Kiai Kuswaidi Syafi’i Dialog dengan Rumah

Kiai Kuswaidi Syafi’i Dialog dengan Rumah

Kiai Kuswaidi Syafi’i Dialog dengan Rumah

Kiai Kuswaidi Syafi’i, Pengasuh Pesantren Maulana Rumi Bantul

Ada seseorang yang diam-diam bicara kepada rumahnya sendiri. “Kau jangan ambruk secara mendadak ya,” katanya dengan sangat yakin. “Kalau mau ambruk, kasih tahu aku dulu sebelumnya ya?”

Pada suatu malam, rumah itu tetap ambruk secara tiba-tiba. Apa kata si tuan rumah? “Hai rumah, lenyap di mana wasiatku yang selama ini selalu kusampaikan padamu? Bukankah sdh kukatakan padamu, bilang dulu sebelumnya. Kalau mau ambruk hingga aku bisa siap-siap untuk bawa keluargaku dari sini. Tidakkah kau punya ikatan persahabatan denganku?”

Rumah itu ternyata bisa menjawab dengan fasih. “Sudah kukabarkan kepadamu berkali-kali siang dan malam, wahai penghuniku. Kutunjukkan retakku kepadamu di mana-mana, tapi kau tidak memperhatikan. Malah kau sumpal retak-retakku itu dengan jerami dan lempung. Padahal dengan retak-retak itu aku ingin katakan: Kekuatanku sudah rontok, hampir tiba waktuku ambruk.”

Ketahuilah bahwa rumah itu adalah jasadmu, dan retakan-retakan adalah penyakit-penyakit yang bersarang di situ. Kau obati retak-retak sakitmu dengan obat yang serupa jerami dan lempung yang kau sumpalkan
di dinding-dinding rumahmu. Jasadmu yang sakit bilang: “Aku akan pergi menuju ambang kematian.” Tapi kau panggil dokter yang memberimu pengharapan dan membungkam kata-kata jasadmu sendiri.

Ketahuilah bahwa pening di kepalamu itu akibat minuman maut. Di saat itu, tenggaklah serbat “wa inna ilayhi raji’un.” Jadikanlah taubat dan istighfar sebagai hidangan sisa umurmu.

Demikian ulasan khusus terkait Kiai Kuswaidi Syafi’i Dialog dengan Rumah

(Disadur dari kitab Diwan Syamsi Tabriz juz II hlm. 11-13 karya Maulana Rumi. Kairo: al-Markaz al-Qaumi li al-Tarjamah, cet. III, 2016).

Baca pula artikel terkait

SELUBUNG KEILAHIAN

Oleh Kuswaidi Syafiie, Pengasuh Pesantren Maulana Rumi Sewon Bantul.

Ketika Allah Ta’ala Yang Mahatahu dan Maha Berkehendak mengejawantahkan diri dengan dzatNya terhadap dzatNya melalui cahaya-cahaya kesucian, muncullah kemudian roh-roh yang terlindungi di antara dimensi kemahaagungan dan kemahaindahan hadiratNya. Di saat itu pula, Dia menciptakan unsur teragung dari kalangan roh-roh itu. Itulah yang disebut dengan roh Nabi Muhammad Saw.

Mungkin lalu muncul seutas pertanyaan, kenapa Dia mengejawantah pada diriNya sendiri? Jawabannya jelas bahwa memang tidak ada apa pun atau siapa pun selain diriNya. Juga tidak akan pernah ada. Sampai kapan pun. Jawaban ini tentu saja dalam konteks paradigma yang hakiki.

Lalu, bagaimana sesungguhnya “realisasi” tajalli atau pengejawantahan itu? Ketahuilah bahwa, karena hadiratNya itu sepenuhnya absolut, maka dapat dipastikan bahwa Dia senantiasa “bersemayam” di luar segala “bagaimana” yang meluncur dari rasa takjub dan kebodohan manusia. Dan sampai kapan pun, “bagaimana” itu tidak akan pernah menjangkauNya. Makhluk ibarat burung-burung, sementara Allah Ta’ala laksana angkasa raya tak bertepi, bagaimana mungkin burung-burung malang itu bisa menjangkau dan mengukur keluasanNya? Mustahil.

Roh-roh yang tampak dan bersemayam di antara dua dimensi kemahaanNya yang sedemikian mutlak itu muncul secara langsung dan serentak. Sama sekali tidak ada realisasi hukum kausalitas di situ. Roh-roh itu tak lain adalah gambaran cikal-bakal paling awal bagi berlangsungnya episode demi episode penciptaan seluruh alam raya. Masing-masing roh itu tidak saling mengenal. Karena mereka sama-sama tenggelam di dalam Allah dan bersama Allah. Sehingga masing-masing roh itu tidak punya kesempatan dan kuasa untuk menoleh pada selain dirinya.

Itulah gambaran tentang kefanaan yang kelak di dunia akan dialami para salik ketika mencapai puncak rohani. Yaitu, di saat para salik itu terhijab oleh Allah Ta’ala sehingga tidak sanggup menyaksikan bayang-bayang hadiratNya sendiri yang berupa jibunan seluruh makhluk. Bagi mereka, Allah Ta’ala semata yang ada dan tidak pernah ada apa pun yang lain.

Selain roh-roh di atas, dengan tajalli yang lain Allah Ta’ala mewujudkan roh-roh berikutnya yang bermukim di bumi yang putih. Allah menjadikan mereka selalu terdorong untuk bertasbih, memandang hadiratNya senantiasa suci dari berbagai macam keburukan, kekurangan dan ketidaksempurnaan. Masing-masing roh itu memiliki kedudukan sendiri-sendiri sesuai dengan pengetahuan mereka tentang Allah Ta’ala dan kondisi rohani mereka di hadapan hadiratNya.

Bumi yang putih itu bebas dari berbagai macam kekurangan dan ketidakberesan sebagaimana yang mendera bumi yang kita huni ini. Disebut bumi semata karena dinisbatkan kepada roh-roh yang bermukim di situ. Tidak ada perubahan apa pun di bumi yang putih itu. Tapi juga tidak abadi.

Bagi seorang insan kamil, bagi orang yang pijakan-pijakan hidupnya tidak tergelincir dari jejak-jejak profetik Rasulullah Saw, bagi siapa pun yang merupakan “fotokopi” Nabi Muhammad Saw, ada pertalian yang kuat dengan bumi yang putih itu, ada jatah kenikmatan rohani yang sangat istimewa di sana, demikian juga pertalian itu begitu kuat dengan roh-roh yang terlindungi di antara dimensi kemahaagungan dan kemahaindahan hadiratNya yang pertama itu.

Roh Nabi Muhammad Saw yang merupakan unsur teragung, juga roh siapa pun yang memiliki “keserupaan” yang sempurna dengan beliau, Allah Ta’ala memberikan kemampuan pada mereka untuk menyaksikan alam pembukuan dan ketetapan segala sesuatu. Mereka itu adalah orang-orang yang paling sempurna wujudnya di alam raya.

Syaikh Muhyiddin Ibn ‘Arabi (1165-1240 M) yang merupakan kutub makrifat dengan tandas menyatakan, “Andaikan diperbolehkan untuk menyampaikan secara detail, pasti sudah kubentangkan pemaparan yang sempurna tentang rahasia keterhubungan segala sesuatu dengan Allah Ta’ala.” Wallahu a’lamu bish-shawab.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *