Dari Seminar Islam Rahmatan lil Alamin Modal Utama Membangun Bangsa
“Saya bisa berada di sini (sebagai satu-satunya perempuan di barisan narasumber) duduk di depan bersama para ulama berpengaruh dan para Ketua Umum/ pimpinan ormas Islam Indonesia, karena Islam di Indonesia adalah Islam Wasatiyah.”
Itulah kalimat pembuka presentasi singkat saya dalam Seminar Islam Rahmatan Lil Alamin Modal Utama Membangun Bangsa yang diselenggarakan oleh Dewan Masjid Indonesia dan MUI, dibuka oleh Ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI) Pak Jusuf Kalla dengan keynote speaker Ketua MUI Kyai Ma’ruf Amin, 17 Juli lalu.
Dalam sambutannya, pak JK, seperti biasa menyampaikan gagasan dan terobosan cerdas yang praktis dan aplikatif bagaimana DMI memakmurkan masjid agar umat dan masyarakat bisa dimakmurkan masjid. Kyai Ma’ruf Amin dalam keynote speechnya memberi pencerahan secara gamblang apa itu Islam Wasatiyah, baik fikrah (pemikiran) maupun harakah (gerakan). Islam yang moderat, penuh rahmat, adil, menjaga keseimbangan, cinta damai, tidak berlebih-lebihan apalagi keterlaluan dalam segala hal.
Sebagai satu-satunya narsum perempuan, saya sampaikan Islam Wasatiyah dalam perspektif muslimah Indonesia.
Islam wasatiyah -meski secara istilah belum lama populer – secara praktek telah menyejarah berabad-abad dan telah mampu mengantarkan muslimah Nusantara menjadi umara dan ulama yang berkontribusi secara nyata dalam sejarah peradaban Nusantara, Indonesia dan dunia. Banyak nama yang melegenda dgn kiprah kelas dunia mengukir sejarah peradaban ilmu, politik, militer dan budaya lahir dan berkarya di Nusantara, seperti Sultanah Safiatuddin dan 3 sultanah sesudahnya dari Aceh Darussalam, Ratu Aisyah We Tenri Olle dari Tanette Sulsel, Laksamana Malahayati, RA Kartini, nyai Khoiriyah Hasyim, Rahmah el Yunusiyah, dll. Mereka semua memiliki jejak yang mendunia.
Di episode Indonesia modern saat ini, pencapaian posisi dan kondisi muslimah Indonesia telah menjadi inspirasi dunia. Muslimah Indonesia sudah menjadi presiden, menteri, mufti (satu-satunya negara yang mengirim perempuan dalam pertemuan mufti dunia), hakim, ulama, gubernur, bupati, walikota, rektor PTN dan PTS Islam dan umum, pimpinan pondok pesantren yang santrinya lelaki dan perempuan, pimpinan ormas, organisasi profesi, direktur utama dll. Di Indonesia, ulama laki-laki berpengaruh dan pemerintah mendukung eksistensi dan kiprah ulama perempuan, sehingga Kongres Ulama Perempuan Indonesia sukses digelar dengan melibatkan ulama, aktivis, pengamat, pemerintah dan legislator dalam dan luar negeri. Mancanegarapun kagum bahkan iri atas pencapaian ini.
Mengapa bisa demikian ? Karena Islam di Indonesia bercorak Wasatiyah, ulamanya mayoritas mutawassith dan ummatnya mayoritas ummatan wasathan. Karakter wasatiyah itulah yang membuat para ulama pendiri bangsa mampu menuntaskan hubungan agama dan negara, melahirkan dan menjaga NKRI yang demokratis dengan alasan teologis yang kuat.
Karena Islam Wasatiyahlah UUD negara yang tak satupun pasalnya membedakan laki-laki dan perempuan, dipersoalkan ulama. Karena Islam Wasatiyahlah perempuan bersama laki-laki menjadi subyek pembangunan, bukan makhluk atau warga negara kelas dua. Maka kesimpulannya, jika ingin kesetaraan dan keadikan gender terjaga, posisi dan kondisi perempuan tidak dimarginalkan dan disubordinasi, menjaga Islam Wasatiyah adalah KENISCAYAAN.
Kini, di tengah menguatnya konservatisme Islam yang cenderung memundurkan dan meminggirkan perempuan, penanaman nilai-nilai Islam Wasatiyah mesti dilakukan lebih serius mulai dari keluarga, lembaga pendidikan, masjid, musholla, majlis taklim dan media, mainstream maupun medsos.
Pada saat yang sama, Islam Wasatiyah yang terbukti membawa maslahah dan mengantarkan muslimah Nusantara berprestasi dan berkontribusi nyata bagi peradaban, perlu dikabarkan dan disebarkan kepada dunia, seluas-luasnya. Saatnya Islam Indonesia yang berkarakter wasatiyah menjadi kiblat peradaban dan perdamaian dunia Islam.
Penulis: Ibu Nyai Badriyah Fayumi, Pengasuh Pesantren Mahasina Darul Qur’an wal Hadits, Bekasi.