Saya orang bodoh, Santri Ndeso, minim wawasan, dulu ngaji di pesantren cuma kitab supinah (Safiinatunnajat). Itu saja yang saya ingat cuma bab mujiibatul ghusli tsalaatsatu asyyaa, yang mewajibkan mandi ada tiga perkara, ini bab paling berkesan.
Ketika dengar orang menggunjing. Kenapa ya ada haji kok ngapusi?. Haji kok korupsi?… Haji kok sholatnya nggak bener, kok sombong, kok pelit, kok serakah. Haji kok selingkuh dan kenapa-kenapa lainnya yang negatif.
Dengan segala keterbatasan saya mencoba mencari jawabannya. Jangan-jangan Haji yang tidak ngefek itu karena kealpaan ketika mengikuti bimbingan manasik yang banyak diselenggarakan oleh KBIH, yang saat ini (Th 2017) hampir ada di setiap kampung.
Ketika calon haji (Calhaj) masuk KBIH, mereka akan mendapat bimbingan tata cara (Manasik) thowaf dengan doa-doanya. Tata cara sa’i, wukuf dan melempar jamroh atau jumroh plus doa yang dibaca dan seterusnya.
Kemudian bimbingan petunjuk yang bersifat tehnis berkaitan dengan prosesi selama menunaikan ibadah haji.
Manasik itu penting, karena itu berkaitan dengan sah tidaknya haji menurut syariat fikih. Namun, maqoosid (tujuan, output, goal) dari syariat itu sendiri juga perlu dipelajari, difahami kemudian diamalkan (hikmatuttasyri’ atau asroorussyariat-nya).
Semisal kenapa haji diletakkan rukun Islam yang terakhir?. Kenapa thowaf harus muter 7 kali kembali ke tempat semula?. Apa maksud sa’i?. Apa maksud wukuf?. Kenapa pakaian ihrom harus putih?. Apa maksud melempar syetan padahal syetan nya tidak kelihatan?, dan sebagainya.
Kenapa-kenapa itulah yang dalam bimbingan haji minim dijelaskan dan Calhaj sendiri belum memahami.
Setahuku, rukun Islam dari syahadat sampai haji itu mengandung hikmah syariat bahwa Islam itu berjenjang dan bertahap. Dari syahadat yang cukup dengan lisan. Terus sholat yang tidak hanya lisan tapi juga tenaga waktu. Lantas puasa yang butuh pengorbanan fisik dan mental. Dilanjutkan zakat yang harus korban materi.
Maka haji itu mencakup semuanya. Ya lisan, tenaga, fisik mental dan materi harta.
Tidaklah berlebihan orang yang sudah haji. Kemudian dianggap menjadi orang yang lengkap atau mendekati sempurna Islam-nya.
Ia dituntut bisa menjadi uswah teladan bagi orang lain. Tidak boleh begini, tidak pantas begitu dan seterusnya.
Sehingga ketika orang memutuskan naik haji, maka tuntutan itu harus disadari sebelumnya. Jangan hanya mau predikat hajinya saja, berat memang.
Maksud filosofi hikmah thowaf dari jumlah 7, antara lain mengingatkan jumlah hari yang 7 harus terisi full ingat kepada Sang Pencipta. Tidak boleh ada yang blank kosong untuk beribadah mengingat kepada-Nya.
Kenapa thowaf harus kembali dari tempat semula kemudian muter lagi?. Bahwa beribadah kepada Allah tidak ada titik ending-nya selesainya. Orang harus selalu merasa zero (kosong) deposit pahalanya. Ia belum merasa melakukan apa-apa, harus terus bergerak untuk mendekatkan diri kepada Rob-nya.
Bukanlah thowaf juga ada ‘ibroh gambaran, pulang haji tidak boleh merasa menjadi super’ abid atau hamba yang super. Sudah full pahala. Sudah pasti akan masuk surga dan seterusnya.
Ia harus muter nengok syahadatnya, yang berisi keimanan. Apakah imannya sudah benar dan Kuat?. Tengok kembali sholatnya apakah sudah baik dan benar?. Tengok puasanya, apakah ia sudah tambah sabar bisa mengendalikan emosi dan syahwat?. Ingat zakatnya. Apakah ia masih materialistik dan duit oriented. Apakah ia sudah tidak pelit?.
Itulah antara lain maqoosid dari thowaf yang para calon haji belum mendapat penjelasan dan bimbingan pemahaman.
Ketika sa’i, apakah ia sudah berusaha (sa’i) maksimal untuk bertanggung jawab terhadap keluarga?. Menjadi seorang bapak yang baik, seorang ibu teladan dalam rumah tangga dan seterusnya.
Ketika wukuf, apakah ia sadar tentang keberadaan diri manusia yang sangat kecil tidak berarti terhadap Sang Pencipta yang Maha Besar. Semua orang berpakaian putih yang melambangkan nilai-nilai persamaan dan persaudaraan. Tidak ada kesombongan antar sesama.
Tidak ada sesama muslim yang merasa dirinya paling benar, paling sesuai dengan Quran-Hadist. Paling sunnah Rosul, paling Islam, saaking Islam-nya.
Tidak banyak jamaah haji ketika melempar jamroh. Memahami hikmahnya bahwa itu adalah simbol bahwa manusia harus selalu waspada terhadap godaan syaitan yang 24 jam selalu berusaha menjerumuskan manusia kapanpun dan dimanapun.
Jangan menganggap kalau sudah haji maka syetan akan lari menjauh dan tidak akan menggoda orang yang sudah haji (baca; pulang haji bawa oleh-oleh syetan ).
Hal-hal di atas dalam KBIH atau bimbingan haji jarang dibicarakan, selain manasik haji.
Bahkan menurutku, maaf barangkali salah, KBIH dengan “bendera” dan “nawaitu” masing-masing walaupun mengklaim membimbing sesuai dengan sunnah Rosul, tetapi justru mengurangi salah satu maqoosid haji yang sebenarnya yakni Muktamar Sanawi. Muktamar tahunan bagi Umat Islam untuk menjalin Ukhuwah Islamiyyah. Persaudaraan sesama muslim.
Namun dalam realitanya, Calhaj sudah terkotak kotak dan “dikotak-kotak” dalam KBIH masing-masing. Baik sebelum berangkat atau sesudah pulang Haji.
Ini seakan akan sudah ter doktrin, antar jamaah yang beda KBIH seolah olah tidak mengenal atau bukan saudara. Bahkan ketika pulang di tanah air. Mereka juga kumpulnya dalam Pengajian Pasca Haji hanya mengelompok dengan KBIH masing-masing.
Bukankah tujuan haji antara lain membuka cakrawala persaudaraan sesama Muslim secara Universal?
Kalau seperti itu, tidakkah lebih baik bimbingan haji dikembalikan ke otoritas Pemerintah yang bisa mengayomi semua kelompok dan golongan?. Toh sebenarnya biaya untuk bimbingan haji sudah masuk dalam salah satu item biaya ONH yang sudah dibayar oleh Calhaj.
Sehingga nantinya setiap jamaah haji Indonesia berangkat dan pulang haji dalam suasana persaudaraan yang lebih erat dan akrab.
Maaf, khawatir saya nulis ngelantur membosankan dan tidak bermutu. Akhirnya saya cuma bisa introspeksi diri, jangan-jangan Hajiku kemarin juga masih kelas “haji manasik”. Jauh dari mabrur, paling cuma haji mabur, alias terbang melayang yang tidak membuat peningkatan kualitas dalam hidup saya sebagai seorang Muslim yang sudah dipanggil Pak Haji.
Krapyak 30 Juli 2017 Masehi
Penulis: KH Henry Sutopo, Krapyak Yogyakarta.
*Tulisan ini dari Buku Catatan Seorang Santri karya KH Henry Sutopo hal. 308)