Ulil Abshar Abdalla walau kapasitas keilmuannya diakui, selalu menolak undangan berdebat di depan publik. Bahkan tampil di forum se-ngehits Indonesia Lawyers Club (ILC) pun dia tak pernah mau. Undangan tampil selalu ditolaknya.
Padahal dia sangat kompeten misalnya di isu-isu pluralisme, dialog antar agama, dan sejenisnya. Barisan kaum pluralis tentu akan lebih “terwakili” jika yang tampil di ILC Ulil dibanding Abu Janda, misalnya.
Tapi ya begitulah, dia tak pernah mau. Atau lebih tepatnya “belum” pernah bersedia memenuhi undangan forum-forum debat semacam itu. Mengapa?
Kalau alasan “mengapa”-nya saya sudah tahu lama. Ulil orang yang lebih suka berdialog daripada berdebat. Beda keduanya terletak pada motivasinya. Dialog adalah kegiatan mencari titik temu sedangkan debat niatnya saling menjatuhkan. “Harus ada yang kalah dalam debat. Dan itu bagi saya tidak menarik,” jelasnya tempo hari saat bertemu di salah satu rumah makan Padang di Jakarta.
Penjelasan inilah yang malatarbelakangi mengapa ia mengkritik model dakwah Dr Zakir Naik yang berformat debat. Dia lebih memilih mendialogkan materi-materi keagamaan dibanding memperdebatkannya. Dalam pandangan Ulil debat menghasilkan “kesadaran instan” sementara dialog membangun pemahaman yang lebih kokoh.
Ini tentu bukan proses yang tiba-tiba. Ulil muda dikenal jago debat. Di forum-forum ilmiah, baik skala besar atau kecil, dia biasa tampil garang dengan argumentasi-argumentasi cadas khas anak muda liberal. Ulil memang tumbuh di kalangan seperti itu. Dia satu dari sedikit anak muda NU yang beruntung “digembleng langsung” Gus Dur dan menikmati “privilege” bacaan-bacaan bermutu yang disuplai mantan Ketua Umum PBNU itu. Yang terakhir ini biasanya bersumber dari jaringan PSI (Partai Sosialis Indonesia) macam Marsilam Sumanjuntak, Sjahrir, Rahman Tolleng, Bondan Gunawan, Goenawan Mohammad, dll. Nama terakhir belakangan menjadi “mentor” Ulil.
“Orang-orang PSI, kita tahu, punya jaringan internasional. Jika ada buku-buku keren berbahasa Inggris mereka orang pertama yang punya. Melaui Gus Dur kami mendapatkan foto copiannya, hahaha,” kenang Ulil.
Nah, dengan referensi itu (selain sumber-sumber bacaan lain yang kaya) Ulil percaya diri tampil di forum-forum “debat”. Ditopang profile-nya sebagai pemikir muda Islam “tak kenal kompromi” dia pun berkibar sebagai salah satu sosok terdepan dalam tema-tema progresifisme Islam.
Tapi itu dullu. Kini dia berubah 180 derajat. Entah karena faktor usia (sudah kepala lima) atau buah dari perjalanan hidupnya.
“Mas, oke-lah jenengan tak suka debat karena ndak mau menjatuhkan orang, atau menolak ‘okol-okolan’, tapi bukankah wacana harus kita menangkan? Jika orang-orang seperti jenengan menolak tampil, maka lihatlah filosof macam Rocky Gerung yang merajarela,” protesku.
Dan Ulil hanya tersenyum.
Penulis: Abdul Arif.