Kiai Said Aqil Siraj: Ramalan Jayabaya dan Kejernihan Hati dalam Tasawuf

Kiai Said Aqil Siraj: Rahasia Ramalan Jayabaya dan Kejernihan Batin Manusia

Kiai Said Aqil Siraj: Ramalan Jayabaya dan Kejernihan Hati dalam Tasawuf

Peristiwa ini terjadi pada Kamis 26 Januari 2017. Seperti biasa, sejak pagi para santri, alumni, dan jama’ah dari berbagai penjuru Nusantara memenuhi Masjid Pesantren Lirboyo Kediri untuk ngaji Kitab Hikam kepada KH Anwar Mansur, Pengasuh Pesantren Lirboyo. Saat itu, datang juga Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siraj yang juga alumni Pesantren Lirboyo.

Kiai Said Aqil Siraj: Pesantren Lirboyo sangat melekat dalam diri Kiai Said, apalagi pamannya yakni KH Mahrus Aly juga pernah menjadi Pengasuh Pesantren Lirboyo. Selesai ngaji Hikam bersama KH Anwar Mansur, Kiai Said diberi kesempatan untuk memberikan ceramah kepada para jama’ah ngaji.

Kiai Said Aqil Siraj: “Saya dulu di Lirboyo ngaji bersama banyak sekali putera kiai,” kata Kiai Said mengawali ceramahnya. Selengkapnya, berikut ini ringkasan ceramahnya.

Ibarat sebuah bangunan, hakikat adalah pondasi, syari’at adalah genteng, Temboknya adalah akhlaqul karimah. Orang berakhlaq baik belum tentu bertasawuf. Kenceng ibadah belum tentu hatinya bertasawuf. Tasawuf adalah ilmu hati yang menunjukkan dekat atau jauh maqomnya seseorang di depan Allah SWT.

Hati terbagi menjadi empat, yakni bashiroh, dhomir, fuad, dan lathifah. Pertama, bashirah, mana baik mana buruk, silahkan diteruskan sendiri. Kedua, dhomir, moral, akan mengeluarkan dua kata: kerjakan atau tidak. Dan ini terbagi menjadi tiga.

a) moral ijtima’i/lingkungan, misalnya kalau ada Kiai sholat tahajud. Kalau ada santri dibuat sekhusu’-khusu’nya, kalau tidak ada santri, malah tidak sholat tahajud. Jama’ah tertib saat ada mertuanya, lha pas keluar negeri, malah gak sholat.

b) moral qanuni/legal formal, misalnya, saya mau kerja kalau ada gajinya, ada kecelakaan sepeda motor di depan mata, dia bilang”ngapain aku nolong, wong aku bukan polisi, bukan petugas PMI. Model yang demikian inilah disebut moral legal formal/moral qonuni, yang akan bekerja jika ada SK, ada bayaran dan ada ikatan yang jelas.

c) moral diniy/agama, seperti Kanjeng Nabi Saw., baik ada uang atau tidak, ada amplop atau tidak, tetap berdakwah. Pernah Kanjeng Nabi ditegur pamannya untuk menghentikan dakwahnya karena banyaknya ancaman yang akan membunuh Kanjeng Nabi jika tetap berdakwah. Apa jawab Kanjeng Nabi, “andaikan matahari dan bulan diletakkan di kedua tanganku sebagai ganti untuk menghentikan dakwahku, maka perlu diketahui bahwa nyawaku masih ada, maka tidak ada yang bisa menghentikan dakwahku.” Sedangkan cara mengetahui dhomir ini baik atau buruk ya pakai “Istafti Qolbak”, mintalah fatwa pada hatimu.

Ketiga, fuad, yang berperan sebagai hakim, tegas dan tidak pernah bohong. Hati yang murni, walaupun bibir ngomong tidak mencuri, tapi hati yang paling dalam tetap tidak bisa bohong bahwa sebenarnya dia melakukan pencurian.

Kelak yang ditanyai di akhirat adalah fuad. Yang secara otomatis setiap manusia terarah ke surga atau neraka berdasar apa yang dikatakan fuadnya. Di dunia ini, kalau pertama seseorang mengingkari fuadnya, maka lama-kelamaan fuad akan lemah bersuara dan akhirnya terbiasa dengan kesalahan dan dosa tanpa ada bisikan dari fuad. Pada saatnya fuad akan lantang kelak di hari kiamat.

Terkait ini, ada seorang penyebar Islam di Jawa setelah Syekh Subakir. Beliau adalah Syekh Riasiddin An-Nisaburi terkenal dengan nama Mbah Washil (dan juga dikenal Pangeran Makkah). Mbah Wasil ini membawa kitab berjudul “Al Asrar” kitab yang menjelaskan tentang rahasia-rahasia. Kitab Al-Asrar ini oleh Mbah Wasil diajarkan pada seorang penguasa di wilayah Kediri yang masuk Islam, dan oleh sang raja ditulis dalam bentuk terjemah secara keseluruhan. Tulisan raja itu kemudian dikenal dengan nama “Ramalan Jayabaya” atau Serat Jayabaya.

Keempat, lathifah, biasanya para kyai memaknai dengan “barang lembut”. Sekarang ada kalimat yang mudah untuk makna lathifah yaitu shoftware. Barang kecil tapi bisa mengakses beribu bahkan berjuta data.

Dengan lhatifah, orang bisa mengakses lauhil mahfudz kalau diizinkan Allah. Makanya Syaikh Athaillah As-Sakandari dawuh, “Gusti Allah tidak mahjub/terhalang-halangi. Tapi kitalah yang terhalang-halangi”. Contohnya saat Gubernur Amr bin Ash berkirim surat kepada Sayyidina Umar tentang kejadian di Sungai Nil yang airnya kecil, dan biasanya air akan penuh lagi jika sudah diberi persembahan seorang wanita cantik yang masih perawan dengan pakaian indah dan lengkap perhiasan.

Menanggapi surat dari Gubernur Amr bin Ash, Sayyidina Umar membuat surat yang ditujukan kepada sungai Nil dengan isi surat teguran “Wahai sungai Nil, ini surat dari Khalifah Umar bin Khattab, jika air yang keluar di sungai Nil karena Allah, maka keluarlah, dan jika air yang kau keluarkan hanya karena persembahan, maka tidak usah kau keluar, kami tidak butuh dirimu”.

Setelah surat itu dikirimkan, tiba-tiba sungai Nil penuh dengan Air. Inilah lathifah yang dimiliki Sayyidina Umar bin Khattab dan andaikan ada yang bisa seperti Sayyidina Umar ada 20 orang, Lapindo selesai.. hehe (para jama’ah tertawa semua)

Siapa saja orang-orang yang dalam catatan sejarah pernah disebut sufi dan mendifinisikan sufi?

Orang pertama yang mendefinisikan sufi adalah Syaikh Ma’ruf al-Karkhi. Beliau mendifinisikan sufi adalah orang yang “mencari kebenaran dan berpaling dari kepalsuan”. Diteruskan Syaikh Dzun Nun Al-Misri, “sufi adalah orang yang mendahulukan Allah mengalahkan yang lain”. Lalu, Syaikh Abu Yazid al-Basthami, “jika sifat Allah dipakaikan ke panjenengan, itu baru Sufi”.dan orang yang mendifinisikan sufi paling akhir di zaman ini adalah Imam Junaid, “sufi adalah orang yang tidak pernah ketinggalan zaman (Ibnu Zamanihi), warnanya seperti air, ditempatkan di mana saja tetap mengikuti tempatnya”. Artinya orang sufi adalah orang yang mampu mengikuti semua zaman.

Semoga pengajian tasawuf tetap ada, karena itulah yang bisa menanggulangi Wahabi. Setiap orang pasti punya fase, muda biasanya nakal seperti saya dulu (disambut gerrr oleh peserta), tapi kalau sudah termakan usia akan berubah.

Orang yang paling pinter, paling kuat, paling cantik, paling segalanya, pada akhirnya dia akan kesepian jika spiritualnya tidak ada. Dia akan lelah menjalani kehidupan karena kesepian, dan saat spiritualnya kosong, larinya pasti minum, narkoba, bahkan bunuh diri. Berbeda dengan para sufi, semakin ia tinggi ilmu dan kaya hati, maka semakin dekat dengan Allah dan tidak kesepian.

Ada seorang pemuda berbadan kuat. Pemuda ini mencoba memukul batu 5 kali, 10 kali sampai seratus kali tapi batu yang dipukul ini tidak pecah. Akhirnya dilemparlah palu besar yang digunakan memukul batu tersebut. Selang beberapa menit, lewatlah seorang tua, kurus, krempeng, dengan wajah kiai ndeso yang sudah sangat sepuh, ia bertanya pada anak muda yang gagah ini.

“Anak muda, kenapa engkau lesu dan payah?”

“Saya baru memukul batu itu seratus kali, tapi tidak pecah, dasar palu tidak berguna.”

“Bolehkah saya mencoba memukul batu itu dengan palumu anak muda?”

“Lho, emang bisa Kiai?”

“Coba saja…”

Bruaaaakkkkk… Lima kali pukulan ternyata batu itu pecah.

Sang pemuda menjadi sangat heran: “Lhoooo,,,, njenengan ternyata sakti!!!” saya minta ijazahnya, kyai.”

Dengan senyum manis, sang kakek menjawab: ”anak muda, aku bukan orang sakti. Memang batu ini akan pecah jika dipukul seratus lima kali, lha kamu masih seratus kali sudah nyerah. Coba tadi kamu nambah lima pukulan, pasti batu ini hancur.”

Intinya, jangan pernah putus asa, seberat apapun rintangan, kita jangan putus asa dari rahmat Allah Ta’ala.

Demikian ulasan khusus terkait Kiai Said Aqil Siraj: Ramalan Jayabaya dan Kejernihan Hati dalam Tasawuf. Semoga bermanfaat. Amin

(Mukhlisin/Bangkitmedia.com)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *