Serangkaian bom di tanah kelahiran saya dengan tempat-tempat yang sangat akrab di telinga dengan segala kenangan masa kecil, plus pelaku utama yang terasa begitu dekat dengan memori masa-masa SMA-Kuliah dulu ini membuat saya tersentak bahwa ekstrimisme, radikalisme, bahkan terorisme ini sudah menjadi “Clear and Present Danger”. Ini tidak lagi sebuah film di bioskop atau berita koran yang terjadi nun jauh di negeri seberang. Ini sudah terjadi disini dan saat ini disekitar kita.
Maka kita harus menetralisir kegilaan ini sampai ke akar-akarnya. Tidak ada gunanya kita melakukan penyangkalan (denial) bahwa ini cuman rekayasa, pelakunya ndak paham islam, ini bukan bagian dari ajaran islam, ini pasti cuman adu domba, dll.
Nyatanya pelakunya masih sholat subuh berjamaah di mushola, lalu satu keluarga berpelukan sebelum mereka menyebar ke 3 gereja untuk meledakkan diri.
Nyatanya memang ada saudara-saudara kita yang memahami islam versi garis keras yang hobinya mengutip mentah-mentah ayat perang dan melupakan substansi “cinta dan kasih sayang” sebagai inti ajaran Islam.
Nyatanya memang benih-benih radikalisme, ekstrimisme ini telah ditabur 30 tahun terakhir di pikiran anak-anak muda kita, di sekolah-sekolah terbaik dan di kampus-kampus top di Indonesia. Dan kalau akhirnya mewujud menjadi tindakan nyata terorisme, mestinya tidak mengagetkan kita.
Saya yang sedang berduka,
Ahmad Faiz Zainuddin
Alumni SMA 5 Surabaya Lulusan 1995