Orientalis ada sejak timbulnya ketertarikan orang-orang barat mengkaji ketimuran yang kemudian disebut orientalis. Istilah ini baru muncul ketika terjadinya persentuhan antara Timur dan Barat. Oleh sebab itu, istilah ini tidak muncul secara alami, untuk mengetahui salah satu praktek orientalis dalam membedakan identitas Timur. Ada beberapa kesalahan dari kaum orientalis Barat dalam memahami makna al-Qur’an. Mereka hanya memahami al-Qur’an sebagai buku biasa, yang memiliki ciri-ciri buku pada umumnya. Maka studi yang mereka pelajari bukanlah suatu pemahaman yang tepat tentang kandungan al-Qur’an.
Beberapa tokoh yang mempelajari al-Qur’an hanya melihat dari sudut pandang Historis-Kritis yaitu Heidegger-Angelica. Pemahaman mereka tentang sudut pandang itu membahas tentang ‘teks’. Hal ini sesuai dengan penelitian mereka yang kasat mata atau nyata (berbentuk artefak). Oleh sebab itu, mereka menganggap bahwa al-Qur’an adalah tiruan dari kitab Yahudi dan Nasrani. Mereka juga menganggap bahwa sejarah harus berupa artefak atau teks yang tertulis. Sedangkan ayat al-Qur’an diturunkan pertama kali adalah Q.S. Al-‘Alaq, bunyi ayat pertama adalah iqra’ yang memiliki arti “bacalah” bukan “tulislah”. Hal tersebut menunjukkan bahwa sejarah al-Qur’an adalah sebuah kisah untuk didengar bukan artefak.
Tokoh lain yang meneliti tentang perasaan berdasarkan fenomenologi (menggunakan alam fikir) yaitu Neal Robinson. Robinson mencoba memahami al-Qur’an dengan apa yang dirasakan oleh umat Islam. Dalam penelitiannya Robinson berhasil merekam tiga fenomena muslim dalam memperlakukan al-Qur’an; Pertama, bagaimana cara muslim mendengarkan al-Qur’an. Kedua, bagaimana cara muslim menghafal al-Qur’an. Dan ketiga, bagaimana al-Qur’an hadir dalam kehidupan sehari-hari umat Islam.
Menurut Robinson hal yang menarik perhatiannya adalah masalah redaksi wahyu mengenai Q.S, al-Alaq’ berdasarkan susunan sastra dan bahasa al-Qur’an, begitu juga dengan ayat-ayat yang lain. Oleh karena itu, Robinson meneliti aspek susunan sastra yaitu rima dan irama. Dari lima ayat tersebut tidak sama panjang, meskipun demikian ayat tersebut memiliki penanda ritmenya yang kemudian menjadi simetris.
Contoh dari Q.S. Al-‘Alaq:
Ayat 1, memiliki ketukan 12
Ayat 2, memiliki ketukan 10
Ayat 3, memiliki ketukan 8
Ayat 4, memiliki ketukan 10
Ayat 5, memiliki ketukan 12
Ayat 1 dan ayat 5 memiliki kesamaan ketukan yaitu sama-sama memiliki 12 ketukan, ayat 2 dan ayat 4 sama-sama memiliki 10 ketukan, sedangkan ayat 3 tidak memiliki pasangan karena ayat ini menjadi pusat dalam surat Al-‘Alaq. Kesamaan-kesamaan tersebut apabila digabungkan menjadi simetris.
Al-Qur’an yang dirangkum dari berbagai pendapat jumhur ulama yaitu “kalam” Allah yang diwahyukan kepada rasul terakhir Nabi Muhammad Saw melalui malaikat Jibril tertulis dalam mushaf, yang dimulai dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Nas; terjamin keotentikannya dan terpelihara dari perubahan tangan manusia; dan diturunkan sebagai mukjizat yang memperkuat bukti kenabian dan kerasulan Nabi Muhammad Saw; sebagai pedoman hidup manusia untuk mewujudkan kebaikan hidup di dunia dan akhirat; dan apabila membacanya adalah ibadah.
Beberapa definisi tersebut yang perlu digarisbawahi dan diberikan ulasan lebih lanjut adalah sebagai berikut: pertama, al-Qur’an adalah kalam Allah bukan karya manusia bahkan manusia yang paling utama yaitu Nabi Muhammad Saw sekalipun. Kedua, al-Qur’an terjamin oleh keotentikannya. Al-Qur’an yang kita baca sekarang ini tidak lebih dan tidak kurang adalah al-Qur’an yang dibaca oleh Nabi Muhammad Saw.
Ketiga, al-Qur’an sebagai mukjizat. Mukjizat adalah perkara luar biasa yang berada di luar batas kemampuan manusia, yang diberikan kepada seorang Nabi untuk memperkuat dan membenarkan kenabiannya. Berbeda dengan nabi terdahulu yang bersifat materil indrawi, mukjizat Nabi Muhammad Saw berupa al-Qur’an ini bersifat spiritual intelektual. Karena sifatnya spiritual intelektual maka mukjizat al-Qur’an berlaku sepanjang zaman, sesuai dengan sifat kenabian Nabi Muhammad sebagai nabi yang terakhir yaitu untuk segenap umat manusia sampai akhir zaman.
Keempat, membaca al-Qur’an adalah ibadah. Dalam arti bahwa membaca al-Qur’an meskipun tidak memahami maknanya dinilai sebagai sebuah ibadah. Membaca al-Qur’an sebagai pribadatan (ta’abbud) ini di samping memberikan pahala juga bisa memberikan ketentraman batin dan ketenangan jiwa bagi yang melakukannya.
Kelima, al-Qur’an sebagai pedoman hidup. Perlu diingat bahwasannya al-Qur’an diturunkan bukan semata-mata untuk bacaan peribadatan, atau untuk memperoleh berkah, bukan pula untuk dilagukan demi keindahan seni semata, melainkan terkait dengan misi revivalisme Islam atau dalam bahasa al-Qur’an “liyukhrija an-naas min azh-zhulumaat ila an-nuur” yaitu untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan ke cahaya yang terang benderang.
Adapun al-Qur’an memberikan petunjuk dan pedoman bagi umat manusia agar mengubah diri dari kehidupan jahili menjadi kehidupan Islami. Karena fungsinya sebagai pedoman hidup itulah al-Qur’an harus dibaca, dipahami, dan dikaji secara mendalam, agar kebenaran Ilahi yang terkandung di dalamnya dapat diketahui. Dengan usaha memahami dan mengkaji al-Qur’an itulah kemudian melahirkan beribu tafsir sebagai bagian dari khazanah ilmu pengetahuan yang tidak ternilai.
Salah paham kaum orientalis dalam memandang al-Qur’an mungkin merujuk pada kaum mu’tazilah. Sebagaimana diketahui, kaum mu’tazilah menggunakan pendapat bahwa al-Qur’an adalah makhluk. Kaum mu’tazilah menggunakan pendapat tersebut untuk kepentingan politik, bahwa politik tersebut bertujuan agar menjadi hakim, sebab apabila ingin menjadi hakim pada zaman itu harus mempercayai bahwa al-Qur’an adalah makhluk. Apabila tidak mempercayai trem tersebut maka mereka berfikiran bahwa Tuhan itu ada dua jadi mereka dikataan kafir. Oleh karena itu, apabila sudah kafir maka pada zaman itu tidak bisa menjadi qadhi (hakim).
Penulis: Nur Maulidatus Sholekhah, Mahasiswi STAI Sunan Pandanaran