Berita NU, BANGKITMEDIA.COM
YOGYA- Dalam Pemilihan Gubernur Jawa Barat (Pilgub Jabar), para ulama’ yang selama ini menjadi rujukan gerakan PKS mengampanyekan pasangan tertentu yang disyiarkan kepada publik. Dengan tegas, para ulama’ itu mengajak warga memilih paslon nomor urut 3. Meme itu juga disebar di berbagai media sosial dan sebagainya.
Fakta Pilgub Jabar mengabarkan bahwa pasangan nomor urut pertama yang menjadi pemenangnya berdasarkan hitung cepat. Bagaimana suara ulama’ PKS ini bisa kandas ya?
“Alhamdulillah, publik sadar dan tidak takut berbeda pandangan dan pilihan politik dengan para ahli pidato ini,” tulis Ainul Yaqin.
Sementara itu, Achmad Munjid memberikan analisis lebih mendalam soal ini.
“Di Jawa Barat, “suara ulama” tidak digubris? Ah, ya enggaklah. Pertama, apa self-proclaimed ulama adalah ulama? Kedua, ulama mana yang sibuk jadi jurkam? Apakah ini tanda-tanda majunya sekularisasi? Mungkin. Selain dipahami privatisasi (didesaknya agama ke wilayah pribadi), sekularisasi juga bermakna separasi, pemisahan urusan agama dengan urusan pulitik,” tegas Achmad Munjid.
“Tapi untuk konteks Indonesia, sekulrasisasi yang dipahami sebagai diversifikasi, keragaman dan kontestasi otoritas agama dengan otoritas-otoritas lain di ruang publik-lah yang tampaknya lebih tepat. Mau tokoh agama bicara apa saja di ruang publik ya dia harus bersaing dengan yang lain jika mau mendapat legitimasi dan harus siap tidak didengarkan kalau publik tidak mau menerima,” lanjutnya.
“Lalu apa kita akan makin mengalami sekularisasi yang kian menjadi-jadi? Nanti dulu, untuk jadi sekulär beneran itu ada dua syaratnya: 1) sejahtera secara ekonomi dan 2) risiko tinggi dalam soal keamanan eksistensial (kemungkinan mati, sakit dan jadi korban kejahatan setiap saat, susah cari kerja dan pendapatan tdk pasti, harapan hidup rendah dll). Gampangnya, kalau orang itu sejahtera dan aman sentosa hidupnya, ia memenuhi syarat untuk jadi sekulär. Kalau kita ya masih jauh. Jadi gak usah khawatir, kita belum memenuhi syarat untuk bisa jadi sekulär!,” pungkas Achmad Munjid yang domisili di Yogya.
“Ada politisasi agama ada menggunakan sarana politik sebagai jalan meluhurkan agama. Kedua serupa tapi tak sama. Megkampanyekan calon kepala daerah melalui mimbar agama adalah salah satu contoh politisasi agama. Sementara itu mendirikan parpol agar aspirasi agama terakomodir adalah contoh untuk yg kedua. Mendirikan partai beravisi Islam ok tapi berkampanye dalam masjid hmmm ga ok.,” Imam Malik memberikan tanggapan. (dn)