Ketika Tasawuf Kehilangan Ruhnya, Bagaimana yang Dilakukan?

Oleh: Ustadz Supriyadi, Guru MA Ali Maksum Krapyak.

Tasawuf merupakan sebuah disiplin keilmuan dalam Islam yang mempunyai arti sebagai cara atau metode untuk mengenal dan mendekatkan diri kepada Allah dengan hati yang bersih dari noda-noda dosa. Secara etimologi, ada beragam arti tasawuf.

Nama tasawuf didasarkan pada penisbatan ahl al-sufah. Ahl al-Sufah adalah para sahabat Rasulullah Saw yang miskin papa dan mereka tinggal di area masjid Nabawi. Mereka senantiasa mendengarkan nasihat-nasihat Rasulullah Saw. Oleh karena itu, mereka adalah murid-murid Rasulullah Saw karena kedekatan strategis mereka dengan posisi Rasulullah Saw. Mereka hidup secara sederhana karena mereka memang miskin. Mereka mengenakan pakaian tak mewah yang terbuat dari bulu domba (al-sufah). Karena mereka mengenakan pakaian al-sufah tersebut, mereka disebut sebagai ahl al-sufah.

Dari kata “al-sufah” inilah penisbatan tasawuf karena dalam bahasa Arab, kata tasawuf (tashawwuf) dengan al-sufah berasal dari akar kata yang sama. Oleh karena itu, para pengamal tasawuf dipersepsikan sebagai orang-orang yang meneladani gaya hidup para ahl al-sufah.

Di waktu kemudian, tentu saja jauh setelah Rasulullah Saw wafat, umat Islam terbentuk dalam sistem kekhalifahan, kesultanan, atau kerajaan. Mereka yang mendalami tasawuf juga tak jarang yang mengenakan pakaian yang berasal dari bulu domba. Aksi berpakaian tersebut sebagai kritik mereka atas para pejabat yang bermewah-mewahan dengan berpakaian sutra atau satin. Kaum sufi yang memakai pakaian dari bulu domba tersebut beranggapan bahwa nafsu duniawi telah merasuk dalam dunia Islam sehingga mereka menjauhkan diri dari gemerlap duniawi.

Pendapat yang lain mengemukakan argumentasi yang berbeda. Kata tasawuf dinisbatkan pada kata shaff yang berarti saf atau barisan. Tasawuf (tashawwuf) berasal dari akar kata yang sama dengan kata shaff, yakni dari akar kata shaffa (fi’l madli) yang berbarti berbaris. Pemaknaan ini didasarkan pada perilaku kesalehan yang senantiasa memperebutkan shaff atau barisan pertama dalam shalat karena di sana terdapat keutamaan-keutamaan yang luar biasa dalam segi spiritualitas. Dengan demikian, ada semacam stigma positif bahwa mereka yang saleh itu senantiasa menempati shaff pertama dalam shalat. Dan, itulah yang dilakukan oleh para pengamal tasawuf.

Sementara itu, pendapat yang lainnya lagi mengemukakan argumentasi yang berlainan lagi. Kata tasawuf dinisbatkan pada kata shafaa (fi’l madli) yang berarti suci. Hal itu bersesuaian dengan statement bahwa tasawuf dimaknai sebagai penyucian hati dari perbuatan-perbuatan yang menjadi penghalang antara manusia dengan Allah. Untuk mendekatkan diri dengan Allah, maka umat manusia perlu membersihkan atau menyucikan hati mereka. Dalam arti yang demikian ini pula tasawuf dimaknai sebagai cara atau metode penyucian hati untuk meraih kedekatan sedekat-dekatnya dengan Allah dengan penuh cinta.

Penyebutan tasawuf ini memang tidak ada di zaman Rasulullah Saw. Oleh karenanya, orang-orang puritan mengatakan bahwa tasawuf adalah bidah. Meskipun tidak ada di zaman Rasulullah Saw, namun penisbatannya didasarkan pada perbuatan-perbuatan kebajikan di zaman Rasulullah Saw. Bisa dibilang bahwa gaya hidup Rasulullah Saw dan para sahabat pun adalah tasawuf karena perilaku tasawuf ini didasarkan pada perilaku Rasulullah Saw dan para sahabat. Oleh karena itu, tasawuf telah ada sejak zaman Rasulullah Saw meskipun pada masa itu Rasulullah Saw dan para sahabat bertasawuf tanpa nama.

Penyebutan nama tasawuf baru ada jauh setelah masa Rasulullah Saw. Bisa jadi penyebutan tasawuf tersebut muncul di masa tabiin atau malah jauh setelah itu mengingat para tokoh tasawuf seperti Jalaluddin Rumi, Abu Hamid Al-Ghazali, Hasan Al-Bashri, Rabi’ah Al-Adawiyah, Abu Yazid Al-Busthami, Abu Abdillah Al-Muhasibi, dan lain sebagainya hidup di masa yang telah jauh dari masa Rasulullah Saw.

Di masa Rasulullah Saw, perilaku-perilaku tasawuf telah tampak. Rasulullah Saw sendiri menampilkan cara hidup bertasawuf. Lebih dari itu, Rasulullah Saw sendiri adalah keteladanan dalam bertasawuf karena beliau adalah manusia yang diutus sebagai uswah hasanah (suri teladan yang baik).

Apa yang ditampilkan oleh Rasulullah Saw pun diteladani oleh para sahabat. Bukan hanya para ahl sufah yang meneladani gaya hidup Rasulullah Saw, melainkan para sahabat selain yang tergolong mereka pun meneladani gaya hidup Rasulullah Saw. Dengan demikian, pada masa tersebut umat Islam telah mengamalkan tasawuf tetapi tanpa ada label nama tasawuf. Dengan kata lain, mereka bertasawuf tanpa nama.

Di era kini, perilaku yang ditampilkan oleh Rasulullah Saw dan para sahabat tersebut mempunyai nama. Tentu saja namanya adalah tasawuf. Penamaan tersebut dimulai ketika para bijak bestari muslim “berbeda” dengan khalayak. Mereka mengamalkan pola hidup sederhana, membenci dunia, berlaku zuhud, dan menghindarkan diri dari hal-hal yang menurut mereka sia-sia. Tentu saja, mereka disibukkan dengan beribadah kepada Allah, mengingat-Nya, dan memahami-Nya dengan penuh cinta. Hal itu sebagaimana yang diteladankan oleh Rasulullah Saw.

Gaya hidup seperti itu dimulai ketika hingar-bingar umat manusia yang mencintai dunia semakin masif. Hal itu kemudian didukung dengan praktik politik para politikus yang haus jabatan sehingga ranah sosial menjadi kering dari nuansa dan nilai-nilai religius. Dengan demikian, wajar saja muncul perilaku-perilaku bijak bestari karena menjauhi politik dan keduniawian.

Di waktu kemudian, perilaku yang para bijak bestari lakukan itu dinamakan sebagai tasawuf. Bidang tasawuf kemudian merambah pada dunia akademisi intelektual. Ketika karya-karya para bijak bestari atau para sufi tersebut dibaca banyak orang, semakin banyaklah orang yang mendalami tasawuf dan mengkajinya secara lebih dalam. Apa yang dilakukan oleh para sufi tersebut tidak hanya diamalkan, tetapi juga dikaji. Oleh karenanya, tasawuf pun juga bisa menjadi salah satu disiplin keilmuan yang mempunyai bahasan dan kajian tersendiri. Sederhananya, tasawuf bukan lagi sebagai gaya hidup, tetapi juga sebagai disiplin ilmu.

Lambat laun—dan hingga kini—kajian tasawuf menjadi menarik lebih banyak lagi orang. Bukan sekadar pengamalan, melainkan pengkajian. Oleh karenanya, tasawuf mendapat perhatian khusus dari kaum akademisi atau mereka yang bergiat dalam bidang intelektualitas. Namun demikian, lama-kelamaan tasawuf tinggal kajian dan bahasan. Pengamalannya semakin pudar dari hari ke hari. Hingga sampai saat ini, pengamalan tasawuf semakin luntur.

Terlebih lagi, ada gerakan puritan yang menganggap bahwa tasawuf merupakan praktik keagamaan yang dinilai bidah atau bahkan sesat. Oleh karenanya, muncul pula perseteruan ideologi antara mereka yang membidahkan tasawuf (atau mengafirkan para sufi) dengan mereka yang menganggap tasawuf sebagai tarekat untuk mendekatkan diri kepada Allah.

Kian hari, rupanya tasawuf semakin kehilangan ruhnya. Maksudnya, tasawuf masih menarik untuk dikaji, tetapi justru semakin sedikit pengamal yang mempraktikkannya. Artinya, nama tasawuf itu semakin lama semakin matang, tetapi praktik tasawuf itu justru semakin lama malah semakin pudar. Tasawuf adalah jalan sunyi, tetapi ia dilewati secara meriah oleh para pengkaji. Sayang sekali, kemeriahan kesunyian tersebut benar-benar tidak sunyi karena pengamalan tasawuf semakin pudar.

Oleh karena itu, saya tidak keberatan untuk mengatakan bahwa tasawuf pada zaman Rasulullah Saw itu sudah ada tetapi namanya tidak ada. Sementara itu, saya pun merasa ringan saja untuk mengatakan bahwa tasawuf pada zaman sekarang itu namanya sudah ada tetapi pengamalannya sudah tidak ada alias punah. Ah… semoga saya salah tentang hal ini.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *