Kenapa Jihadis jadi bermazhab atau menghormati Mazhab ?
Setidaknya ada dua jawaban dalam masalah ini. Pertama, adalah berangkat konflik antar sudut pandang fiqh di wilayah yang di tempati jihadis ketika interaksi dengan kebiasaan keagamaan setempat, dan kedua operasi-operasi militer blunder Jihadis ketika mengusai wilayah yang mereka rebut, intinya konflik sudut pandang dan tidak bisa mengola wilayah adalah kuncinya. Kelihatannya sepele tetapi ternyata persoalan di atas cukup menyita perhatian pemikir jihadis.
Bermula dari catatan dan ceramah Syaikh Abdullah Azzam rh yang lantas menjadi kitabnya ‘’Tarbiyah Jihadiyah” yang menyebutkan bahwa muhajirin arab yang cenderung wahabi kaku datang ke Afghanistan untuk berjihad bersama Anshar ( mujahaidin lokal ), dari sana di mulailah konflik tersebut, sehingga beberapa salafi ekstrem pernah menyebutkan bahwa di Afghanistan tidak ada jihad, yang ada pertempuran antara Syuyu’iyyin (Komunis) dengan musyirikin, karena kebiasaan masyarakat afghanistan yang banyak bid’ah dan masih ber aqidah Asya’iriyyah. Dan itu semua bertentangan dengan aqidah keyakinan kebanyakan jihadis dari Arab Saudi.
Cerita selanjutnya didalam kitab tarbiyah Jihadiyah adalah berita bahwa Ikhwan Salafi membakar kitab-kitab karangan imam Nawawi seperti Riyadhus Sholihin, Hadist Arbain dan Ibnu Hajar Al-Asqolani seperi Fathul Bari dan Bulughul Maram dimana kedua pengarangnya beraqidah Asya’iriyyah di tambah lagi seiring trend anti Mazhab yang di usung oleh pengikut Al-Bani.
Sikap tampa kompromi di atas ternyata membawa problem bagi perjalanan Jihad selanjutnya, tidak ada toleransi, Akhlak dan adab tentang dimana bumi di pijak disitu langit di junjung, semua itu sudah hilang dari pikiran jihadis, hal tersebut berangkat dari doktrin Jihadis yang berasal dari pemikiran wahabi seperti Muhammad bin Abdul Wahab, Hamdan Ibnu Atiq, Abu Buthain, Muhammad Sahman dll yang cenderung doktrin, Jumud dan kaku.
Isu-isu seperti ini ternyata efektif untuk memisahkan masyarakat dengan jihadis, dan musuh-musuh Jihadis menggunakan isu ini untuk mengadu domba antar kelompok perlawanan agar mereka sibuk dengan musuh internal mereka dan melupakan musuh intinya, teori seperti di manfaatkan terus oleh rezim yang berkuasa saat itu seperti di Iraq, Yaman dan wilayah Waziristan, dan teori ini cukup jitu membuat perjalanan jihadis jalan di tempat.
Syaikh Abu Mus’ab As-Suriy setidaknya memberikan rambu-rambu yang cukup jelas, dengan petunjuk teknis dan pelaksanaanya dan selanjutnya Al-Qaeda mengadopsi hal ini dan menyebutkan strategi ini dengan menyebutkan dengan strategi memenangkan hati dan pikiran, dalam bukunya Dakwah muqawamah A’lamiyah Syaikh Abu Mus’ab As-Suuriy menyebutkan dengan mengatakan
أنصح الشباب وظلاب العلم بعد نصحتهم باعتقاد مذهب آهل السنة والجماعة في الاعتقاد…. انصحهم
بأن يتفقهوا علي مذهب من مذاهب يخترونه، وانصرهم – ولا سيما شباب الصحوة والجهاد- بأن يتفقهوا علي احد المذاهب السائدة في مكان إقامتهم ودعوتهم وعملهم وجهادهم، حتي يحول شذوذهم عما ألف الناس من الفقه والأحكام بينهم وبين الناس
‘’Saya nasehatkan kepada para pemuda dan para penuntut ilmu setelah menasehatkan mereka dengan keyakinan Mazhab ahlus sunnah wal Jamaah di dalam keyakinan…aku nasehatkan mereka untuk memahami kepada mazhab dari mazhab-mazhab yang di pilihnya, aku nasehatkan mereka- tidaklah di namakan pemuda kebangkitan dan jihad- untuk memahami salah satu mazhab-mazhab yang berlaku di tempat mereka tinggal, dakwah, beramal dan jihad mereka, sehingga hal tersebut mampu menjinakan manusia dengan memahami hukum-hukum di antara mereka dan manusia secara umum. selesai
