Lagi nyari ide gimana mensosialisasikan dan menginternalisasikan nilai-nilai kemajemukan-kebhinekaan kepada para pemuda, sehingga keterbelahan dan konflik sosial yang makin menjadi-jadi di era medsos bisa dikikis.
Buku anyar “Pemuda Di Lingkaran Konflik Kekerasan” terbitan LP3ES (2019) menginspirasi saya untuk tujuan-tujuan di atas. Thanks mas Fajar Iman Hasani. Buku ini berisi kompilasi hasil riset tentang pemuda dan konflik kekerasan di 3 kota: Jakarta, Makassar dan Jayapura. Konflik yng dipotret juga beragam: konflik berbasis etnis, agama, politik/birokrasi, ekonomi, teknologi/medsos dll.
Tentu saja saya tidak baca detail semua dan hanya ambil pokok-pokok sesuai tujuan saya di atas.
Secara umum, sebab konflik terjadi karena 1 dari 2 hal ini: (1) teori identitas sosial, sederhananya, bagaimana kita menyikapi perbedaan, dan (2) teori konflik realistis, yakni konflik yang terjadi karena ada benturan kepentingan.
Saya fokus ke yang no 1: konflik berakar pada bagaimana kita menyikapi perbedaan. Katanya perbedaan itu sunatullah. Meski Islam mengajarkan perbedaan adalah rahmah dan berkah, dalam prakteknya perbedaan seringkali menjadi bencana dan musibah.
Kenapa itu bisa terjadi? Secara teoritis, pinjam konsep Bennet yang saya modifikasi, ada 6 level menyikapi perbedaan, dari yang rendah sampai yang tinggi. Here it is, ini dia…
Level 1 (eksklusif): Anda tidak mau mengakui perbedaan. Hanya Anda dan kelompok Anda yang berhak eksis.
Level 2 (stereotipe): Anda mengakui ada perbedaan tapi memandang rendah orang atau kelompok lain.
Level 3 (menerima perbedaan): Anda tidak cuma mengakui tapi menerima bahwa ada perbedaan. Tapi penerimaan Anda bersifat pasif: Anda diam terhadap realitas itu.
Level 4 (mencari persamaan): Kelanjutan dari level 3, Anda menerima perbedaan dan penerimaan Anda bersifat aktif. Anda mulai mencari jembatan penghubung, terutama dengan melihat-lihat persamaan-persamaan dan kemiripan-keimiripan antara Anda dan kelompok Anda dengan orang lain dan kelompok lain.
Level 5 (adaptasi): Setelah menemukan persamaan-persamaan dan kemiripan-kemiripan Anda bergerak maju dengan memunculkan empati. if i were you; seandainya aku jadi kamu/kalian. dari situ muncul tenggang rasa atau istilah jawanya tepo seliro.
Level 6 (integrasi): Tidak sekedar empati Anda sudah bisa melewati batas-batas dan sekat-sekat perbedaan. Anda bisa berintegrasi dan bersinergi mengatasi perbedaan itu. No prejudice-stereotipe dan no perasaan-terancam. Perbedaan adalah rahmah dan itu tidak sekedar sloganistik. Anda benar-benar bisa merealisasikannya.
Helaauuuuw. Coba cek, Anda di level berapa?
Danke
Penulis: Suratno, Ph. D., Dosen Universitas Paramadina Jakarta, Mantan Ketua Tanfidziyah PCI NU Jerman.