Titik Temu Bisnis
Usia DIVA Press Group itu sudah nyaris 19 tahun. Sebuah masa yang panjang yang telah memilin saya ke segala penjuru dlm dinamika internal yang mengharu biru. Ada girang, bahakan, merengut, diam, sedih, marah, tersinggung, dan segalanya.
Di tengah bisnis buku yang makin tak seksi begini (dibandingkan sejumlah bisnis yang telah saya buat dan akan), saya selalu mencintai bisnis ini melampaui bisnis apa pun. Sederhana: sebab buku adalah dasein saya. Selesai
Mungkin sekadar klaim, hari ini nampaknya ya saya inilah yang selalu menggebu-gebu menerbitkan buku. Kadang, tanpa lagi menimbang aspek bisnisnya sebagai poin utamanya. Tapi klangenan dasein itu.
Tentu saya hafal banget cara memperlalukan buku sebagai sebuah bisnis, sebagai sebuah perusahaan. Simpel buat saya kini: sepanjang tagihan produksi dan operasional karyawan terbayar, selesai. Kadang untung banyak, kadang tombok banyak. Saya tak lagi pernah memikirkannya, terserah saja, sepanjang saya bisa selesaikan dua hal pokok tadi, yaweslah.
Saya tak pernah lagi cemas dengan stok yang menumpuk, retur yang segunung. Buat apa dipikirkan? Sederhana prinsip saya kini di hadapan stok gudang yang membludak itu: sepanjang dua hal pokok itu beres, dan terus bisa nyetak sesuai agenda, itu sudahlah cukup bahwa perusahaan ini masih oke.
Tak usah resahkan bagaimana cara menghabiskan stok itu. Ia akan menemukan jalannya untuk habis, begitulah pengalaman saya, dalam pelbagai bentuk, sampai disedekahkan.
Jadi, kuncinya ialah ngapain mumet mikiri stok gudang yang jutaaan banyak itu, toh produksi terus bisa berjalan, lho. Tak kudu apa-apa bathi, tak kudu apa-apa jadi duit. Biarkan saja, suatu kelak akan menemukan jalannya masing-masing, kok. Maka memastikan kemampuan menopang waktu hingga habis dan biaya produksi adalah kunci saya menjalankan bisnis ini. Tirulah, tapi cermatlah pada kemampuan internalmu masing-masing, ya.
Staf DIVA Press Group hari ini terhitung masihlah sangat banyak. Sekitar 120an orang (memang ini surut dibanding lima tahun lalu yang sampai 250an orang). Its okay, tenang saja, bukan itu poinnya.
Poinnya ialah betapa mayoritas staf tersebut bergabung sama saya sejak mereka bujang, menikah, beranak-pinak begini. Mereka bagian mutlak dari tarikan napas saya, pikiran saya, dan perjalanan bisnis ini.
Maka bila ada staf yang mau resign, saya pastikan untuk tahu dulu apa sebabnya. Jika sebab internal saya, saya akan carikan solusinya agar ia tetap bisa bersama saya. Saya pikirkan titik temunya, antara poinnya dan poin perusahaan.
Ada yang melanjutkan kuliah, ya saya persilahkan ia kuliah dengan tetap mengatur jadwal kerja sebisanya, yang paling enak dan fair buatnya dan kantor.
Ada yang mengalami gangguan kesehatan, ya saya carikan solusinya agar ia tetap bisa kerja, dengan meringankan sebisa mungkin urusan ngantornya. Poin dia terakomodir, poin kantor terakomodir. Selesai.
Ada lagi yang setiap hari harus jemput anaknya yang masih PAUD, ya silakan saja. Spirit pokok saling memahami, saling amanah, lalu ada titik temunya, itu sudah jadi garansi kebersamaan.
Saya dan para staf tersebut telah tahunan lamanya kumpul, dalam suka dan duka. Kini usia kami telah dewasa semua lah. Maka buat apa mengedepankan selain sikap saling pengertian untuk tetap bisa bersama dalam suatu titik temu?
Para staf lain pun telah saling seturut memahami keterbatasan atau hajat kawannya. Jadi, tak perlu ada perasaan tak nyaman pada seseorang dengan kondisi khusus tersebut.
Memang, dikarenakan bisnis ini makin tak seksi, ada satu dampaknya yang buat saya kerap prihatin, yakni sulitnya saya untuk makin menyejahterakan mereka. Betul, gaji sulit untuk dinaikkan, bonus, dll.
Guna mengatasi kahanan tersebut, tepatnya menambal lubang-lubang yang bisa saya tambal, acap saya sengaja datang ke kantor, biasanya hari senin dhuhur sembari shalat jamaah dan kultuman, dengan membawa uang yang ada.
Lalu saya bagikan kepada mereka sembari bercanda, “Ini buat beli nasi Padang, ya, agar pikiran kalian padang….” Ya, saya kasih hadiah percuma buat mereka.
Bila sedang makan larang, saya kerap teringat anak-anak itu. Ya mereka. Saya terdiam dan memikirkan bagaimana caranya bisa membuat mereka lebih sejahtera, ya, bisa jajan larang begini pula….đŸ˜¢
Tahun 2020 ini insya Allah saya akan dapat uang miliaran banyak atas suatu urusan kantor DIVA Press dengan rekanan. Saya udah bilang sama mamae gara, ntar kalo itu sudah cair, sekitar 25% kukasihkan anak-anak DIVA Press aja ya….
Jumlahnya bisa limartusan juta atau semilyar lebih kan, Yah, sahutnya.
Ya, ntar kubagi rata aja antarmereka. Samain saja, semuanya sama-sama memerlukannya, utamanya yang udah berkeluarga, kali aja bisa buat tambahan uang muka beli rumah to….
Yaaa, silakan aja.
Kurenungkan, rupanya aku telah meleset selama ini yang kupikirkan ialah profit semata. Tidak. Kupikir profit bukanlah tujuan aku hidup, berbisnis, dan mikir strategis bikin bisnis ini dan itu, dll. Tidak. Tujuanku ialah menyediakan lahan kerja buat mereka, agar mereka bisa menghidupi diri dan keluarganya, dengan lebih baik dan baik lagi, tahun ke tahun. Aku sudahlah lebih dari cukup dengan apa yang ada ini. Jauh dari apa yang kubutuhkan bahkan.
Tanpa ragu, suatu malam, kukatakan kepada orang-orang inti di kafeku, bahwa suatu kelak, beberapa cabang kafe basabasi akan kuberikan percuma buat kalian dgn dibagi-bagi sebagai saham kepemilikan, dengan syarat: kalian harus jadi saudaraan terus, kudu akur seumur hidup, buka cabang yang banyak agar makin banyak anak muda yang ikut kerja, mahasiswa bisa lulus kuliahnya dari gaji kafe, makan gratis, tinggal gratis, dan titip uruskan kafe-kafe lainnya sebaik-baiknya, agar semua jalan. Aku ingin kalian suatu tahun jadi pemilik pula, bukan hanya kerja staf begini. Semoga diijabahiNya….
Maka jika ada pertanyaan apa tujuan anda berbisnis, jawabanku clear kini, yakni membuat mereka tetap bisa kerja, dengan pendapatan yang tumbuh lebih baik dan baik lagi, dst. Jika itu telah tercapai, buatku itu sudah selesai, itu sudah menjadi bisnis yang bagus….
Amin.
(Penulis: Edi Mulyono, owner Diva Press Group)