Ini 2 Makna untuk Menjernihkan Kontroversi Ceramah Gus Muwafiq

maulid bersama gus muwafiq

IBROH. Sebenarnya males mau komen khawatir nambahi ruwet, tapi rasanya driji kok gatel kalau nggak nulis, ntar malah stroke…e e tak nulis. Gegeran Gus Muwafiq. Saya sebagai santri NU juga ikut tersengat membela beliau. Tapi sambil nyruput kopi mencoba berfikir jernih.

Ada dua hal yang menjadi dasar memahami asbabul wurud gegeran tersebut.

Pertama: Dhawuh Kanjeng Nabi SAW,  li kulli dzi nikmatin makhsuudun. Setiap orang yang punya nikmat tentu akan ada yang hasud iri hati.

Kedua: Kalam hikmah, Al khothoushoghiiru yustakdhomu minal kabiiri. Kesalahan kecil akan dianggap besar kalau yang melakukan adalah orang besar.

Dalam perspektif itulah menurut saya gegeran Gus Muwafik terjadi.

Beliau saat ini adalah termasuk orang yang mendapat nikmat. Dari sebutan Kyai Istana sampai Muballigh papan atas dan ternama.

Dan itu tidak lepas dari background beliau yang NU. Dan NU sendiri yang saat ini sedang methingkring di Indonesia tentu banyak yang iri ingin menjatuhkan. Nah ketika beliau berceramah yang dihebohkan itu menurut pendapat pribadi saya tidak ada sesuatu yang janggal dan salah. Tapi oleh golongan yang hasud itu menjadi entry poin untuk menghujat beliau.

Kesalahan? Kecil yang kemudian dibesarkan karena beliau termasuk orang besar.

Okelah, semuanya sudah terjadi dan sudah diklarifikasi.

Semoga bisa menjadi pelajaran utk kita semua, terutama para muballigh untuk menyampaikan hal-hal yang sekiranya tidak menimbulkan kontroversi dan lebih berhati-hati di jaman yang penuh iri dengki ini.

Banyak pilihan materi dakwah yang lebih urgen untuk bisa disampaikan dalam pengajian Maulid Nabi.

Sebagai santri di belakang Gus Muwafiq, kami kira tidak perlu over dosis membela beliau.

Cukuplah ibarat baju putih yang kotor kena lumpur. Tunggu saja lumpurnya kering nanti tinggal disentil pakai satu jari akan gogrog jatuh hilang sendiri. Tapi kalau lumpur itu masih basah jika kita bersihkan malah akan mbleber kemana-mana.

Ayo, srupppuuuut….!☕

Santri Terongan Krapyak.

Penulis: KH Henry Sutopo, muballigh dari Krapyak Yogyakarta.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *