Ijazah Kitab Taujihun Nabi Habib Umar Kepada Gus Baha’
Rabu pagi, 25 September 2019, KH Bahauddin Nursalim (Gus Baha’) masih ngaji di pesantrennya, Narukan Rembang. Rabu sore sudah di Semarang untuk sowan kepada Habib Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafidz di Universitas Islam Sultan Agung, Semarang, Jawa Tengah.
“Saya beberapa menit bertemu dengan Habib Umar dan diskusi dengan beliau. Saya belajar dari beberapa murid beliau. Beliau orang alim allamah,” kata Gus Baha’ ketika Rabu malam sudah ngisi ngaji di PBNU.
Dalam kesempatan ini, Gus Baha’ juga menjelaskan bahwa Habib Umar sampai menuliskan ijazah di dalam kitab karyanya tersebut. Berikut ini isi ijazah selengkapnya.
“Bismilah. Saya ijazahkan kepada seseorang yang sukses yang diberkahi yaitu (KH) Ahmad Bahauddin. Saya ijazahkan / saya izinkan nerenungkan kitab Taujihun Nabi dan mengamalkan kandungannya, menyebarkan isinya, mengamalkannya. Saya (Habib Umar) berdoa semoga allah memakaikan kepada dia (Gus Baha) pakaian berupa makrifat kepada Allah, pakaian mahabbah kepada Allah. Dan Menjadikan kitab ini untuk menempuh jalan para kekasih Allah dan semoga kitab ini bermanfaat untuk dia dan memberikan manfaat orang lain melalui kitab ini, dalam keadaaan baik, kelembutan, kebaikan lahir batin.”
Itulah yang ditulis Habib Umar untuk Gus Baha’. Dari Yaman, setiap sebulan sekali Habib Umar selalu ngaji kitab karya KH Hasyim Asy’ari. Demikian ulasan khusus terkait Ijazah Kitab Taujihun Nabi Habib Umar Kepada Gus Baha’. (red)
Baca pula artikel terkait
Ngaji Gus Baha: Kisah Wali Pensiun Jadi Buruh
Kisah ini disebutkan dalam salah satu syarah al-Hikam, kitab ini merupakan rujukan banyak ulama tasawwuf terutama mereka yang berthariqah syaziliyyah.
Pengarang Al hikam adalah Syeikh Ibn ‘Atha’illah as-Sakandari. Ia lahir di kota Alexandria (Iskandariyah), lalu pindah ke Kairo. Julukan Al-Iskandari atau As-Sakandari merujuk kota kelahirannya itu. Di kota inilah ia menghabiskan hidupnya dengan mengajar fikih mazhab Imam Maliki di berbagai lembaga intelektual, antara lain Masjid Al-Azhar. Di waktu yang sama dia juga dikenal luas dibidang tasawuf sebagai seorang “master” (syeikh) besar ketiga di lingkungan tarekat sufi Syadziliyah ini.
Sejak kecil, Ibnu Atha’illah dikenal gemar belajar. Ia menimba ilmu dari beberapa syekh secara bertahap. Gurunya yang paling dekat adalah Abu Al-Abbas Ahmad ibnu Ali Al-Anshari Al-Mursi, murid dari Abu Al-Hasan Al-Syadzili, pendiri tarikat Al-Syadzili. Dalam bidang fiqih ia menganut dan menguasai Mazhab Maliki, sedangkan di bidang tasawuf ia termasuk pengikut sekaligus tokoh tarikat Al-Syadzili.
Dalam ngajinya Gus Baha menerangkan jika dalam Kitab Hikam dijelaskan bahwa do’a itu tidak boleh dikreasikan meskipun seorang wali. Lebih lanjut Gus Baha menceritakan tentang sebuah kisah masyhur seorang wali yang berdo’a:
Ada seorang Wali tapi “Hammal” bekerja sebagai kuli panggul di pasar. Karena dia seorang wali setelah mendapatkan makan satu piring cukup lalu wali tersebut pulang. Karena dia ndak ingin kaya, setelah itu ibadah terus.
Lama-lama wali tersebut matur (prores) kepada Allah SWT,
“Ya Allah saya itu wali, konsentrasi saya hanya ibadah, ngapain harus jadi “Hammal” (kuli panggul).”
“Tolong kasih rizki yang tanpa saya kerja.”
Singkat cerita sama Allah SWT mengabulkan do’a wali tersebut. Ia ditakdir Allah dicurigai maling dan akhirnya wali tersebut dipenjara.
Di dalam penjara wali tersebut tiap pagi mendapat makan sore mendapat makan.
Lalu wali tersebut bertanya, “Ya Allah mengapa jadi begini?”
“Kan kamu meminta rizki yang tanpa kerja, Ya di penjara itu.”
Makanya semenjak itu wali-wali tidak berani doa, karena sekai doa salah tu akan jadi masalah.
Demikian Ngaji Gus Baha: Kisah Wali Pensiun Jadi Buruh. Semoga bermanfaat.
Silahkan tonton video berikut:
Kacamatanya jelek sekali, saya kecewa berat