Ente tanya, ane jawab
“Gus, mana yang benar: Islam yang harus mengikuti zaman, atau zaman yang mengikuti Islam?”
“Aqidah dan ritual ibadah tetap sama: penafsiran dan ijtihad kita yang mengikuti perkembangan jaman.”
“Tapi Gus bukannya Qur’an-Hadis itu ibarat manual mesin yang harus diikuti apa adanya, kalau gak, mesin gak jalan?”
“Manusia bukan mesin. Kita diberi akal untuk berpikir dan hati untuk mencintai. Akal beri pertimbangan, hati jua yang memilih. Akal berlayar, hati jua tempat berlabuh.”
“Tapi Gus bukannya beragama itu pakai wahyu, gak boleh pakai akal?”
“Lantas buat apa ayat pertama justru memerintahkan kita untuk Iqra? Qur’an sering bertanya retoris: “afala ta’qilun?” Ini diulang sampai 13x. Apakah kamu tidak pakai akalmu? Begitu pentingnya akal dalam Islam”
“Tapi Gus bukannya memahami agama dengan akal itu bakal banyak salahnya?”
“Akan lebih salah lagi kalau memahani agama tanpa akal. Pesan Qur’an: Katakanlah, apakah sama orang yang mengetahui dan orang yang tidak mengetahui. Sungguh yang berakallah yang dapat menerima pelajaran. (QS Az Zumar: 9)”
“Terus Gus gimana caranya biar akal kita tidak salah memahami agama?”
“Belajar. Belajar. Belajar. Ada kaidah tafsir, kaidah fiqh, ilmu hadis, ushul fiqh, dstnya. Kaidah keilmuan ini yang menjadi rambu-rambu agar akal tidak seenaknya menafsirkan ayat dan hadis.”
“Gus, apa semua penafsiran itu benar?”
“Para ulama dengan rendah hati selalu mengatakan: ‘pendapatku benar tapi mengandung kemungkinan keliru. Pendapat selainku salah, tapi boleh jadi ada kemungkinan mereka benar’. Yang absolut itu hanya wahyu.”
“Tapi Gus gimana kita bisa tahu apakah ijtihad ulama itu benar atau salah di sisi Allah?”
“Benar atau salah nanti Allah yang memberi keputusan. Kita hanya bisa berusaha sungguh-sungguh untuk memahami Nash. Siapa yang jtihadnya benar, kata Nabi, akan dapat 2 pahala. Yg salah, akan dapat 1 pahala.”
“Apa boleh kita punya banyak pendapat dalam Islam?”
“Di luar urusan aqidah, Islam justru membuka ruang untuk berbeda pendapat. Ayat yang zanni itu mengundang perbedaan opini. Beda halnya dengan ayat yang qat’i. Kita harus belajar Ushul al-fiqh untuk paham ini.”
“Gus, ada rujukan untuk diskusi kita soal ini?”
“Kok kayak BPJS saja minta rujukan. Hehehhe. Ini saya skrinsut kitab al-Mustashfa, sebuah kitab Ushul al-Fiqh karya Imam al-Ghazali. Monggo ditelaah sendiri 🙏”
Tabik,
Nadirsyah Hosen
Rais Syuriyah PCI Nahdlatul Ulama
Australia – New Zealand dan Dosen Senior Monash Law School