Syaikh Abu Ubaidah Abdullah bin Khalid Al-’Adam salah satu tokoh dan ulama Jihad yang berada di Waziritan pada tanggal 16 Jumadil Awwal 1433 H atau sekitar tahun 2012 M, rilisan yang di keluarkan oleh Markaz Al-Fajr lil-I’lam dan Al-Fajr Centre for Media, tulisan yang berjudul Shahwat Ar-Riddah was Sabilu li-Man’iha atau Gerakan Kebangkitan Kemurtadan dan Jalan Pencegahannya pada point kedua di sebutkan agar semua mujahidin mampu untuk Berkomunikasi dengan masyarakat sesuai madzhab yang mereka pahami, dengan mengatakan sbb:
‘’Hal ini termasuk perkara yang penting dan sangat perlu dalam praktek jihad, yaitu berkomunikasi dengan masyarakat sesuai dengan madzhab yang berkembang luas, mereka pahami dan mereka ikuti di tengah mereka, memperhatikannya (menjaganya) dengan sangat serius. Terkhusus lagi apabila para pemimpin jihad dan orang-orang yang berjihad bukan berasal dari daerah setempat, alias muhajirin.
Saya masih ingat peristiwa yang saya alami pada awal-awal peperangan melawan pasukan salibis AS di Afghanistan, tepatnya di wilayah persukuan Pashtun, di mana pangkalan-pangkalan militer kami pada waktu itu tersebar luas di wilayah perbatasan Afghanistan-Pakistan. Beberapa orang mujahid lokal dari wilayah itu mendatangi saya. Mereka mengajukan kepada saya beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan masalah takfir dan beberapa masalah fiqih lainnya. Saya katakan kepada mereka, “Silahkan bertanya kepada fulan,” seorang kyai di tengah mereka. Padahal saya mengetahui jawaban atas pertanyaan mereka tersebut. Tujuan dari hal itu saya anggap sudah sangat jelas, al-hamdu lillah, tidak perlu penjelasan panjang lebar lagi, ‘’ Selesai.
Lalu kemudian Al-Qaeda wilayah Khurasan melalui tokoh dan Ulamanya yaitu Abu Maryam al-Uzdiy atau Syaikh Ahmad Abdullah Shaleh Az-Zuhraniy pada tanggal 1/7/ 1433 H atau bertepatan 30 Mei tahun 2012 mengeluarkan buku kurikulum bagi pendidikan mujahidiin di seluruh dunia dengan judul Idad Syar’i Wat Tsaqofi Lil Jihad atau persiapan ilmu syar’i dan wawasan bagi seorang Mujahid yaitu kitab yang berisi di antaranya tentang urgensinya Mazhab sebagai strategi jitu untuk mengatasi gejolak dan benturan masyarakat di mana para aktifis Jihadis tinggal, sebuah terobosan baru dan berani, karena hal itu berarti harus kompromi dengan kebiasaan keagamaan tempatan yang selama ini terlanjur di vonis Bid’ah, jahilyah, berbau syirik, bahkan Murtad.
Sehingga kebijakan ini membuat Al-Qaeda tertuduh sebagai kelompok yang beraqidah Murjiah karena tidak secara tegas mengkafirkan ziyarah kubur, tidak mengkafirkan pelaku demokrasi, dituduh mengambil pendapat lemah, selalu merinci setiap persoalan, hal ini yang membuat para aktifis jihadis saat itu terpecah menjadi dua yaitu ke ISIS dengan strategi lamanya dan ke Al-Qaeda yang mengikuti dinamika, strategi Al-Qaeda terbukti meminalisir konflik intern sesama mujahidin dan ini juga yang menyatukan Thaliban yang nota bene ber aqidah Asya’iriyyah penganut ulama Deoband dengan Al-Qaeda yang cenderung familiar dengan wahabi.
Penulis: Sofyan Tsauri, mahasiswa Universitas Al-Azhar Mesir.