Oleh: KH Ahmad Labib Asrori
Sosoknya yang sedang, tidak kurus dan tidak gemuk, perempuan itu wajahnya penuh gurat perjuangan, meski sebaris senyum selalu menghiasinya. Ia seperti tumpukan dari sekian gagasan yang tak pernah habis. Ia seperti berjuta bait puisi dan lagu yang tak pernah selesai. Ia seperti telaga penuh cinta yang tak pernah kering. Ia bagai hamparan horison yang penuh sapa tak berujung.
Energi positifnya seperti tak enggan lekang oleh tubuhnya yang tak begitu kukuh, namun terus bergerak. Ia adalah mahligai, gambaran seorang anak manusia yang penuh warna, penuh gagasan, karya nyata, penuh cinta. Tangannya yang lembut selalu merangkul dan menjabat. Matanya yang teduh selalu memandang apa saja dan siapa saja dengan penuh kasih.
Ia istimewa, bukan karena sosok perempuan yang gemar bersolek, berdandan dan berpakaian glamour seperti umumnya sosialita. Ia bukan perempuan yang suka mengunggah cerita suksesnya, apalagi menebar foto-foto aktifitasnya. Ia sungguh perempuan yang utuh, membangun kemuliaan tidak sekedar dengan memanfaatkan kemuliaan orang tua dan nenek moyangnya. Ia merintis dari nol segala yang sampai hari ini direngkuhnya.
Ia memilih mengukir prestasi dengan kerja cerdas dan kerasnya, tak sekedar mengandalkan “keramat gandul” dari suaminya yang kyai itu atau orang tua dan nenek moyangnya yang memang terdiri dari para kyai dan nyai itu. Ia adalah pribadi yang meyakini prinsip:
خير الناس من له شرف قديم واقام لنفسه شرفا جديدا
“Manusia terbaik adalah orang yang memilki kejayaan/kemuliaan masa lalu (yang dibangun nenek moyangnya) dan mampu membangun sendiri kejayaan/kemuliaannya yang baru.”
Ia inspirasi dari banyak orang, tak hanya dari kalangan kaumnya sendiri. Ia adalah penggagas, penggerak, pelaku dan pejuang yang bekerja nyata, kongkrit. Ia tak sekedar suka berteriak dengan orasi dan diplomasinya, tetapi ia juga membuktikan bahwa ia bisa melakukan semua gagasannya. Tak sedikit aktifitas besar di lingkungannya yang lahir dari ide dan langkahnya. Ia bahkan bisa menjadi komandan lintas gender yang bergerak cepat. Banyak yang harus terengah-engah mengikuti langkahnya yang cepat dan progressif.
Baca Juga: Kisah Perjuangan Ibu Nyai Sintho’ Magelang dalam Menghafal al-Qur’an
Ia perempuan desa yang lugu, perempuan yang tak suka dengan pola hidup hedonis seperti umumnya perempuan masa kini. Tetapi ia juga seorang yang tak rela bila kaum perempuan termarginalkan. Ia aktif sebagai penggerak dan pelaku gerakan gender mainstreaming. Ia tampil bak legislator yang berapi-api bila bicara tentang kesetaraan gender. Meski ia tetap menjaga perannya sebagai seorang istri yang harus taat pada suami. Ia berjuang tanpa harus duduk di kursi parlemen dengan fasilitas dan gaji selangit. Ia hanya butuh ruang utk menyuarakan aspirasi kaumnya. Aktifitasnya bahkan sudah pada level nasional, meski tetap dengan kebersahajaannya sebagai warga dusun Kedunglumpang Salaman Magelang.
Ia adalah lukisan yang memadukan seluruh komposisi warna dan membentuk harmoni indah. Bahkan ia lukisan dengan empat dimensi dan lagu serta liriknya yang dinyanyikan dengan iringin orkestra megah. Coba lihatlah, ia seorang istri dari suami yang sangat mencintainya, ia seorang ibu dari lima anak-anaknya yang sangat mencintai dan menghormatinya, seorang pengasuh pesantren yang sangat dimuliakan dan dirindukan santri dan alumninya, seorang aktifis beberapa organisasi, seorang muballighoh yang sangat didambakan umatnya, seorang penghapal Al-Qur’an, seorang yang berpuasa setiap hari selama puluhan tahun, seorang pengajar pesantren, seorang pengasuh santri-santri tua (santri S3 atau Santri Sampun Sepuh), seorang perempuan yang masih berbisnis utk menopang kehidupannya, seorang ibu bagi banyak orang di sekitarnya, seorang perempuan yang sangat ringan utk bersilaturrahim, seorang perempuan tak henti menyapa seluruh tamunya, bahkan menjamu mereka dengan tangannya sendiri.
Ia sungguh perempuan yang unik dan eksotik. Ia bisa sangat jenaka, baik dalam keseharian maupun saat beceramah, tapi dalam sekejap ia bisa menangis tersedu saat membicarakan atau mendengar penderitaan sesama, lalu bisa tiba-tiba sangat berapi-api bila membahas gagasan-gagasan besarnya, lalu bicara dengan penuh kedalaman dan seksama tentang keharusan dan tata cara menjalani ibadah kepada Allah. Ia sangat bisa membuat orang terpingkal, gembira, terharu, bersemangat dan tertunduk khusyu’.
Ia juga kakak yang bijak bagi tujuh orang adik-adiknya yang sangat menyayangi, mencintai dan selalu merindukannya. Ia juga seorang sahabat yang mampu menghidupkan suasana kekeluargaan yang indah bagi teman, santri, masyarakat dan keluarganya.
Ia selalu yakin bahwa segala capaian sukses itu harus ditempuh dengan proses dan perjuangan yang panjang. Pesantren Putri Al-Hidayat yang diasuhnya adalah hasil kerja keras yang dilaluinya puluhan tahun. Fatayat, Muslimat, NU, PAUD dan TK Az-Zahra, SMP Al-Hidayat dan banyak prasasti lain yang dapat dijadikan prasasti atas perjuangan dan kerja nyatanya.
Hal-hal yang mungkin tidak banyak orang yang tahu adalah beberapa keistimewaannya berikut ini:
- Ia selalu berpuasa selama mengandung putra-putrinya. Bahkan pada usia kehamilan empat dan tujuh bulan, ia puasa bicara selama seminggu, mulutnya hanya digunakan untuk membaca Al-Qur’an hingga khatam, berdzikir dan bersholawat. Ini adalah usahanya memohon kepada Allah agar anak yang dikandungnya menjadi manusia-manusia solih solihah, hebat dan bermanfaat.
- Ia berpuasa setiap hari selama puluhan tahun.
- Ia mulai menghapalkan Al-Qur’an saat ia sudah mengasuh pesantren, pengurus Fatayat NU, menjadi muballighoh dan memiliki anak. Dan ia berjuang menghapalkan sampai khatam selama kurang lebih 12 tahun. Perjuangan yang luar biasa.
- Ia selalu menolong orang yang meminta bantuannya hingga tuntas dengan segala kemampuan yang dimilikinya, moral, material, hingga spiritual.
- Ia tidak akan pernah berhenti memperjuangkan gagasan, ide, kemauan dan prinsipnya sebelum mencapai hasil.
- Ia berusaha menjamu seluruh tamunya dengan tangannya sendiri.
- Ia lebih memilih naik sepeda saat berdakwah, meski ada mobil di rumahnya.
- Ia akan berikan uang dan barang yang dimilikinya kepada orang yang sangat membutuhkannya.
- KH. Mustofa Bisri lebih memilih memanggilnya Kyai daripada Nyai. Karena peran dan aktifitasnya melebihi seorang kyai sekalipun.
- Ia adalah Kakakku, Ibuku, sahabatku, Cintaku: IBU NYAI HJ. SINTHO’ NABILAH ASRORI
Saat ini ia terbaring sakit tak berdaya. Semoga Allah dengan kehendak dan kuasa-Nya yang Maha Tak Berbatas segera memberikan kesembuhan, pulih seperti sedia kala. Amiiin
اللهم يا رب الناس اذهب البأس واشف مرضها اللهم انت الشافى لا شفاء الا شفاءك شفاء عاجلا شفاء لا يغادر سقما ولا الما برحمتك يا ارحم الراحمين. امين يا رب العالمين
Mbak Sint, aku kangen guyon lan pangandikan panjenengan .
I love You Mbakyuku tercinta.