Ini Kriteria Memilih Pemimpin

Secara garis besar, ada dua fungsi utama kepemimpinan yang menunjukkan pentingnya kepemimpinan itu,  yaitu menjaga agama dan mengelola urusan dunia . Maka memilih pemimpin atau membangun kepemimpinan merupakan suatu kewajiban, baik secara syar`imaupun `aqli.

Dalam bahasa Arab, memilih itu disebut al-Ikhtiyar, berasal dari kata khair, yang secara harfiah berarti baik (terbaik). Jadi, memilih itu adalah kegiatan mencari dan menetapkan sesuatu yang terbaik. Untuk itu, pemilih mesti memiliki dan memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu.

Persyaratan yang mula-mula bagi pemilih adalah adil dalam pengertian yang sebenarnya (al-jami`ah li syuruthiha). Adil di sini berarti pemilih memiliki akhlak dan keluhuran budi pakerti, sehingga ia tidak memihak kepada calon tertentu, tetapi memberikan penilain secara jujur dan objektif kepada semua calon.

Adil juga berarti menjatuhkan pilihan (setelah melakukan penilain) kepada calon yang dianggap terbaik, tanpa bisa dipengaruhi oleh money politic alias tak bisa dibeli dan disuap. Menjatuhkan pilihan karena uang (suap) adalah tindakan yang tidak benar bahkan terkutuk. Rasulullah SAW sendiri mengecam penyuap dan yang disuap (la`natulllah `ala al-Rasyi wa al-Murtasyi). (HR.  Abu Dauda, Thirmidzi, dan Nasa’i).

Pesyaratan berikutnya ialah pemilih mesti mengetahui dengan pasti siapa yang akan dipilih. Jangan sampai ia memilih kucing dalam karung. Pengetahuan ini harus mengantar pemilih menjatuhkan pilihan kepada orang yang tepat atau orang yang ashlah, yaitu orang yang akan membawa kebaikan lebih besar bagi kemajuan bangsa.

Menurut Damanhuri Zuhri (2014), ada beberapa hal yang mesti diketahui oleh pemilih. Pertama, visi, misi dan program sang calon. Kedua, komitmen dan kesungguhannya. Ketiga, kapabilitasnya dalam ikhtiar mewujudkan visi dan misi. Ini terkait dengan keterampilan manajemen dan kepemimpinan sang calon. Keempat, track record (rekam jejak)-nya.

Di masa sekarang ini, pemimpin bukanlah dewa atau malaikat yang diutus Tuhan dari langit. Ia sejatinya manusia yang biasa juga, bisa berbuat salah, anggota dari masyarakat tertentu, dengan sedikit kelebihan baik secara moral, intelektual, maupun spiritual. Karena itu, rekam jejaknya mestilah jelas dan banyak yang mengakui kredibilitasnya.

Persyaratan yang berikutnya lagi ialah pemilih mesti cerdas (waras) dan arif. Dengan cerdas, pemilih benar-benar menggunakan hak pilihnya secara benar dan penuh rasa tanggung jawab untuk kemaslahatan bangsa, sebab satu suara dapat menentukan negaranya di masa depan. Ia tidak menjadi golongan putih (golput), dan tidak pula menjadi petualang atau pengacau yang memancing di air keruh hanya untuk memenuhi syahwat politiknya sendiri, apalagi sampai menebar hoaks dan fitnah sana sini, yang tidak ada suatupun yang bisa membenarkannya.

Dengan arif dan bijaksana, ia ikut serta menciptakan suasana yang kondusif agar pemilihan pimpinan berjalan damai dan sukses. Sikap bijaksana merupakan sesuatu yang amat penting agar seorang pemilih tidak salah dalam menentukan pilihannya dan tidak terjerembab dalam penyesalan setelah memilih paslon tertentu. Terakhir, pemilih seharusnya berdoa kepada Allah SWT, memohon bimbingan dan petunjuk-Nya, agar pilihannya tepat.

Firman Allah: Katakanlah: “Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Ali Imran [3]: 26). Wallahu a`lam!

Rohmatul Izad. Alumni Pascasarjana Ilmu Filsafat UGM Yogyakarta. Pengurus di Yayasan Pondok Pesantren Miftahul Huda Gunung Terang Lampung.

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *