Jerit panik … Terdengar menggiriskan. Saat panggung yang membelakangi selat sunda itu tiba tiba roboh diterjang gulungan ombak. Tepat di malam Minggu itu, banjir air laut menyeruak kedaratan tanpa mampu ditahan.
Gelombang pasang menyapu kerumunan, lalu terapung dan tenggelam. Keesokan harinya baru diketahui, peristiwa di pesisir Banten dan Lampung itu sudah menewaskan ratusan orang. Kejadian yang sungguh amat mengenaskan.
Menurut laporan BMKG tak ada gempa yang terjadi, layaknya sang triger yang biasanya mengundang tsunami. Hanya menurut laporan dan saksi mata, sesaat sebelum hal itu terjadi, anak krakatau berpijar terang, menandakan adanya letusan. Siapa sangka erupsi itu meruntuhkan bangunan kubah dan lerengan. Tercebur kelaut sehingga mendatangkan ombak tinggi yang menerjang ke pantai.
Memang, peristiwa malam 22 Desembar 2018 itu tentu tak seberapa, dibanding letusan tahun 1883 yang lalu. Sebuah erupsi raksasa yang tercatat dalam sejarah modern manusia. Gulungan ombak setinggi 42 meter, masuk kedaratan sejauh 36 km, dan membawa serta 36.000 nyawa manusia. Yang terkapar meregang nyawa, hanya dalam tempo beberapa puluh menit saja. Itulah monster laut sang tsunami, sosok menakutkan dan mendirikan bulu roma.
Namun …
Tsunami, bukan hanya menjadi algojo pencabut nyawa. Dia juga mampu merubah peradaban dan sejarah manusia …. ini ceritanya.
Lelaki yang mulai menua itu nampak kebingungan …
Tubuhnya yang tegak, namun mulai gontai kelelahan. Dia dan ribuan pengikutnya dalam pelarian. Dikejar raja durjana dengan barisan pasukannya, yang dipenuhi gelegak dendam membara. Kini pelariannya dihadang laut didepan mata. Terjepit antara ombak dan tombak, antara tenggelam dan dirajam. Bau kematian perlahan mengambang kepermukaan.
Pertolongan itu datang, sebuah perintah didapatkan …. pukul air laut dengan tongkat, niscaya dia akan terbelah ( Al-Quran, Surat Asy-Syu’araa ayat 63 ). Sehingga dasar laut akan menjadi daratan, dan pelarian itu bisa dilanjutkan. Bergegas lelaki tua memukulkan tongkat, dan benar saja. Air laut surut tiba tiba, lalu rombongan besar itu bergegas menyebrang ke tepi yang lain. Dibuntuti oleh rombongan sang raja dan derap pasukannya. Namun sebelum menyusul ke ujung, sang ombak raksasa datang kembali menyergap, lautpun kembali menutup, seraya menenggelamkan pasukan perkasa. Sebuah epos dari kisah para raja dan nabi di jaman Mesir kuno.
Selama ribuan tahun, kisah ini selalu menarik perhatian, apakah fakta, ataukah mythos belaka. Sang lelaki tua dalam pelarian itu bernama Musa AS, yang membawa kaum bani Israil. Sedang raja yang mengejarnya adalah firaun Ahmose, penerus dinasti kerajaan mesir ke 18, yang hidup di abad 15 – 16 sebelum masehi.
Para ahli lalu melakukan penelitian di lapangan, dan mengeluarkan pendapat tentang artefak hasil temuan dan sekaligus analisa ilmiahnya. Sumber sumber arkeologis dari dua sisi. Dari temuan di pihak mesir yang berhuruf hielogrip, serta dari testamen bani israil yang bertuliskan bahasa hebrew. Keduanya dicocokan dan dicari persamaan kejadiannya, sehingga “saksi” itu sinkron dari kedua sisi secara berimbang. Sekaligus untuk bisa membuat susunan kronologis seluruh peristiwa, yang melibatkan posisi lokasi ruang, dan kapan momen waktu kejadiannya.
Sejak awal epos ini digulirkan, beberapa kalangan yang skeptis bahkan sinis, sudah menolaknya. Masuk akal juga argumentasinya, karena laut merah yang dibelah itu, panjangnya 1900 km. Lebar antara pantai Afrika dan Jazirah Arab sejauh 100 – 300 km, serta berkedalaman laut maksimum 2500 m. Jadi amat sangat tak mudah ketika ribuan orang harus menyebranginya. Apalagi mereka membawa serta harta dan barang miliknya. Jika dipaksakan akan memakan waktu yang sama sekali tak singkat.
Maka para ahli mencoba mencari solusinya. Tak kurang dari Prof. Philip Davies dan Prof Keith Whitelam, keduanya dari Shefield University, Prof James Hoffmeir dari Trinity school, prof Donald Redford dari Pensylvania univ. Prof George Kling dari Michigan Univ , Dr Charles Pelegrino , dan banyak lagi yang lainnya. Secara bersama dan terpisah menyumbangkan hasil temuannya dilapangan selama ini.
Untuk mengetahui secara persis bagaimana rute pelarian itu sesungguhnya, maka yang dilakukan adalah sebuah usaha napak tilas. Untuk memvalidasi hal itu, mesti disokong oleh adanya artefak-artefak temuan disepanjang jalan yang dilalui. Hal yang sama sekali tak mudah, karena sudah ribuan tahun yang lalu. Sebagian besar sudah terkubur dan rusak dalam tanah, sehingga penggalian harus dilakukan dengan sabar dan penuh kehati-hatian. Semata agar fakta objektif kebenaran keilmuan bisa didapatkan.
Dari sang jejak artefak berdasarkan perjalanan napak tilas itu, ternyata pelarian mengarah lebih ke utara, ketimbang ke timur menuju laut merah yang luas dan dalam itu. Tepatnya pada lokasi dimana delta sungai nil di laut tengah, dan ujung kerucut teluk laut merah berada. Pada daerah itu ditemukan sebuah cekungan raksasa, disebut sebagai al Balah, yang airnya merupakan campuran dari air laut dan air tawar bawaan dari sungai nil.
Jika ditarik keutara dan selatan, Al Balah bak “celah” yang terhubung ke dua sisi , baik kelaut tengah, maupun ke laut merah. Sehingga insinyur perancis Ferdinand de Lesseps menempatkannya menjadi terusan suez yang kita kenal sekarang ini. Para peneliti semakin yakin, karena di sekitar itu banyak ditemukan peninggalan dari pasukan firaun yang tengah dalam pengejaran.
Sebelum lelaki tua itu menepukan tongkatnya ke air laut, Mesir tengah mengalami runtutan sejumlah bencana yang melanda secar terus menerus. Firaun ahmose merasa marah, karena dikenai kutukan, bahwa anak laki-lakinya akhirnya meninggal secara misterius.Dari sisi ini maka para ahli arkeologi dan geologi bekerja bersama sama, guna memecahkan misteri yang terjadi 3500 th yang lalu itu. Semua itu diawali dengan sungai Nil yang berwarna merah darah.
Semua sepakat, nampaknya pada saat itu, aktifitas geologis diwilayah timur tengah tengah mengalami fase aktif. Tekanan lempeng benua Afrika yang mendorong subduksial ke arah Eropa dan laut tengah, melahirkan banyak gempa dan retakan bumi.
Di Afrika terdapat telaga Nyos di wilayah Kamerun. Dibawah telaga ini nampaknya tersimpan sejumlah kantong rongga-rongga berisi bahan kimia hidrogen peroksida ( H202 ). Ketika gempa tremor terjadi, bahan ini terlepas ke telaga dan sungai yang mengalirkannya. Sesegara itu oksigen yang dikandungnya bercampur dengan besi, sehingga menjadi Fe2O3 atau karat besi, yang berwarna merah. Bahan ini juga yang nampaknya terapung dan menjadikan sungai nil berwarna merah.
Hal yang sama terjadi pada tahun 1984 yang lalu, dengan tanda tanda yang persis sama. Sifatnya menjadikan air beracun dan mematikan ikan-ikan di sungai, sehingga membusuk dan perlahan mengundang lalat. Lalat menyebar menebarkan penyakit kulit yang mirip luka bakar pada penduduk disekitar sungai. Ketika ikan pada mati dan membusuk, namun katak yang berjenis amfibi bisa melompat kedarat menyelamatkan diri, seraya mengepung setiap kota dan kampung. Termasuk mengerumuni istana sang raja saat itu.
Bencana di mesir saat itu belum cukup sampai disana. Jutaan belalang hinggap di pemukiman, menghancurkan cadangan makanan. Belalang ini seperti yang tengah melarikan diri, karena badai gelap mulai bergemuruh di langit mesir dari arah utara, seraya membuat kerajaan dibalut kegelapan.
Rekahan di tanah semakin banyak, beberapa diantaranya mengeluarkan gas CO2. Zat racun ini lebih berat dari udara, sehingga menggenangi ceruk-ceruk tanah rendah. Siapapun yang rebah, lalu menghirup gas ini maka akan kelojotan dan mati meregang nyawa. Termasuk anak firaun yang saat itu berusia 12 tahun.
