Kolom KH Henry Sutopo: Aku dan Tiga Santri Nakalku di Tengah Hujan Deras

NU dan Sepeda Ontel

Oleh: KH. Henry Sutopo, santri KH. Ali Maksum.

Dalam pandanganku, pondok pesantren adalah lembaga pendidikan yang fungsi utamanya adalah mendidik santri yang belum terdidik agar menjadi orang yang terdidik.

Sehingga wajarlah yang namanya santri berpolah tingkah macam-macam sampai ada yang  melakukan tindakan “kriminal” karena memang ia belum terdidik.  Sedang pendidikan itu sendiri (yang non formal) tidak ada batasan kapan harus berakhir? Apalagi kalau dikaitkan dengan dakwah amar makruf nahi mungkar yang juga tidak ada kontraknya. Kapan Selesainya? Apakah harus berhasil? Apa ukurannya? Dan seterusnya.

Pengertian yang kupahami  mendidik dalam konteks dakwah adalah sebuah upaya yang harus  dilakukan secara terus menerus tanpa ada batasan waktu kapan berakhirnya.

Kalau kemudian dibuat suatu aturan dalam proses pendidikan, maka aturan itu juga bagian dari pendidikan itu sendiri.

Saat masih aktif mengajar di pesantren. Aku termasuk paling sedih kalau melihat ada santri yang terpaksa harus dikeluarkan dari pesantren atau dikembalikan ke orang tuanya karena melakukan pelanggaran berdasarkan aturan yang ada.  Dan kalau boleh bicara jujur dan sportif dalam kacamata pendidikan, pelanggaran yang dilakukan santri tidak bisa ditimpakan kesalahan 100% kepada santri, tetapi bisa juga faktor pesantren yang kurang bisa memberikan pendampingan terutama psikologis kepada para santri terlebih yang sudah “bermasalah” dari rumah, setahuku bicara pendidikan sangat dominan bicara aspek psikologi.

Aturan dan penegakannya sangat dibutuhkan dalam sistem pendidikan termasuk di pesantren, namun ada sebuah konsekuensi yang harus dipikul, yaitu membuat iklim dan suasana serta fasilitas yang memadai bagi peserta didik.  Aku melihat ada Pesantren yang hanya fokus pada fasilitas kamar untuk Santri yang semakin banyak, tapi kurang bahkan abai menyediakan ruang terbuka, sarana olah raga dan sebagainya yang dibutuhkan. Termasuk rasio perbandingan antara ustad/pembimbing dengan santri yang jauh dari ideal, maklumlah itu yang namanya pesantren dengan segala keterbatasannnya.

Sedih kalau aku membayangkan jadi orang tua atau walinya. Betapa saat pertama kali datang di pesantren mempercayakan anaknya untuk dididik dan dibimbing, tapi harus berakhir tidak seperti yang diharapkan.

Tersebutlah suatu waktu. Ada tiga santri putra satu “Geng” melakukan “kesalahan” dan sudah melewati persidangan dari pengurus pondok Kepala Madrasah sampai ke pemegang otoritas pesantren yaitu Mbah Kyai Palu “Mahkamah Konstitusi” telah diketuk bahwa tiga santri itu harus dipulangkan.

Kebetulan aku sangat mengenal tiga santri itu karena aku wali kelasnya. Menurutku memang mereka nakal dan layak mendapat sangsi itu. Tapi naluri pendidikku bicara lain. Di wajah mereka masih ada harapan untuk menjadi anak yang terdidik. Apalagi aku mengenal orang tua masing-masing.

Terlintas dalam pikiran saat itu. Apakah anak-anak ini tidak bisa berubah jadi anak yang baik? Saat Tsanawiyah aku pernah ngaji kitab Arbain. Pada hadis yang keempat kalau tidak salah Nabi SAW menjelaskan bahwa manusia itu tidak bisa divonis jelek pada saat masih hidup. Bisa jadi orang yang kelihatannya pasti masuk surga namun pada saat akhir hayatnya suul khotimah menjadi penghuni neraka, demikian sebaliknya dan ini kecuali masalah takdir juga menyangkut soal hidayah Allah SWT.

Banyak contoh Sahabat Rasulullah saw yang dulunya orang yang tidak baik kemudian bisa berubah menjadi orang yang terhormat seperti Umar bin Khathab dan sebagainya. Demikian pula dalam sejarah Wali Songo seorang preman bernama Raden Mas Said yang kemudian menjadi Sunan Kalijaga.

Atas dasar pemikiran itu, aku kemudian melobi pihak terkait dari pengurus pondok sampai ke Mbah Kyai untuk minta satu kesempatan lagi mendidik dan membimbing mereka agar menjadi santri yang baik dan taat aturan. Alhamdulillah lobiku diterima dengan jaminan pribadiku. Jika mereka masih mengulang melanggar aturan…maka aku yang akan keluar dari pesantren bersama mereka.

Langkah pertama tiga anak ini aku panggil ke rumah. Aku beberkan semua masalahnya termasuk jaminan pribadiku. Semuanya bisa menerima dan sepakat membuat pernyataan tertulis untuk tidak mengulang lagi perbuatannya.

Untuk membuktikan kesungguhan mereka, hari itu juga aku beri tugas jam empat sore tepat harus sudah kumpul di kompleks diniyah. Tidak boleh terlambat satu menit pun. Jika terlambat, maka perjanjian tidak berlaku dan mereka harus angkat kaki dari pesantren.

Kuingat betul hari itu hari Jum’at. Kebetulan sore harinya hujan deras, saat aku datang ke kompleks diniyah mereka sudah menungguku dari jam 15.30. Tiga santri “terpidana mati” ini aku suruh nyabutin rumput di kebun diniyah dengan sangsi harus bersih sebelum jam 5 sore, dan apabila aku kontrol ada yang rumput yang kelewatan belum tercabut, mereka aku ancam giginya yang akan ku cabut sebagai gantinya sambil kutunjukkan catut yang kubawa. (waktu itu belum ada pasal pidananya ngancam dan nyakitin murid).

Di tengah hujan deras tiga santri ini bergegas mencabuti rumput dengan wajah takut dan tegang. Aku sebenarnya tidak tega, bahkan saat itu ada seorang guru yang membujukku untuk menghentikan hukuman itu (kalau tidak salah Pak Ikhsan atau Pak Faishol). Tapi aku tetap istiqamah jalan terus. Demi pendidikan.

Walau demikian naluri Kebapakanku masih jalan. Diam-diam mereka sudah aku persiapkan air panas untuk mandi lengkap dengan handuk sabun dan samponya. Ditambah kopi panas dan pisang goreng panas.

Belum sampai jam lima sore mereka sudah selesai nyabutin rumput dan aku kontrol bersih 100%. Segera mereka aku suruh mandi air hangat dan selesai mandi langsung minum kopi sama ngabisin pisang goreng.

Sempat sebelum mereka kembali ke kamar aku berpesan, kalau nanti ada yang tidak enak badan segera memberi tahu, akan kuantar untuk berobat ke Dokter. Kupeluk mereka satu persatu. Jujur saat itu aku hampir menetes air mata melihat kesungguhan mereka.

Alhamdulillah. Setelah kejadian itu, mereka sering aku temui dan aku ajak ngobrol. Dengan pendekatan yang lebih humanis, tiga santri yang kusayangi berubah menjadi santri yang manis dan taat aturan sampai lulus selesai belajar di pesantren. Tentu mereka saat ini sudah menjadi orang tua dan berkeluarga. Kabar terakhir yang sempat aku dengar, di antara mereka sekarang ada yang jadi dosen di Jakarta.

Mohon maaf lahir batin. Jika tiga santri anakku itu ada yang sempat membaca  tulisan ini, tolong japri aku. Syukur aku bisa ketemu. Aku mau minta maaf karena pernah menyiksamu mencabuti rumput di tengah hujan deras. Sejujurnya itu kulakukan karena aku sayang kamu. Dan jika boleh  dan tidak berkeberatan, mumpung masih hidup. Aku ingin memelukmu sekali lagi mungkin untuk yang terakhir kali.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *