Al-Furqan 70 – “….orang-orang yang bertaubat, beriman, dan mengerjakan amal baik, maka kejahatan (kedzaliman) mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Mustahil kita ini, tanpa kecuali, steril dari silap, khilaf, salah, dan dosa. Mustahil iman kita terus menjulang bagai karang kokoh di tengah lautan tanpa sedikit pun pernah goyah dan gamang.
Mustahil, menurut mata kita. Karena semua kita bukan manusia yang ma’shum.
Jadi, umpama di suatu masa kita terjatuh pada suatu maksiat, dosa, salah, dan kemungkaran, itu sejatinya adalah “hal alamiah” belaka. Akui sajalah bahwa kita telah bersalah, telah berdosa.
Pengakuan diri ini menjadi sangat penting dalam maksud untuk menghindarkan diri kita dari kesilapan dan keburukan berikutnya, yakni kesombongan, keangkuhan, dan kebebalan. Sudahlah nyata bersalah dan berdosa, jangan lagi ditambahi dengan kebebalan.
Kita membutuhkan pengakuan tersebut untuk mendidik hati kita agar memiliki rasa malu, lalu sesal, dan berikutnya motivasi besar untuk tak lagi mengulanginya.
Fase mengakui ini terlihat jelas menjadi pintu pertama bagi jalan taubat kita.
Lalu dengan taubat yang dijalankan dengan landasan pengakuan, malu, dan penyesalan itu, niscaya kita akan berpindah dari titik buruk menuju titik baik. Logis bila melalui taubatlah kita akan kemudian menuai kebaikan-kebaikan dan terus demikian sehingga oleh Allah Swt digantilah kita yang buruk dengan kita yang berkebaikan.
Jika pertaubatan ini terus kita jalankan, lalu menjelma suatu habit dalam hidup kita, dengan sendirinya kita lebih dekat dan intim dengan laku-laku kebaikan dibanding keburukannya.
Allah Swt yang Maha Welas Asih berkenan melupakan dan menghapuskan semua salah, khilaf, dan dosa di masa lalu, menggantinya dengan kebaikan-kebaikan.
Untuk mengecek derajat diri masing-masing, logis saja bila kita menjadikan produksi kebaikan-kebaikan yang kita lakukan sebagai parameternya. Bahwa Allah Swt hanya bersama orang-orang yang berbuat baik, kasih, dan mulia. Seberapa kita bersama Allah Swt, kiranya parameter itu secara lahiriah bisa menjawabnya. InnalLaha ma’al muhsinin.
Wallahu a’lam bish shawab.
Penulis: KH Dr Edi Mulyono, wakil ketua LTN PWNU DIY.