Oleh: Joko Wahyono, Santri dan Kolumnis Alumni UIN Sunan Kalijaga
Sejak dulu kala, umat Islam sudah akrab dengan lautan. Bahkan sejarah mencatat tokoh-tokoh muslim sudah menjadi seorang penakluk lautan berabad-abad lamanya. Sebut saja nama Ibnu Batuta dan Cheng Ho. Mereka adalah tokoh muslim yang sudah menggetarkan peradaban maritim pada masanya. Jejaknya hingga kini masih bisa dirasakan. Di Nusantara sendiri, ada nama Pati Unus, Raja Kedua Demak yang mampu membuat ciut nyali Bangsa Portugis di Selat Malaka.
Ibnu Battuta, Penjelajah Muslim Abad ke-14
Ibnu Battuta adalah seorang penjelajah Muslim Abad ke-14. Ia lahir di kota Tangiers, Maroko tahun 1304. Ibnu Battuta awalnya adalah seorang teolog, sastrawan dan cendekiawan. Hatinya tergerak untuk memulai penjelajahan setelah ia melakukan perjalanan haji untuk kali pertama. Penjelajahan Ibnu Battuta meliputi Spanyol, Rusia, Turki, Persia, India, dan Cina.
Ibnu Battuta menghadirkan vista (pemandangan) utuh dunia Islam abad ke-14. Saat itu Islam merentang dari laut Atlantik sampai China, dari ujung Selat Bosphorus hingga Samudera Hindia, dari Jalur Sutera China hingga Aceh, Laut Tengah, Laut Mediteranian, Maroko, dan Spanyol.Perjalanan Ibnu Battuta bukan seperti pedagang dengan motivasi ekonomi. Lebih dari itu. Ia selain berguru kepada para ulama juga diminta oleh para penguasa setempat untuk menjadi ulama, guru,qadhi, atau hakim.
Tak heran jika ia dijuluki The Wandering Scholar atau sarjana (ulama) pengelana. Ibnu Battuta juga selalu mendeskripsikan kondisi spiritual, politik, budaya, dan sosial dari setiap negeri yang disinggahinya. Ia merekam wajah peradaban Timur Tengah pada abad pertengahan.Sejarawan Barat, George Sarton mengagumi jarak sejauh 73.000 mil melalui lautan dan daratan yang dilakukan Ibnu Battuta.
Ahli sejarah lainnya seperti Brockellman menyejajarkan namanya dengan Marcopolo, Hsien Tsieng, Drake dan Magellan. Sayangnya, penjelajahan Ibnu Battuta baru diketahui Barat setelah 300 tahun kemudian. Kitabnya, Rihla ditemukan di Alajazair. Marco Polo mendiktekan pengalaman perjalanannya tahun 1296 dan menyebar hingga ke Eropa pada abad ke-15. Jika saja Ibnu Battuta memperoleh publisitas yang sama, namanya pasti sejajar, bahkan melebihi Marcopolo sebagai seorang penjelajah dunia.
Cheng Ho, Panglima Perang dan Penjelajah Muslim dari Cina
Admiral Zheng He atau lebih dikenal dengan nama Cheng Ho, Hanyu Pinyin, Zhèng Hé (Wade-Giles) atau Haji Mahmud Sam Po Kong (1371-1435). Ia merupakan seorang kasim Muslim, pelaut sekaligus penjelajah Cina terkenal yang melakukan beberapa penjelajahan antara 1405-1433, saat kaisar Tiongkok Yongle (berkuasa tahun 1403-1424) sebagai kaisar ketiga dari Dinasti Ming.
Ia berasal dari Provinsi Yunnan, bersuku Hui, tapi beragama Islam. Pertama kali Cheng Ho berlayar ke Malaka pada abad ke-15. Cheng Ho melakukan satu ekspedisi lagi pada masa kekuasaan Kaisar Xuande (1426-1435) ke beberapa daerah dan negara di Asia dan Afrika, di antaranya Vietnam, Taiwan, Malaka (bagian dari Malaysia), Sumatra (bagian dari Indonesia), Jawa (bagian dari Indonesia), Sri Lanka, India bagian Selatan, Persia, Teluk Persia, Arab, Laut Merah, ke utara hingga Mesir, Afrika, ke selatan hingga Selat Mozambik.
Kehadiran Cheng Ho di Indonesia telah memunculkan wacana baru studi Keislaman Indonesia. Cheng Ho berperan besar dalam pergolakan politik kerajaan-kerajaan di Jawa. Setidaknya, Cheng Ho berperan dalam membangun kerajaan Islam Demak pada tahun 1475, serta memiliki andil besar dalam keruntuhan Majapahit.Cheng Ho juga dikenal sangat peduli dengan masjid. Tahun 1413, dia merenovasi Masjid Qinging (timur laut Kabupaten Xian). Tahun 1430, ia memugar Masjid San San di Nanjing yang rusak karena terbakar.
Konon, pada ekspedisi terakhir (1431-1433), ia sempat menunaikan ibadah haji sebagai pelengkap menjadi seorang Muslim sejati. Sebagai seorang Muslim, Cheng Ho juga selalu mengandalkan diplomasi damai dalam setiap pelayarannya. Hamka mengatakan, ”senjata alat pembunuh tidak banyak dalam kapal itu, yang banyak adalah “senjata akal budi” yang akan dipersembahkan kepada raja-raja yang diziarahi.”
Laksamana Cheng Ho meninggal pada 1435 dalam perjalanan pulang dari Afrika Timur ke Cina. Ia dimakamkan di Niushou, Nanking (Nanjing). Ia kemudian menjadi peletak dasar orang-orang Cina ikut “bermain” dalam pemerintahan di kerajaan-kerajaan Jawa. (bersambung)