Kekerasan di Sekolah Hingga Pesantren Meningkat 100 Persen

Guru marah pada murid - AI Canva
Guru marah pada murid - AI Canva

Kasus kekerasan di lingkungan lembaga pendidikan dasar hingga menengah meningkat signifikan pada 2024.

Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mencatat sebanyak 573 kasus kekerasan terjadi di lembaga pendidikan sepanjang 2024. Angka itu meningkat 100% dibanding 2023. Koordinator Nasional JPPI, Ubaid Matraji, mengatakan pada tahun 2020 terdapat 91 kasus.

“Angka itu lalu naik menjadi 142 kasus di 2021, 194 kasus di 2022, 285 kasus di 2023, dan tahun 2024 terdapat 400 573 kasus,” kata Ubaid, Jumat (27/12/2024).

Mayoritas kekerasan tersebut terjadi di Pulau Jawa. Provinsi Jawa Timur menjadi daerah dengan angka kekerasan paling banyak. Ubaid merinci sebanyak 81 kekerasan di lembaga pendidikan terjadi di Jawa Timur, diikuti Jawa Barat 56 kasus, Jawa Tengah 45 kasus, Banten 32 kasus, dan Jakarta 30 kasus.

“Data menunjukkan, kasus kekerasan paling banyak terjadi di sekolah (sebanyak) 64%,” katanya. “Sementara di lembaga pendidikan berbasis agama ditemukan 36% kasus kekerasan, dengan rincian di madrasah 16% dan pesantren 20%.”

Di sisi lain, Ubaid mencatat pelaku kekerasan di lingkungan lembaga pendidikan didominasi oleh tenaga pendidik alias guru sebesar 43,9%. Selain guru, kekerasan yang pelakunya peserta didik sebanyak 13,6%, tenaga kependidikan 2,5%, dan lainnya 39,8%.

“Mereka yang termasuk lainnya ini adalah petugas keamanan sekolah, orang tua, senior, geng sekolah, masyarakat, dan lain-lain. Meski guru dalam kasus kekerasan di sekolah banyak menjadi pelaku, tapi tidak sedikit pula mereka yang menjadi korban,” kata Ubaid.

Sebanyak 10,2% guru, lanjut Ubaid, menjadi korban dari kekerasan di lembaga pendidikan yang dilakukan murid, hingga orang tua. Kondisi ini menunjukkan pentingnya peran dinas-dinas yang selama ini dinilai kurang paham mengenai penanggulangan kekerasan.

Ubaid beranggapan meski Satuan Tugas (Satgas) dan Tim Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan (TPPK) sudah dibentuk, banyak diantaranya yang belum dilatih atau didampingi secara memadai. Akibatnya, meskipun sudah ada kebijakan, implementasi di lapangan seringkali terhambat. “Setelah di-SK-kan, masalah selesai begitu saja. Padahal, jika tidak ada political will yang kuat, masalah ini tidak akan pernah selesai,” katanya.

Penting bagi seluruh pihak untuk memberikan pemahaman yang jelas tentang berbagai bentuk kekerasan, seperti perundungan, kekerasan fisik, kekerasan seksual, dan kebijakan diskriminatif. Menurut Ubaid, hal ini diperlukan agar semua pihak, mulai dari satgas hingga orang tua, memiliki pemahaman yang sama tentang apa yang harus dilakukan untuk mencegah dan menanggulangi kekerasan.

Dengan melibatkan berbagai pihak, seperti komite sekolah dan organisasi siswa, Ubaid meyakini pengelolaan pendidikan bisa menjadi lebih terbuka dan inklusif. “Orang tua harus dilibatkan, begitu juga dengan masyarakat dan kepala sekolah. Ini bukan hanya urusan dinas pendidikan, tapi merupakan tugas bersama,” katanya.

Ubaid mengingatkan bahwa pendidikan di Indonesia harus dikelola secara partisipatif. Hal ini penting agar tidak hanya kepala sekolah yang bertanggung jawab penuh terhadap sekolah, tetapi juga melibatkan komite sekolah, orang tua, serta masyarakat sekitar. Ia menyarankan agar seluruh pemangku kepentingan di dunia pendidikan lebih terbuka terhadap partisipasi masyarakat, termasuk orang tua. Ia menekankan bahwa peran orang tua dalam pendidikan anak-anak mereka sangat penting dan sudah diatur dalam Undang-Undang.

“Sekolah negeri adalah aset publik. Jadi, segala kebijakan yang diambil di sekolah harus melibatkan berbagai pihak, bukan hanya kepala sekolah dan dinas pendidikan,” kata Ubaid.

Penulis: Antariksa Bumiswara

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *