Bagi umat Islam, Rasulullah Saw adalah teladan dalam segala hal. Termasuk pula dalam berumah tangga. Rasulullah Saw kali pertama menikah di usia sekitar 25 tahun. Perempuan pertama yang dinikahi adalah seorang janda berusia sekitar 40 tahun, Khadijah. Selama berumah tangga, Rasulullah Saw tidak memadu Khadijah hingga akhirnya Khadijah wafat.
Setelah sekian waktu, Rasulullah Saw pun akhirnya menikah lagi dengan seorang perempuan muslimah dengan status janda (lagi). Dialah Saudah bint Zam’ah. Hari-hari Rasulullah Saw dalam kegalauan selama ditinggal Khadijah, pun Rasulullah Saw kembali menemukan bahagia meskipun cinta kepada Khadijah tetap tidak tertandingi. Di dalam Saudah inilah Rasulullah Saw kembali menemukan ketenteraman batin.
Di waktu yang tidak lama, Rasulullah Saw juga meminang Aisyah putri Abu Bakr yang konon ketika itu masih belia. Ada pula yang menyatakan bahwa Aisyah dipinang oleh Rasulullah Saw sebelum Saudah. Dengan kata lain, Aisyah adalah istri pertama setelah Khadijah. Namun demikian, ada sumber lain yang menyatakan bahwa Aisyah dipinang oleh Rasulullah Saw setelah Saudah.
Motif pernikahan Rasulullah Saw dengan Aisyah yang merupakan satu-satunya istri Rasulullah Saw yang belum berstatus janda, bisa jadi diproyeksikan untuk mengajarkan hal-hal yang tidak diketahui oleh orang lain. Aisyah adalah pribadi yang cerdas sehingga dia mampu menyerap ilmu yang banyak dari Rasulullah Saw. Hal itu terbukti bahwa dari Aisyah, banyak sekali hadis yang diriwayatkan dan “terselamatkan” hingga kini. Jika tidak ada Aisyah, barang kali banyak ajaran atau sunah Rasulullah Saw yang tidak lestari hingga kini.
Setelah Aisyah, Rasulullah Saw juga menikahi putri Umar bin Khatthab, yakni Hafshah. Ketika Hafshah menjadi janda lantaran suaminya syahid dalam pertempuran Uhud, Umar dilanda kebimbangan karena memikirkan putrinya ini. Umar pun mendatangi Abu Bakr dan Utsman bin Affan untuk menawarkan Hafshah agar dinikahi, tetapi kedua sahabat tersebut tidak berkenan. Umar mendatangi Rasulullah Saw dan mengadukan sikap kedua sahabat tersebut. Untuk menolong Hafshah dan menghormati Umar, Rasulullah Saw rela menikahi Hafshah sehingga tenang dan bahagialah Umar. Ketika dinikahi oleh Rasulullah Saw, Hafshah masih begitu muda; diriwayatkan ketika itu usia Hafshah masih 18 tahun. Jika Aisyah berjasa dalam meriwayatkan hadis, maka Hafshah berjasa dalam menjaga mushaf Alquran, kitab suci umat Islam, karena Hafshah adalah perempuan yang bisa membaca dan menulis, keahlian yang langka ketika itu.
Bernasib seperti Hafshah, Zainab bint Khuzaiman pun sama. Dia adalah janda karena suaminya syahid dalam pertempuran di bukit Uhud. Zainab adalah perempuan lemah dengan beberapa anak yang kemudian menjadi yatim. Untuk menolong keluarga kecil Zainab, Rasulullah Saw kemudian menikahinya. Maka, kehormatan Zainab pun terangkat meskipun beberapa waktu kemudian (sekitar dua atau tiga bulan kemudian) dia wafat terlebih dahulu.
Seperti Zainab, Ummu Salamah adalah janda dengan beberapa anak. Untuk menjalani kehidupan sehari-hari, Ummu Salamah memang hidup tidak mudah. Melihat kondisi seperti itu, Rasulullah Saw pun menikahinya agar terangkatlah kehormatannya.
Setelah menikah dengan Ummu Salamah, Rasulullah Saw juga menikah dengan Zainab bint Jahsy. Pada awalnya, dia adalah istri dari Zaid bin Tsabit, anak angkat Rasulullah Saw. Akan tetapi, keluarga mereka retak dan mengakibatkan perceraian. Untuk mengangkat derajat Zainab dan menutupi rasa malunya, Allah memerintahkan Rasulullah Saw agar menikahi Zainab. Dengan begitu, Zainab kemudian bisa berbangga diri bahwa yang menikahkan dirinya dengan Rasulullah Saw adalah Allah.
Pernikahan Rasulullah Saw berikutnya adalah dengan perempuan tawanan yang bernama Juwairiyah. Dia adalah perempuan yang tertawan oleh umat Islam setelah sukunya, Bani Mushthaliq, gagal dalam menyerang umat Islam. Bani Mushthaliq yang merupakan suku bangsa Arab dari Yaman tersebut kalah total sehingga banyak perempuan yang ditawan oleh umat Islam. Salah satu tawanan adalah putri dari pemimpin Bani Mushthaliq, yakni Juwairiyah. Perempuan ini ditawari kebebasan dari tawanan jika bersedia menikah. Juwairiyah pun menyetujuinya sehingga dia masuk agama Islam.
Tidak berapa lama, ayahnya, Harits bin Abi Dlirar, pun datang kepada umat Islam dengan maksud untuk membebaskan Juwairiyah. Rupanya, Juwairiyah telah merdeka dan berstatus sebagai umm al-mu’minin. Maka terenyuhlah Harits sehingga dia pun masuk Islam. Keislaman tersebut kemudian diikuti oleh seluruh Bani Mushthaliq. Dengan demikian, Rasulullah Saw mengislamkan Bani Mushthaliq melalui pernikahan, bukan lantaran pedang. Setelah itu, seluruh Bani Mushthaliq yang menjadi tawanan pun dibebaskan oleh umat Islam tanpa tebusan karena menghormati Rasulullah Saw dan keislaman mereka.
Raihanah pun merupakan perempuan yang tertawan oleh umat Islam. Dia diambil oleh Rasulullah Saw sebagai seorang istri dan kemudian terbebas dari status tawanan. Riwayat lain mengatakan bahwa dia hamba sahaya Rasulullah Saw. Motif Rasulullah Saw mengambilnya adalah karena merasa iba melihat dia sebatang kara setelah kelompoknya kalah dalam pertempuran.
Istri berikutnya adalah Ummu Habibah. Dia pun janda yang berhijrah ke Habasyah. Sayang sekali, suaminya justru murtad hingga mati. Maka, malulah Ummu Habibah sebelum datang kebar gembira bahwa Rasulullah Saw menikahinya. Setelah menikah dengan Rasulullah Saw dan tinggal di Madinah, hilanglah kesengsaraan dan rasa malu Ummu Habibah, kini berganti kebahagiaan dan kemuliaan.
Selain Khadijah, istri Rasulullah Saw yang mempunyai anak adalah Maria Al-Qibtiyah. Dia adalah budak hadiah dari Muqauqis, seorang pembesar di Alexandria, Mesir. Maria yang beragama Kristen terpukau dengan agama Islam sehingga dia memeluk Islam. Rupanya, dalam berislam pun Maria dibimbing oleh Rasulullah Saw sebagai suami. Maka, mulialah status perempuan yang awalnya hanya sebagai budak di Mesir. Sementara itu, riwayat lain mengatakan bahwa status Maria seperti Raihanah, sahaya Rasulullah Saw.
Shafiyah adalah perempuan berikutnya yang dinikahi oleh Rasulullah Saw. Dia adalah perempuan Yahudi, pada awalnya, yang tertawan oleh umat Islam. Karena Shafiyah adalah putri dari pemuka Yahudi, para sahabat pun berbeda pendapat terkait siapa yang berhak atas Shafiyah. Para sahabat saling berebut, tetapi kemudian di antara mereka berujar bahwa yang paling pantas adalah Rasulullah Saw. Ketika pilihan dijatuhkan kepada Rasulullah Saw, maka para sahabat pun tidak ada yang kemudian memperdebatkannya lagi. Shafiyah kemudian ditawari oleh Rasulullah Saw untuk menjadi istri beliau dengan syarat berkenan masuk Islam. Maka, Shafiyah pun memeluk Islam dan menjadi istri beliau.
Sementara itu, perempuan terakhir yang menjadi istri Rasulullah Saw adalah Maimunah. Pernikahan Rasulullah Saw dengan Maimunah adalah pernikahan yang juga bertujuan untuk mempererat tali kekeluargaan. Oleh karenanya, pernikahan Rasulullah Saw dengan Maimunah pun mendekatkan kekeluargaan tersebut. Selain itu, salah satu keponakan Maimunah adalah Khalid bin Walid. Khalid telah dikenal sebagai panglima perang yang cerdik, bahkan dialah aktor yang menjadikan umat Islam menelan kekalahan dalam pertempuran di Uhud. Ketika itu, Khalid belum memeluk Islam. Barang kali, pernikahan Rasulullah Saw dengan Maimunah adalah untuk menarik hati Khalid agar memeluk Islam sehingga umat Islam bertambah kuat dengan keislaman Khalid, sang pedang Allah.
Demikianlah perempuan-perempuan mulia dan agung di sekitar Rasulullah Saw. Meskipun mereka adalah para istri Rasulullah Saw, di antara mereka bukan berarti tidak ada konflik sama sekali. Mereka saling berlomba mendapatkan simpati Rasulullah Saw sebagai yang terbaik. Akan tetapi, di antara mereka juga muncul sikap saling cemburu dan curiga. Bahkan muncul juga sikap saling “benci”.
Sebut saja Aisyah yang sangat cemburu ketika Rasulullah Saw menikahi Zainab, Juwairiyah, dan Shafiyah. Mereka bertiga dikenal sebagai perempuan yang sangat cantik. Bahkan, Zainab pernah tidak dikumpuli oleh Rasulullah Saw selama beberapa hari karena Zainab enggan membantu Shafiyah dalam suatu peristiwa. Hafshah dan Aisyah pun pernah berusaha menjauhkan Rasulullah Saw dengan Zainab lantaran Zainab senantiasa menyuguhkan madu yang lezat kepada Rasulullah Saw yang hal itu membuat mereka cemburu. Tidak hanya itu, ketika Ibrahim lahir dari rahim Maria, para istri Rasulullah Saw yang lain memasang wajah yang cemberut lantara mereka cemburu. Ketika Rasulullah Saw untuk keluar kamar karena hendak buang air kecil di malam hari pun membuat Maimunah berprasangka buruk sehingga menutup pintu kamar bagi Rasulullah Saw. Dan, masih banyak lagi peristiwa-peristiwa sikap saling curiga dan cemburu para istri Rasulullah Saw.
Penulis: Supriyadi, penulis buku-buku keislaman kontemporer.