Tangerang, Bangkit Media– Jelang pergantian tahun sebagian masyarakat larut dalam euforia. Bagi akademisi, pergantian tahun harus menjadi refleksi (muhasabah) diri. Mengingat di penghujung tahun bangsa kita mendapatkan ujian tentang keberagamaan.
Demikian disampaikan Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Syariah Nahdlatul Ulama (STISNU) Nusantara, Tangerang, KH. Baijuri Khatib saat ditemui di tim Bangkit Media di sela-sela acara Urun Rembuk Kiai Penjaga NKRI, Sabtu (31/12) di STISNU Nusantara Tangerang.
“Persoalannya, yang hari ini ramai adalah orang selalu mengait-ngaitkan pada akidah. Misalnya, ramai di media sosial terompet itu tradisi Yahudi atau petasan itu tradisi agama lain. Itu terlalu dieksploitasi. Kalau bahasa anak mudanya, lebay,” ujarnya.
Menurutnya, pergantian tahun baru jangan dikaitkan dengan akidah. “Bahwa kita harus mengarahkan anak-anak kita dalam euforia pergantian tahun itu, iya. Kita arahkan pada hal-hal yang lebih positif, seperti tahlilan, berdzikir, dan lainnya. Tapi juga, jangan mengaitkan perayaan tahun baru dengan keyakinan,” pesannya.
Ia menjelaskan, Gus Dur sudah mengajarkan toleransi kepada Nahdliyyin dan Indonesia. Toleransi yang diajarkan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) hanya pada tatanan sosial. Walaupun Gus Dur pernah mengikuti kegiatan keagamaan agama lain, itu jangan dimaknai Gus Dur menggadaikan akidah.
“Skenario besar dalam toleransi Gus Dur adalah tentang kebangsaan. Kita harus dapat membedakan wilayah profan dan wilayah sakral seperti yang telah diajarkan Gus Dur,” jelasnya.
Keteguhan dalam menempatkan diri itu yang sulit ditiru dari sosok Gus Dur. Ia mencontohkan, ketika Gus Dur membela minoritas tidak dalam konteks memanfaatkan. Tapi memang Gus Dur membela kelompok yang betul-betul harus dibela. Gus Dur tidak memanfaatkan toleransi untuk kepentingan-kepentingan pragmatis.
“Saat ini kita sulit mencari tokoh seperti Gus Dur. Perjuangan dan kiprah Gus Dur harus menjadi refleksi pergantian tahun bagi anak-anak muda NU,” pesannya. (Suhendra)