Dalam kegalauan dendam kesumat, dan awan badai suram, sang raja berbalik mengejar rombongan yang berjalan tersuruk suruk kearah delta sungai nil dan bermaksud menyebrang ke semenanjung Sinai. …
Firaun yang galau, tak sadar bahwa kegalauan itu juga terjadi pada sang bumi yang dipijaknya, yang tengah memasuki fase-fase puncaknya.
Pergerakan lempeng itu sudah membangunkan sang raksasa jauh di utara. Gunung Santorini di pesisir seltan Yunani perlahan bangkit dari tidurnya. Magma dari perut bumi meronta dan berderap kelubang kepundan. Derap sang magma, sejalan dengan derap kaki kuda pasukannya.
Letusan-letusan pendahuluan membawa debu gunung api. Membuat belalang lari terusir dan lari kepemukiman. Debu halus yang membuat langit mesir menjadi kusam dalam badai yang berwarna tak seperti biasanya.
Ketika …
Lelaki tua itu menepukan tongkatnya di air laut … prak !!!
Blaaarrrrr … !!!
Santorini meletus dengan dahsyat. Pulau yang didiaminya seluas 76 km2, harus rela saat 60 km2 atau sekitar 3/4 luas asalnya diterbangkan keudara. Bersamaan dengan itu isi bumi dilontarkan keudara lebih dari 100 km3, membumbung 40 km ke udara, dan menyebar ke berbagai penjuru. Membuat badai gelap yang terlihat aneh dan menyeramkan.
Letusan pada kitaran 1500 th SM, itu membuat lubang kaldera berukuran 12 x 5 km, dengan perkiraan skala letusan skala 7 pada VEI ( Volcano erution index ), atau sama dan mungkin lebih hebat dari Gn Tambora, yang diameter kalderanya 6 km.
Air laut segera bergegas menutup lubang bekas letusan, dan menjadi surut dimana mana. Juga di muara sungai nil dan celah Al Balah. Musa dan kaumnya lalu bergegas menyebrangi Al Balah yang mengering. Dibuntuti oleh pasukan Firaun yang mengejarnya semakin kencang. Sesaat Musa sampai di sebrang segera naik ke ketinggian. Dengan matanya sendiri dia menyaksikan, pasukan yang mengejarnya tadi, saat memasuki Al Balah, namun tergulung ombak yang datang kembali, dan habis tersapu.
Coba kita bayangkan, saat Krakatau meletus dan mengeluarkan “hanya” 20 km3 bahan erupsi ( VEI 6 ), ketinggian ombak tsunaminya mencapai 42 m, dan masuk kedaratan sejauh 36 km, membunuh 36.000 orang. Bandingkan dengan Santorini, dengan kedahsyatan 4 – 6 kali lebih hebat. Maka ketinggian ombak tsunami saat memasuki celah dan cekungan Al balah tadi, akan lebih nampak seperti gunung air, ketimbang sebuah ombak raksasa.
Apakah tongkat lelaki tua yang memukul laut ini tongkat bertuah ?
Apakah lelaki setengah baya itu seorang yang sakti mandraguna, yang dengan ajian dan kekuatannya sanggup membelah laut ?.
Apakah Musa seorang superhero, mirip komik marvels ?
Sama sekali bukan !!!.
Mukjizat itu adalah keteguhan atas keyakinannya, bahwa hidup sesungguhnya adalah terdiri dari fungsi dan pemeranan kita, dalam menyongsong jemputan sang takdir. Seorang Musa hadir dalam epos itu, dengan keyakinan dan petunjuk Nya, menjadi pembebas kaum bani Israil. Semua adalah pemeranan dalam kepemimpinannya. Yang kelak akan melahirkan budaya dan nilai-nilai samawiyah, yaitu agama Yahudi, Kristen dan Islam.
Mukjizat itu adalah sebuah pola fikir yang senantiasa terbuka. Yang selalu siap dengan perubahan dan pembelajaran kognitif, atas realitas dan momen kajadian apapun yang ditimpakan pada kita, oleh Nya jua.
Kemarin Lombok dan Palu, sekarang Banten dan Lampung dilanda tsunami.
Lalu dimana fungsi dan pemeranan kita ?
Bergerak dengan keyakinan dan keteguhan untuk menolong sesama ?
Atau sekedar berpangku tangan
yang cukup dengan desah
Kasihan mereka para korban ya …
Bahan referensi dan tulisan disarikan dari berbagai sumber.
Video : film dokumenter “exodus” dengan arahan James Cameron
Penulis: Yat Lessie.