Kegigihan Mbah Manab, Pendiri Pesantren Lirboyo Kediri

Kegigihan Mbah Manab, Pendiri Pesantren Lirboyo Kediri

Kegigihan Mbah Manab, Pendiri Pesantren Lirboyo Kediri.

Pada 21 Ramadan 1374 H, 67 tahun silam, tepat pukul 13.30, Mbah Manab alias KH. Abdul Karim kembali keharibaan Allah SWT. Ada sejumlah suri tauladan yang patut untuk dikenang dari beliau.

Manab merupakan nama semasa kecilnya. Ia lahir pada 1856 M di Desa Diangan, Mertoyudan, Magelang. Orang tuanya bernama Abdurrahman dan Salamah. Keduanya hanyalah petani dan pedagang kecil. Bukan keluarga yang terpandang.

Sejak belia, Manab rajin membantu orang tuanya. Lebih-lebih ketika sang ayah meninggal saat usia anak-anaknya masih kanak-kanak. Manab, anak ketiga dari empat bersaudara itu, pun semakin rajin membantu ibunya. Baik berdagang atau mencarikan rumput untuk kuda peninggalan bapaknya.

Setelah sang ibu kembali menikah, Manab berkeinginan untuk nyantri. Ia ikut kakaknya, Aliman, mengembara ke Jawa Timur. Yang pertama kali dituju adalah Pesantren Babadan di Gurah, Kediri. Lalu, dilanjutkan ke Pesantren Cepoko, Nganjuk. Di tempat yang terakhir ini, 6 tahun lamanya.

Setelah dari Nganjuk, petualang Manab berlanjut ke Pesantren Trayang, Bangsri, Kertosono. Di sini, ia menekuni al-Quran. Tak kurang 7 tahun lamanya. Kemudian lanjut ke Pesantren Sono, Sidoarjo untuk memperdalam ilmu alat. Di sini juga menghabiskan waktu 7 tahun lamanya.

Nama Syaikhona Kholil dari Bangkalan membuat Manab kepincut untuk menjadi santrinya. Setelah dirasa cukup mempunyai dasar-dasar keilmuan, Manab memberanikan diri nyantri di Bangkalan yang terkenal dengan kajian kitab Alfiyah karya Ibnu Malik itu.

Di Bangkalan ini, Manab benar-benar mendedikasikan dirinya untuk ilmu.

Ia tak terlalu memikirkan sandang dan pangannya. Sempat, ia hanya memiliki sepotong baju. Makannya pun hanya buah pace masam yang tumbuh di areal pesantren. Tak ada uang untuk membeli beras.

23 tahun lamanya Manab belajar kepada Kyai Kholil. Hingga akhirnya, kyai yang dikenal sebagai waliyullah itu, berujar kepada Manab.

“Nab, balio… Ilmu ku wis entek.”

(Manab, pulanglah. Ilmu ku sudah habis)

Sejatinya Manab masih haus dengan ilmu. Namun, karena gurunya sudah berkata, Manab pun tak kuasa membantah. Manab pulang dari Bangkalan. Namun, tidak ke rumahnya. Ia kembali nyantri di Tebuireng, Jombang. Di sana terdapat kawannya semasa di Bangkalan yang membuka pesantren.

Pesantren di Tebuireng itu tersohor dengan ilmu haditsnya. Manab yang usianya sudah kepala empat itu, memantapkan diri untuk nyantri kepada kawannya yang tidak lain adalah Hadratus-Syaikh KH. Hasyim Asy’ari. Tidak kurang dari lima tahun lamanya, ia belajar di sini.

Melihat usia Kyai Manab yang cukup sepuh dan tak kunjung menikah, Kyai Hasyim berinisiatif untuk menjodohkannya dengam anak sahabatnya, Kyai Sholeh dari Banjar Melati, Kediri.

Kyai Manab lantas di nikahkan dengan Khadijah alias Nyai Dhomroh yang saat itu, usianya masih 15 tahun. Lantas oleh mertuanya, pasangan ini di berikan rumah di kawasan Lirboyo. Di rumah inilah, kelak menjadi cikal bakal Pesantren Lirboyo.

Dari sebuah surau berubah menjadi masjid, lantas menjadi pesantren. Dari satu dua santrinya, hingga beribu-ribu jumlahnya. Selama itu, Kyai Manab fokus mengajar saja. Untuk keperluan rumah tangganya, semua di tanggung istrinya yang merupakan pedagang yang tekun.

Sepulang dari menunaikan ibadah haji untuk kedua kalinya sekitar tahun 1952, kondisi fisik Mbah Manab sering kali sakit-sakitan. Usianya yang demikian sepuh, bahkan membuatnya mengalami kelumpuhan. Syaraf di kakinya mengalami sakit.

Memasuki Ramadan 1374 H/ sekitar 1954, kondisi kesehatan Mbah Manab kritis. Beliau tidak lagi bisa memberi pengajian ataupun mengimami salat.

Dalam kondisi demikian, tiap kali ada orang yang menjenguk, beliau selalu meminta doa yang membuat hati orang yang mendengarnya pilu.

“Aku dungakno mati iman lan di akoni santrine Kyai Kholil, sebab olehku golek ilmu awit durung baligh,” pinta Mbah Manab.

Artinya kurang lebih: “Aku doakan semoga meninggal dalam keadaan iman dan diakui sebagai santrinya Kyai Kholil, sebab olehku mencari ilmu sejak belum baligh.”

Sekira 13.30 WIB, Senin, 21 Ramadan 1374 H, 67 tahun silam, beliau berpulang ke Rahmatullah. Permohonan doanya Mbah Manab pun terkabul. Setidaknya hal tersebut terlihat dari pesantrennya yang semakin besar. Berkah.

Waba’du, ilaa KH. Abdul Karim Allahuyarham, Al-Fatihah….

Demikian kisah Kegigihan Mbah Manab, Pendiri Pesantren Lirboyo Kediri.

NB: Dari buku lawas ini, ulasan ini disarikan. Juga didukung oleh sejumlah referensi yang lain. Mbah Manab merupakan sosok sederhana. Bahkan, ia tak pernah berkenan di foto. Satu-satunya hanya foto ini yang dibuat untuk keperluan paspor saat naik haji. Selebihnya tidak ada. Konon, foto ini sempat hilang sebelum ditemukan di sela kitab bekas yang dibeli oleh seorang santri.

(komunitas pegon)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *