Keistimewaan Kiai Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang.
Dalam buku “Berangkat dari Pesantren” KH. Saifudin Zuhri, mantan menteri agama RI asal Banyumas Jawa Tengah menulis, “dikalangan pesantren dan khususnya di kalangan NU jarang sekali orang menyebut nama KH. Hasyim Asy’ari. Sebutan yang lazim ialah Hadratusy Syaikh, artinya yang mulia tuan guru.
Hingga kini, di komunitas NU dan pesantren belum ada seorang pun yang mendapatkan kehormatan setara dengan Hadratusy Syaikh.
Penghormatan umat yang demikian besar kepada KH. Hasyim Asy’ari dapat dimengerti karena beliau memiliki keistimewaan yang luar biasa. Secara biologis, KH. Hasyim Asy’ari berasal dari titisan darah biru. Sejak dikandungan yang tidak lazim, selama 14 bulan. ketika masih di kandungan pula, ibuda KH. Hasyim Asy’ari bermimpi “aneh” rembulan menitis ke dalam kandungannya. Dalam “firasat Jawa” keduanya menunjukkan akan hadirnya generasi tokoh.
Secara intelektual, KH. Hasyim Asy’ari juga berguru kepada para kiai pesantren yang paling otoritatif baik ketika di Indonesia maupun di Makah. Di Indonesia KH. Hasyim Asy’ari pernah mengaji antara lain di pesantren Wonokoyo, Langitan, Trenggilis, Kademangan, Siwalan Sidoharjo, dan pesantren Saleh Darat Semarang. Di Makah KH. Hasyim Asy’ari berguru kepada ulama asal Indonesia maupun asli Hijaz antara lain, Syaikh Mahfudz Termas, Syaikh Nawawi Banten, Syaikh Ahmad Khatib Sambas, Syaikh Ahmad Khatib Minang (tokoh reformis dan anti-tarekat), Syaikh Ahmad Alwi Al-Attar, Sultan bin Hasyim, dan Said Yamani.
Keluasannya dalam berguru inilah yang menyebabkan KH. Hasyim Asy’ari sekembali ke Indonesia menjadi ulama kharismatik yang cukup moderat. Tidak fanatic buta kepada “ahlus sunnah” sekaligus menghormati kaum reformis. KH. Hasyim Asy’ari lebih mementingkan persatuan umat Islam dan bangsa Indonesia, dibandingkan memanaskan masalah-masalah khilafiyah (furu’).
Karena khilafiyah merupakan bawaan sejak zaman azali (sunatullah), dan yang terpenting adalah toleransi paripurna di antara umat untuk kejayaan bangsa dan agama. Latar inilah yang menyebabkan antara penganut ahlus sunnah dan wahabi sama-sama diemong oleh KH. Hasyim Asy’ari.
Kecintaan ulama paling berpengaruh di abad 20 ini kepada bangsa Indonesia sungguh luar biasa. Mulai dari pembentukan “delegasi Hijaz”, dukungannya yang besar pada organisasi pra-NU seperti Nahdlatul Wathan, Nahdlatus Subban, Taswirul Afkar, dan Nahdlatut Tujjar menunjukkan ini semua.
Fatwa Indonesia sebagai negara damai (darul sulh) yang wajib dipertahankan merupakan wujud nyata visi kebangsaan yang dalam dalam membangun pluralitas di negeri ini.
Menjelang pertempuran 10 November 1945 di Surabaya KH. Hasyim Asy’ari juga mengeluarkan fatwa Resolusi Jihad yang melegenda tersebut. KH. Hasyim Asy’ari juga pernah mengeluarkan fatwa larangan melaksanakan ibadah haji dengan kapal-kapal Belanda. Kolonialisme benar-benar menjadi musuh utama KH. Hasyim.
Wafatnya KH. Hasyim Asy’ari juga disebabkan oleh kecintaannya yang mendalam kepada bangsa Indonesia ini. Ketika seorang kurir Panglima Sudirman dan Bung Tomo mengabarkan kekalahan pasukan Indonesia atas Belanda dan sekutunya, KH. Hasyim Asy’ari tak kuat menahan tekanan, hingga membuat beliau terkena strok hingga menghadap Allah Swt pada 7 Ramadhan 1366 H (25 Juli 1947 M).
KH. Hasyim memang telah dipanggil ilahi. Beliau dimakamkan di kompleks Pesantren Tebu Ireng. Makamnya sungguh-sungguh sangat sederhana, sebelum Gus Dur dimakamkan disebelahnya. Para penerusnya tentu saja tidak cukup hanya dengan melakukan Khaul (peringatan tahunan dari kematian) dengan dzikir dan tahlil, tetapi spirit mengembangkan pendidikan pesantren, menjaga dan merawat keragaman, dan mempertahankan bangsa Indonesia sebagai negara damai (darus sulh) merupakan tauladan melebihi apapun.
Atas jasa-jasanya KH. Hasyim Asy’ari dianugerahi Pahlawan Nasional melalui Kepres No. 294/1964. Allahummagh firlahu, warhamhu wa’afihi wa’fu anhu.
Demikian tentang Keistimewaan Kiai Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang, semoga manfaat.
Penulis: Nurul Husa SA, Yogyakarta.