Ketika Gus Rofiq Tambakberas Jombang Didatangi Emak-emak HTI

Perempuan HTI

Baru-baru ini datang dua tamu pendekar dari Sidoarjo dan Nganjuk. Saat ngobrol di gubuk peyotku, tiba-tiba saya diberitahu istri ada dua wanita eks -Hizbut Tahrir ingin bertemu dengan saya. Berikut catatan singkat yang saya ingat.

Di depan pintu nampak dua perempuan berkerudung panjang tanpa cadar dan pakaian terusan khas. Mereka tersenyum dan salam, saya rasa-rasanya pernah tahu dia, tapi saya lupa. Selanjutnya saya juga senyum dan menjawab salam. Lalu saya persilakan masuk ruang tamu, saya bertanya nama dan ada apa gerangan? Dia menyebut nama dan menjelaskan maksudnya, “Kami dari Hizbut Tahrir, baru saja berkunjung ke seorang ning (sebutan keluarga pondok putri, nama tidak perlu saya tulis), dan dibilangi agar kami pergi ke rumah Gus Rofiq.” Dalam batinku, “Nekat juga para perempuan ini datang.”

Lalu saya katakan kepadanya bahwa memang akhir-akhir ini ada beberapa keluarga pondok Bahrul Ulum Tambakberas yang berkeluh sering didatangi oleh emak-emak HTI, mungkin ya sampean berdua ini yang dimaksud.”

Lalu di antara mereka menjawab, “Kami memang telah mendatangi beberapa ning dan bu nyai yang ada di Tambakberas. Tapi kami tidak diberitahu bahwa kami dilarang datang. Kalau dilarang, tentu kami tidak datang.”

Saya jelaskan bahwa tidak mungkinlah seorang bu nyai akan menolak langsung seorang tamu. Seharusnya kita yang paham sendiri bagaimana sikap mereka.” Saya melanjutkan, “Dalam laporan yang masuk, ketika anda mendatangi seorang bu nyai, kemudian oleh santri dikatakan bahwa bu nyai masih sibuk, tapi anda tetap menunggu. Sebetulnya hal itu adalah penolakan secara halus.”

Oleh sebab itu, di grup keluarga pondok Tambakberas, saya memang pernah menulis bila ada keluarga Tambakberas yang didatangi emak-emak militan eks-HTI, disampaikan saja agar menemui saya.”

Selanjutnya saya silakan kepada dua tamu untuk mencicipi kue dan minuman. Setelah itu saya minta mereka agar mendakwahi saya akan gagasan khilafahnya. Awalnya dia ngulangi lagi bahwa ke sini karena
disuruh seorang ning agar ke rumah saya.

Lalu dia dengan agak gimana gitu (antara gamang dan polos) berkata, “Mendirikan khilafah itu kan wajib.”

Perkataannya tanpa diurai bagaimana konstruksi wajibnya. Konstruksi wajibnya khilafah ala eks-HTI sudah saya bantah dalam buku “Mematahkan Argumen Hizbut Tahrir”. Mereka di halaqah memang hanya diajarkan bahwa mendirikan khilafah wajib dengan konstruksi dalil ala- eks-HTI. Tidak ada studi komparatif terkait sejarah berdirinya dan kesepakatan tentang NKRI.

Selanjutnya mereka masih dengan “kepolosan” kayak menggugat bertanya kenapa khilafah dianggap ancaman? Saya jawab singkat, “Sekalipun tidak ada tulisan di buku HTI bahwa khilafah akan mengganti sistem NKRI, Pancasila dan UUD 1945, tapi saya pastikan bahwa cita-citanya adalah merubah sistem non khilafah, apapun sistem itu, dan akan mengganti konstitusi yang yang berlaku di suatu negara dengan konstitusi HTI. Apakah itu bukan ancaman?”

Si tamu saya ini diam tidak menolak. Dia melanjutkan dengan pernyataan lain bahwa khilafah adalah takdir/janji Allah yang tidak tahu dimana akan berdiri.

Saya jawab, “Dulu tahun 1990-an, Indonesia tidak termasuk pusat dakwah Hizbut Tahrir. Tetapi setelah era reformasi, Indonesia dijadikan benchmark dakwah Hizbut Tahrir di dunia yang dianggap berhasil. Sejak itu, Hizbut Tahrir menentukan bahwa Indonesia adalah salah satu sasaran potensial untuk didirikan khilafah.” Masalah khilafah itu janji asli atau janji palsu, nalar dan bantahannya ada di buku saya.

Dua emak-emak ini diam lagi. Lalu saya apresiasi akan militansinya termasuk rela dijadikan ujung tombak terjun ke masyarakat di saat para bapak-bapak eks-HTI tidak muncul di publik secara terus terang, beda dengan emak-emak yang terus terang mengaku dari HTI. Saya bilang, “Anda punya niat baik, tapi itu tidak cukup, karena akan dianggap
berbahaya saat hal itu akan meruntuhkan NKRI. Ingat ya, kami juga punya niat baik yang benar. Kami ingin menjaga NKRI yang didirikan para ulama dan para pendiri bangsa yang lain.”

Memang para aktivis HTI tidak tahu dan tidak diajarkan bahwa membela NKRI juga wajib karena hubbul wathon, Ingat resolusi jihad dan ingat pula lagu Ya lal Wathon. Sayangnya hubbul wathon mereka anggap ashobiyah karena keiinginan mereka ya khilafah.

Saya lanjutkan perkataan, “Saat anda merasa mempunyai niat baik (yang itu kami anggap salah), jangan menyangka bahwa orang yang menolak gagasan khilafah adalah penentang Islam, lalu disumpahserapahi dengan keburukan. Ingat kasus tokoh yang menolak khilafah bagimana mereka disumpahserapahi di medsos oleh teman-teman anda.”

Saat mereka mau pamit, saya tahan beberapa kali, saya pancing agar omong masalah lain supaya gayeng. Kebetulan di antara mereka ternyata kenal sepak terjang saya saat di Universitas Airlangga dan mengatakan saya orang terkenal di kalangan Hizbut Tahrir Surabaya, maka saya ajak bicara masa lalu di Unair agar cair.

Setelah itu, mereka berdua mau pamit lagi dan saya pesani agar kapan-kapan datang ke rumah saya dan ajak suami untuk diskusi. Masak saat ini yang disuruh maju kok emak-emak, kan kasihan. Kalau belum punya bahan diskusi, apa mau saya kasih buku saya. Dia nampak gamang untuk mengiyakan, mungkin ada kekhawatiran. Maka saya batalkan pemberian buku. Saya titip salam ke keluarganya dengan harapan dalam hati yang tulus agar sadar kembali ke pangkuan NKRI membangun negeri.

Penulis: Ainur Rofiq Al Amin Tambakberas Jombang, dosen UIN Sunan Ampel Surabaya.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *