Oleh: Rohmatul Izad, Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Filsafat UGM dan Ketua Pusat Penelitian Studi Islam dan Ilmu-Ilmu Sosial di Pesantren Baitul Hikmah Krapyak
Fakta sejarah menunjukkan bahwa proses transmisi hadits pada era Nabi lebih banyak didominasi oleh metode lisan ketimbang metode tulisan. Akibatnya, proses transmisi yang memakan waktu begitu panjang menggunakan metode lisan ini berdampak pada adanya interpretasi-interpretasi baru oleh pembawahnya sekaligus orang yang menerima hadits tersebut.
Perbedaan kapasitas intelektual para sahabat juga sangat mempengaruhi adanya reduksi terhadap redaksi hadits. Artinya, tidak semua sahabat memiliki kapasitas intelektual yang mumpuni, sehingga kualitas keilmuan mereka sangat mempengaruhi bagaimana matan atau redaksi hadits itu dibentuk. Kenyataan ini menunjukkan bahwa pencatatan hadits secara maknawi jauh lebih massif daripada secara lafadz.
Selain itu, periwayatan hadits secara makna mempermudah proses transmisi hadits. Berbeda dengan al-Qur’an, yang sejak era sahabat sudah sangat massif ditulis secara lengkap. Bukti bahwa hadits tidak ditulis secara massal sebagaimana al-Qur’an menunjukkan bahwa agar hadits ditulis secara maknawi saja.
Di sisi lain, ada kemungkinan besar bahwa para perawi juga akan dimudahkan dalam penyusunan matan atau isi hadits tanpa keluar dari substansi makna hadits itu. Meskipun, dikalangan para perawi hadits, periwayatan hadits secara makna dan lafadz ini juga masih menimbulkan polemik. Namun demikian, para ahli hadits lebih banyak yang sepakat pada periwayatan secara makna ketimbang bersama lafadz sekaligus, hal ini semata-mata agar transmisi hadits lebih mudah dilakukan.
Sesuai dengan berjalannya waktu, periwayatan hadits secara makna ini pada akhirnya banyak melahirkan interpretasi baru dari para pembawa hadits. Misalnya, perbedaan kemampuan intelektual sangat mempengaruhi redaksi hadits, juga adanya kecenderungan berpikir secara berbeda, misalnya memiliki sikap politik yang berbeda, juga dapat mempengaruhi pelafalan sebuah redaksi hadits.
Fenomena semacam ini pada gilirannya sangatlah mempengaruhi cara bagaimana umat Islam di kemudian hari memahami hadits itu sendiri. Dalam perkembangannya, khususnya era setelah sahabat dan tabi’in, banyak umat Islam memahami hadits hanya sebatas teks yang dibaca saja. Pembacaan secara literal semacam ini tentu akan sangat berbahaya jika tidak memahami betul substansi dari teks hadits tersebut.
Kita tahu bahwa tidak semua hadits dicatat pada masa Nabi dan adanya bukti bahwa banyaknya periwayatan hadits secara makna ini telah memberi peluang besar munculnya pemalsuan hadits.
Secara garis besar, beberapa faktor penentu terhadap munculnya hadits-hadits palsu, menurut Mustafa as-Siba’i, dikarenakan adanya pertikaian politik, fanatisme kesukuan, daerah dan pemimpin, adanya perselisihan dengan para ahli kalam dan fikih, kurangnya memiliki pemahaman agama yang mumpuni, dan lain sebagainya. Semua faktor-faktor ini berawal dari adanya fleksibilitas dalam penulisan hadits yang mula-mula hanya ditekankan pada sisi makna saja, sementara lafadz bisa dibentuk sesuai kapasitas para perawinya.
Adanya fenomena pemalsuan hadits ini membuat para sahabat dan tabi’in bersusah payah melakukan perjalanan panjang ke berbagai negeri. Misi mereka jelas yakni menyampaikan hadits-hadits orisinal yang mereka ketahui kepastiannya dan mulai mengumpulkan hadits-hadits yang tidak mereka ketahui sebelumnya.
Dengan demikian, umat Islam sudah seharusnya bersikap kritis terhadap penggunaan hadits dalam amaliyah maupun pegangan hidup. Tanpa sikap yang kritis, umat Islam akan sulit membedakan mana hadits yang orisinal dan mana yang palsu.
Di era kontemporer ini, fenomena pemalsuan hadits memang hampir tidak ada. Namun demikian, hadits-hadits palsu itu, yang muncul di era awal kodifikasi hadits, tetap ada dan tertulis di kitab-kitab selain yang umumnya dipakai untuk pegangan dan sumber hukum Islam. Sikap hati-hati harus tetap harus terus dilakukan dan umat Islam dianjurkan untuk lebih teliti memahami riwayat-riwayat hadits yang akan dijadikan pedoman hidup.
Sumber.
As-Siba’i, Muhammad Mustafa. As-Sunnah wa Makanatul fi al-Tasyri’ al-Islami. Qahirah: Min al-Masyriq wa al-Magrib, 1987.