Karena Kondisi Corona, Bolehkan Perempuan Jadi Imam Tarawih?
Perdebatan kebolehan perempuan menjadi imam shalat adalah perdebatan klasik, namun terus terbincangkan dalam momen momen khusus. Seperti yang terjadi pada kawan saya. Anak lelakinya yang menginjak balig baru pulang dari pesantren, dan kemudian ibunya yang telah mengeyam pendidikan tinggi, dan telah melalui pahit manisnya kehidupan, menjadikan putranya sebagai imam tarawih dalam keluarga.
Ini keluarga yang patuh pada kebijakan negara, sebaiknya dalam situasi covid 19, shalat tarawih di rumah saja.
Saya yakin, sang ibu ini pasti lebih bisa memaknai shalat tarawihnya, ketimbang putranya. Namun ia harus menyerahkan tugas imam kepada putranya hanya karena ia laki laki. Sebab konon, perempuan tidak boleh menjadi imam shalat bagi laki laki.
Di masa Nabi, banyak perempuan perempuan yang ditunjuk oleh Nabi untuk menjadi imam bagi sesama jamaah perempuan, baik shalat fardhu maupun shalat sunnah. Sebutlah misalnya Aisyah ra, Ummi Waraqah, Ummu Salamah, dll, (baca: al ausad fi as sunan wa al astar..). Hampir mayoritas ulama berpandangan seperti ini ini, Sufyan ast tsauri, asy Syabiy, Atha’, Mujahid, al Hasan, al Auza’i dll. Ada juga ulama yang melarangnya hatta menjadi imam bagi jamaah perempuan.
Beberapa ulama seperti imam Atha’, Mujahid, Abu tsaur, Ishaq bin Rahwaih juga membolehkan perempuan menjadi imam tarawih bagi jamaah perempuan, bahkan dianjurkan (sunnah).
Bagaimana kalau menjadi “imam tarawih” bagi laki laki?
Tidak ada dalil yang secara terang benderang melarangnya. Ketiadaan dalil yang terang benderang (qhath’iyyah dalalah) inilah yang menyebabkan lahirnya perbedaan dikalangan ulama. Dalam kitab ihtilaful a’immah al ulama’ dikatakan bahwa imam Ahmad Bin Hambal, membolehkan perempuan menjadi Imam Tarawih bagi laki laki, dengan syarat ia berada dibelakang makmum. Nah ini fiqih yang agak lucu, karena imam berada dibelakang makmum. Tetapi menjadi masuk akal juga jika dianalogkan dengan pengemudi becak atau kereta tertentu dimana sang pengemudi sebagai imam berada di belakang penumpang.
Dalam kitab al ma’ani al badi’ah bahkan dikatakan bahwa Imam Ahmad tidak sendirian.
Al Muzanny, Abi Tsaur, Muhammad bin Jarir at Thabari, menyatakan bahwa perempuan boleh menjadi Imam Tarawih bagi jamaah laki laki, jika tidak ada jamaah laki laki yang lebih baik bacaannya. Namun tetap dengan syarat Imam perempuan berdiri di belakang makmum laki laki.
Kalau menurut saya (mohon maaf), pandangan ini adalah ijtihadi. Artinya, seandainya ada pandangan yang menyatakan bahwa perempuan yang menjadi imam tarawih berdiri di depan laki laki, juga tidak salah, sebab imam memang selayaknya di depan.
La kalau berdiri di depan jama’ah laki laki, bagaimana kalau makmumnya bersyahwat?
Ah masak, ada makmum yang bersyahwat hanya karena melihat imamnya perempuan? Kan dalam ibadah kepada Allah, masak bersyahwat. Ya kalau dalam menjalankan ibadah saja masih bersyahwat, ya “cara pandangnya” itu yang harus diubah. Bahasa kasarnya otak dan hatinya perlu dibersihkan dulu.
Ya itulah fiqih. Memang Fiqih itu bagaikan lautan yang tidak bertepi. Biarkan setiap orang menciduk lautan fiqih dari setiap tepi pantai syari’ah dimana ia berada.
Dalam situasi Covid 19, mungkin perlu dicoba pandangan Ahmad bin Hambal, ibnu Jarir, Imam Atha’ ini, siapa tahu justru menjadi pengharmonis keluarga dengan memberikan ruang kesetraan kepada seluruh anggota keluarga. Kalau tidak berani, ya setidaknya menjadi pengetahuan bersama.
Situbondo, 03-05-2020.
Demikian Karena Kondisi Corona, Bolehkan Perempuan Jadi Imam Tarawih?. Semoga Bermanfaat.
Penulis: KH Imam Nakha’i, dosen Ma’had Aly Pesantren Salafiyah Syafi’iyyah Sukorejo Situbondo.