Jangan Hanya Mengaji Pada Ustadz Televisi

Oleh : Dwi Khoirotun Nisa, Dosen STAI Attanwir Bojonegoro

Judul itu bukan kata-kata saya, tapi pesan yang disampaikan oleh al-Habib Prof. Dr. Said Agil Husin Al-Munawar empat tahun lalu (2013) saat saya mengikuti acara PWNU DIY di SDNU Yogyakarta. Kebetulan beliau yang menyampaikan mau’idzah hasanah di acara tersebut.

Bacaan Lainnya

Nah, melihat kabar yang sedang ramai saat ini, seorang ustadzah yang keliru menuliskan penggalan ayat al-Qur’an saat berceramah di televisi, saya langsung teringat pesan al-Habib tersebut, yang meskipun sudah disampaikan empat tahun lalu, tapi masih sangat relevan untuk saat ini.

Saat itu beliau menghimbau bahwa para kader NU (khususnya) perlu meningkatkan kapasitas keilmuannya menyusul adanya pergeseran ideologi di tubuh ormas Islam terbesar ini. Mereka mesti mengaji pada kiai yang benar-benar kiai, bukan kiai atau ustadz di televisi.

Kemudian, Menteri Agama 2001-2004 tersebut juga menjelaskan, maksud dari kiai yang benar-benar kiai adalah mereka yang memiliki ijazah (ketersambungan silsilah keilmuan) dari guru-gurunya terdahulu, sebagai bukti akan adanya otoritas keilmuan dalam dirinya.

Kiai seperti itu HANYA dapat ditemukan di PESANTREN, BUKAN di TELEVISI. “Itulah tradisi yang harus kita pertahankan, yaitu ijazah. Di samping keilmuan, ada keberkahan yang tidak ada tandingannya, karena kiai lah yang ikhlas dalam mengajar. Pergeseran ideologi harus kita bendung. Solusinya adalah kembali ke pesantren, kiai. Karena kalau tidak seperti itu, tidak ada lagi yang akan bisa membendungnya,” ujar beliau saat itu.

Btw, itu kejadian sudah empat tahun lalu, kok saya masih inget banget? Ya ingat, wong ada catatannya. Masih tersimpan rapi sampai sekarang. Ada di NU Online juga. Hehe

So, apa kesimpulannya? Ya kita harus hati-hati dengan Ustadz Televisi, karena tidak semua memiliki sanad keilmuan yang jelas. Bahkan tak sedikit yang tidak bisa kita ketahui di pesantren mana dia belajar agama dan berapa lama dia mondok dan belajar pada kiainya. Ingat, televisi itu tujuan utamanya adalah bisnis. Jadi siapa yang terlihat bisa ‘laku’ di televisi, asalkan bermodal surban, gamis syar’i, dan penggalan sedikit ayat yang bahkan tulisannya saja tidak tau kebenarannya, ya dianggap layak. Tidak peduli latar belakang pendidikan pesantrennya bagaimana.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *