Figur kiai adalah profil idaman lulusan pesantren. Demikian ditegaskan KH Ilyas Ruhiat, Rais Aam PBNU 1992-1999. Hal ini ditegaskan dalam kitab Alfiyah Ibnu Malik:
وما يلي المضاف ياءتي خلفا @ عنه في الاعراب اذا ما حذفا
Santri harus mampu mengganti posisi dan fungsi kiai, jika kiai sudah dipanggil ke Rahmatullah.
Bahkan, kualitas santri seyogianya di atas kiai. Artinya, kiai yang sukses adalah kiai yang mampu melahirkan santri yang lebih berkualitas dari dirinya. Guru yang sukses adalah guru yang mampu melahirkan generasi penerus yang lebih berkualitas dari dirinya.
Hal ini dinyatakan dalam Alfiyah Ibnu Malik:
وتقتضي رضا بغير سخط @ فاءقة ألفية ابن معطي
وهو بسبق حاءز تفضيلا @ مستوجب ثنايء الجميل
Ketika generasi penerus keilmuannya di atasnya generasi pendahulu, maka harus diimbangi dengann kerendahhatian.
Untuk melahirkan santri berkualitas dibutuhkan kiai yang mendalam ilmunya, dekat dengan Allah, dan ikhlas dalam mendidik sehingga mampu membuka tirai hati dan cakrawala pemikiran muridnya. Juga dibutuhkan santri yang bersungguh-sungguh dalam mencari ilmu, siang-malam, tanpa henti untuk mencapai prestasi ilmu yang dicari.
Metode Bandongan (Kiai mbaca, santri memberi makna), sorogan (santri membaca, Kiai mendengar sambil mbenarkan), Bahtsul Masail (berdebat kritis dengan referensi kitab) dan ta’lif (menulis, berkarya) harus dilestarikan dan dikembangkan di pesantren untuk melahirkan santri dengan kualitas tinggi.
Kiai: Good Model Lahir-Batin
Kiai pesantren, tidak hanya menjadi kiai santri, tetapi juga kiai masyarakat yang menjadi rujukan dalam setiap tindakan. Kiai tidak hanya mengandalkan ilmu syariat dalam kehidupan sehari-hari, tapi juga mengamalkan ilmu tasawuf yang mengarah kepada hakikat sesuatu menuju kehadirat Allah SWT.
Hal ini sesuai pituah:
من تفقه تفسق ومن تصوف تزندق ومن جمع بينهما فقد تحقق
Orang mendalami ilmu fiqh mudah melanggar (dengan rekayasa, hiilah), orang mendalami tasawuf saja (tanpa fiqih) bisa mengakibatkan kesesatan (menyembunyikan kekafiran, zindiq). Orang yang mencapai puncak ilmu dan kearifan adalah orang yang menggabungkan keduanya (fiqh-tasawuf), sehingga ucapan dan tindakannya selalu ada pijakan syariat dan menembus substansi yang dimaksud.
Gabungan syariat (fiqh) dan tasawuf menghasilkan kearifan-kearifan yang luar biasa dalam membimbing santri dan umat, sehingga mereka selalu dalam jalan keridlaan Allah SWT.
Tafaqquh Qabla Al Amal Wan Nasyri
Para santri zaman dulu, sebagaimana kiainya, melakukan tahapan belajar dengan sangat runtut, tidak potong kompas.
Pertama, mendengarkan dengan sepenuh hati dan menerima ajaran dan petuah Kiai (الاستماع والقبول)
Kedua, mampu mendeskripsikan masalah secara menyeluruh dan memahami substansi ilmu secara mendalam (التصور والتفهم)
Ketiga, mampu menemukan alasan hukum dan memahami sumber hukum, sehingga tidak taklid buta, tapi penuh dengan kesadaran berilmu dari sumber terpercaya (التعليل والاستدلال)
Keempat, mengamalkan ilmu tersebut dengan penuh keikhlasan (العمل)
Kelima, menyebarluaskan ilmu kepada umat (النشر).
Kelima tahapan ini dilalui secara tertib, sehingga para santri zaman dulu mampu menampakkan sinar kesantunan dan kesahajaan dalam membimbing umat. Tidak seperti sekarang yang suka menyebarkan informasi atau ilmu tanpa dikoreksi, dikonfirmasi, dan diamalkan terlebih dahulu sehingga mudah menimbulkan fitnah.
Dalam berdakwah, ulama nusantara menghindari stigma negatif, seperti bid’ah, khurafat, takhayyul dalam berdakwah kepada masyarakat, karena mereka sudah memahami substansi hukum dan mempunyai Kearifan lokal yang tinggi. Mereka mampu membina masyarakat dengan penuh kesabaran, menunjukkan jalan kebenaran dengan kesantunan, dan menghindari pengkafiran dan penyesatan yang dibenci umat.
Ahad malam Senin, 15 April 2018
(Jamal Ma’mur Asmani, PW RMI-NU Jateng)