Kenapa Seorang Habib Itu Menghina Presiden Jokowi?

habib bahar

Beberapa hari ini berandaku ramai dengan perbincangan “ceramah” seorang habib yang menghina presiden. Awalnya saya tidak mau tahu karena saya pikir ini masalah Pilpres, sehingga tidak pernah tertarik memutar videonya.

Tapi, “Witing tresno jalaran soko kulino” ya….karena terus-terusan lewat di beranda, akhirnya tergiur juga untuk membukanya. Dan…. Astaghfirullah….darah terasa mendesir ke ubun-ubun, wajah memanas, gigi menggertak, tangan terkepal. Saya marah tapi harus marah sama siapa “napsu kapegung” akhirnya meneteskan air mata.

Kemarahan dan kesedihan itu bukan untuk presiden yang dihina rakyatnya tapi kemarahan dan kesedihan dari seorang anak untuk ayahnya yang dihinakan.

Pikiran dan bayangan saya langsung menghadirkan wajah bapa saya yang sedang ditunjuk-tunjuk oleh seseorang yang tidak dikenalnya. Dia dihina habis-habisan oleh orang yang sama sekali belum pernah bermasalah dengannya bertemu pun belum pernah tapi kenapa berani menghina dan menunjuk-nunjukknya. Saya memberanikan diri untuk balik membentaknya.

“Apa salah bapaku ? Kalaupun memang salah, kau tak berhak menghinanya. Apakah kau tahu, dialah yang telah bersusah payah mencari nafkah supaya aku bisa bertahan hidup? Setiap hari dialah yang mengharapkanku bahagia. Dia sering membawakan sekedar sebuah jambu dari kebun, seekor anak ikan dari sungai atau bahkan sekedar serangga “simeut” dari sawah untuk membuatku bahagia.

Mungkin menurutmu itu tak bernilai tapi bagiku itulah ruh hidupku. Tapi kenapa hari ini kau berusaha matikan ruhku?” Aku berhenti sebentar, menatap tajam mukanya.

“Kau tahu? Dialah yang selalu menghawatirkanku, Dia membawakan beras untuk dinanak ibu supaya aku tak kelaparan, Dia mengalirkan air bahkan menggali sumur supaya aku tak kehausan, membelikanku baju supaya aku tak kedinginan dan tak dihinakan orang karena baju yang ku kenakan telah usang atau sekedar berteriak menyuruhku turun dari pohon jambu yang aku naiki terlalu tinggi. Dia khawatir aku tidak bahagia. Tapi kenapa kau berusaha menghilangkan kebahagiaanku? Apa kau tak pernah membayangkan jika bapakmu dihina orang? Bagaimana perasaan mu? Atau mungkin kau tak berperasaan?” Aku mengambil nafas sebentar

“Apakah karena kau merasa keturunan ningrat agama ini? Tapi dimana kemuliaan itu? Bukankah buah jatuh tak jauh dari pohonnya? Tapi kenapa kau seperti buah jatuh kemudian terbawa arus sungai, sehingga jauh…..jauh….jauh…. sekali dari pohonmu?. Aku tak paham siapa yang mengajarimu, yang aku faham bahwa Nabi agamaku mengajarkan berkata lembut, kenapa kau kasar?, berprilaku karimah, kenapa kau memilih madzmumah?, menyuruh menebar cinta, kenapa kau menebar benci?”

“Benarkah kau seorang habib? Yang aku tahu dari Kiayiku, Habib bima’na fail orang yang mencintai, Bima’na maf’ul orang yang dicintai. Dijadikan subjek atau objek sama saja, cinta meliputinya. Tetapi kenapa sepertinya malah kebencian yang meliputimu?”

“Aku tahu bapakku banyak kekurangan,
Tapi tak kan rela ketika dihinakan.
Aku sadar sering membantah perintah bapak
Tapi kalau orang lain membantahnya aku marah.
Seandainya aku jadi anak yang bapaknya kau hina jangan salahkan jika aku membencimu seumur hidup. Lalu bagaimana kau akan minta maaf dari anak yang bapaknya kau hina ini? atau kau akan menunggu keadilan-Nya diakhirat kelak?”

Garut, 30-11-2018
(Penulis: Ernawati, Garut)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *