hubungannya dengan hal-hal yang gaib. Banyak sekali dalam  ayat-ayat Al-Quran bahwa yang mengetahui hal-hal yang gaib hanyalah Allah SWT. Apalagi menyangkut urusan roh atau arwah. Rasulullah SAW saja tidak diberi pengetahuan melainkan hanya sedikit.

“Dan mereka bertanya kepadamu tentang Roh, katakanlah : Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit” (Q.S. Al-Israa’ : 85). Semakna pula dalam surat Al An’aam ayat 59, Luqman ayat 34, An-Naml ayat 65, Huud ayat 31, dan Al-Jin ayat 27.

Aku kemudian kasih contoh perbedaan antara Kyai dan dukun ketika sama-sama diminta saran tentang sulit Jodoh. Seorang Kyai akan mengatakan bahwa jodoh itu urusan Gusti Allah. Kewajiban manusia hanya berikhtiar baik lahir maupun batin. Ikhtiar lahir perbanyak silaturahmi, berdandan dan berpakaian yang baik, dan sebagainya. Sedangkan ikhtiar batin banyak berdoa baik dengan cara sholat hajat atau lainnya.

Biar tambah mantap, membaca Asmaul Husna, Yaa Alloh, Yaa Jaami’u (Dzat yang Maha Mengumpulkan). Dengan harapan segera dikumpulkan jodohnya. Terserah membacanya berapa kali, bisa 99 kali atau satu putaran tasbih.

Kalau dukun maka ia akan menjawab, harus melihat anaknya, tanggal lahir Weton. Saat tertentu harus menyediakan ubo rampe (perlengkapan_red) tertentu dan melakukan ritual tertentu seperti mandi dengan air bunga dan yang memandikan harus Mbah Dukun dengan tujuan untuk menghilangkan “penghalang” yang menyebabkan sulit jodoh. Tidak boleh begini dan begitu dan seterusnya.

Ketika masalah yang disampaikan adalah berkaitan dengan penyakit, seorang Kyai akan menasihati dengan bersabar, bahwa penyakit bisa jadi itu justru anugerah dari Allah untuk mengurangi dosa dan menambah pahala. Namun tetap berkewajiban untuk berusaha baik lahiriah maupun batiniah. Usaha lahiriah dengan berobat ke ahlinya, tidak boleh putus asa. Bisa dengan lantaran alternatif yang tidak bertentangan dengan ajaran agama dan medis.

Ikhtiar batiniah dengan banyak berdoa tentu doa-doa yang ada riwayatnya ma’tsur. Bisa ditambah dengan cara bersedekah sesuai kemampuan, bukan Kyai yang menentukan.

Sedangkan seorang dukun perihal penyakit akan mengatakan bahwa penyakit itu ada yang membuat (disantet), bahkan kadang berani menyebutkan kriteria orang yang menyantet dan menyebabkan ia sakit. Ada juga Mbah Dukun mendiagnosa bahwa penyakit itu disebabkan ada benda-benda tertentu yang berada di tempat tinggalnya dan itu harus dihilangkan dengan syarat-syarat tertentu dan seterusnya. Ada kalanya perkataan Mbah Dukun itu benar seakan-akan terbukti nyata. Hal ini yang menjadikan orang percaya dan menambah legitimasi dan kredibilitas Mbah Dukun.

Dalam konteks ini aku menjelaskan sebuah hadis riwayat Bukhari Muslim dari ‘Aisyah RA berkata:

Banyak orang bertanya kepada Nabi SAW tentang Dukun. Nabi menjawab : “Mereka bukan apa-apa”. Berkata mereka : “Adakalanya mereka menceritakan sesuatu yang benar-benar terjadi”. Nabi bersabda : “itu kalimat Haq/benar yang dicuri oleh Jin, kemudian disampaikan kepada Dukun dan ditambah dengan seratus kalimat Dusta.” (Al-Hadis).

Atau “keanehan” yang diperlihatkan oleh Mbah Dukun tersebut dalam kajian ilmu tauhid adalah ilmu sihir atau Istidroj untuk menambah kesesatannya.

Kemudian dapat disimpulkan secara awam bahwa perbedaan mendasar antara Kyai dan Dukun adalah kalau seorang Kyai :

Pertama, beragama Islam. Kedua, menjalankan syariat Islam seperti shalat, puasa, tidak bohong, tidak menipu, dan sebagainya. Ketiga, apa yang disampaikan dan dinasehatkan adalah berdasar ajaran Islam yang kredibel, berlandaskan Al-Quran, Al-Hadis, Ijma’, Qiyas dan seterusnya.

Apabila ketiga kriteria itu tidak ditemukan maka itulah Dukun. Namun ada kriteria tipis yang membingungkan. Orangnya muslim dan menjalankan syariat tapi yang menjadi ajaran dan nasehatnya tidak berdasar ajaran Islam yang kredibel. Maka barangkali itulah yang disebut. MBAH YAIKUN, yakni Mbah Kyai tapi nyambi jadi Dukun.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *